Bab 189: Cincin
**
Hari-hari datang silih berganti, waktu demi waktu pun berlalu. Siang dan malam jalin menjalin menjadi minggu. Sulam menyulam menjadi bulan.
Hingga tanpa terasa telah beberapa kali wajah purnama berlabuh di langit merah kota Bandar Baru, dan selalu hinggap di sebuah menara berkubah yang menjadi saksi bagi mereka yang menitipkan cinta.
Di antara kehadiran bulan purnama itu, aku merenung di dalam kamarku sembari mengingat kata-kata Johan;
“Bagaimana kalau kamu menikah saja dulu? Nanti, kalau kamu sudah punya istri, kamu pasti akan mendapat banyak inspirasi.”
Aku kemudian bangkit untuk menuju lemari. Mengambil kotak kecil milikku yang pernah ditemukan Johan waktu membersihkan kamarku.
Kotak kecil berlapis beludru berwarna merah marun berisi cincin emas putih dengan batu kecubung es nan bening.
Ini adalah cincin mahar milik Ibu. Saksi monumental ikatan cinta antara Baihaqi ayahku dan Wartini ibuku.
Bab 190: Jlebb Lagi!**Melihat gerak-geriknya yang sedikit mencurigakan itu, dalam waktu sepersekian detik aku segera menakar situasi.Postur si lelaki gagah itu bisa dengan mudah ia pergunakan untuk menyerangku. Maka dengan bahu dan lengan kananku yang cedera, juga lutut kiriku yang sakit, aku tidak punya banyak kans untuk melawannya.Apa lagi, jika lelaki gagah itu mahir dalam seni beladiri.“Siapa?” Ulangku bertanya.“Muhammad Fatih.”“Muhammad Fatih?”“Iya, betul.”“Ada urusan apa?” Tanyaku semakin cemas.“Mmm, Abang kenal dengan Muhammad Fatih?”“Eh, eee.., iya, kebetulan, saya sendiri.”“Jadi, Abang orangnya Muhammad Fatih?”“Iya, betul.”“Oh, kebetulan sekali. Syukurlah.” Wajah si lelaki gagah serentak ekspresikan rasa lega, dan sekaligus menjadi ramah.
Bab 191: Mencari Kado**Sehari, dua hari, hingga berhari-hari aku terus saja uring-uringan. Aku sedang tidak punya teman yang cukup karib untuk aku jadikan tempat curhatan. Johan tidak ada di rumah, sekarang sedang berada di Jakarta.Malam hari, di warung kopi Bang Fahmi aku bermain catur melawan Bang Idris. Biasanya butuh sekitar 50 langkah Bang Idris mengalahkan aku. Tapi sekarang,“Kok, sontoloyo begini sih kamu mainnya, Fat?”Aku tersenyum kecut. Semakin kecut, ketika Ciko Junior, di satu pojok warung memainkan gitarnya dan berduet dengan sang ayah, Ciko Senior. Membawakan lagu dangdut milik Bang Haji Rhoma Irama.~ Jreeng..!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujangaaaaan..Oh, kurang asem mereka semua!Bang Fahmi yang sudah berhasil membebaskan diri dari status bujang l
Bab 192: 40 Hari di Awal Waktu**Setelah menempatkan motorku di areal parkir, aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekilas aku memperhatikan kawasan pertokoan yang baru kali ini aku ketahui. Sampai di depan toko Tata Collection aku pun berhenti, tepat di depan pintu kacanya. Bayangan diriku sendiri menampil di pintu kaca, dengan rambut yang terkuncir ke belakang dan jenggot di dagu.Sekali memandang ke dalam aku segera tahu apa-apa saja yang dijual oleh toko Tata Collection ini. Sesaat, aku ragu.“Toko ini pasti tidak berbeda dengan toko kebanyakan.” Kataku dalam hati.Isinya pasti hanyalah busana, dari atas ke bawah, dan dari luar ke dalam. Dari S sampai M, dari L sampai XXXL. Lihat saja patung-patung manekin di dalam situ.Aku pun berbalik dan ingin pergi. Namun, tepat ketika aku membalikkan badan, ekor mataku menangkap sesuatu
Bab 193: Cinta dan Penampikan**Baru saja Anggun memasuki kamar hotel tempatnya menginap di kota Makassar. Gerakan tangannya mengurai ikatan rambut diiringi oleh sebuah pertanyaan dari Herna.“Jadi, kalian sudah menentukan tanggal?”“Belum.” Jawab Anggun pendek.“Belum?”“Iya, belum.”“Sudah tiga bulan lebih kalian lamaran tapi belum menentukan tanggal?”“Entahlah, tiba-tiba saja aku ragu melanjutkan hubungan pertunanganku ini.”“Hayo, jangan sampai disalip Christine lho.”“Tidak apa-apa. Kalau Christine mau duluan menikah, silahkan saja. Kalau memang sudah jodohnya mana mungkin bisa ditahan-tahan.”“Serius?” Goda Christine yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Anggun.“Nanti kamu ngiri.”“Ngiri? Tidak-lah ya! Hanya saja, kalau aku boleh kasih saran ke kamu, jangan
Bab 194: Orang Yang Tepat?**“Itu sebagai urusanmu dengan Tuhanmu. Tapi sebagai urusanmu dengan aku, kamu kerjakan dulu shalat empat puluh hari itu!”Dia, dia.., menampik aku!Jlebb..??Mana jlebb??Mengapa aku tidak mendengar bunyi ‘jlebb’??Oh, pantas saja, pisau belati yang bernama ‘sakit hati’ itu telah menusuk aku dengan diam-diam dan sangat perlahan.Ya Tuhan, begini rupanya rasa sakit akibat penampikan itu. Begini ternyata yang dirasakan Jihan dulu waktu aku menolaknya.Juga begini rasanya ketika dulu aku membuat Leony dan juga Jihan menangis di pelataran mall SKA. Dan mungkin begini pulalah yang dirasakan Mira dulu ketika aku melihatnya menangis di bandara.Lalu, apakah sekarang aku harus menangis untuk semua penampikan ini? Tidak!Aku tidak boleh menangis. Aku adalah laki-laki yang kuat. Aku mahir dalam seni beladiri dan terampil pula dalam mengalahkan lawan.
Bab 195: Kisah Seorang Bujangan**“Apa aku harus menghabisinya?”Wanita bercadar memelototkan mata pada lelaki tegap yang ternyata memang bernama Adi Wicaksono itu, pensiunan militer dengan pangkat Sersan Mayor, prajurit terbaik di masa-masa dinasnya dahulu, juga mantan sniper yang bisa menghabisi musuh dari jarak ribuan meter. “Jangan!” Pekik wanita bercadar dengan satu gebrakan kecil di meja.Adi Wicaksono tersenyum sinis lagi.“Kalau Ibu mau, aku bisa menghabisi dia.”“Aku bilang, jangan!”“Maaf, aku hanya memberi tahu saja, aku punya kemampuan untuk menghabisi dia.”Wanita bercadar menarik nafas dalam. Dadanya menggemuruh menahan perasaan gelisah dan amarah.“Tapi kalau Ibu menyuruh saya untuk membunuh si Muhammad Fatih itu, mohon maaf, Ibu salah orang. Bukan untuk hal semacam ini saya dididik oleh militer dulu.”Wanita berc
Bab: 196 Apa-apa**Hari sudah menjelang pukul sebelas malam ketika aku memasuki gang Melur dan menuju ke rumahku. Ciko sudah pulang lebih dulu karena besok pagi ia harus berkuliah.Aku tersenyum mengenang bagaimana dulu aku mengenal Ciko, dari ia masih duduk di kelas satu SMA hingga tanpa terasa sekarang ia sudah berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandar Baru ini.Di pertengahan gang, aku berpapasan dengan seseorang yang juga mengendarai motor. Sepertinya, ia datang dari arah jalan Bunga Kertas sana, dan memintas jalan ke Bunga Tanjung melalui gang Melur ini.Sepersekian detik aku menatap wajahnya barangkali aku mengenalnya. Sebuah tegur sapa biasa aku lakukan pada siapa pun mereka yang tinggal di sekitar kawasan sini.Akan tetapi, mmm.., aku tidak mengenalnya. Sekilas, posturnya yang gagah dan tegap mengingatkan aku pada Pramono, juga Bondan dan Wisnu mantan anak buah Josep.Tidak lebih dari satu detik aku dan si l
Bab 197: Selembar Buku Diary**“Tunggu, Jo, tunggu. Sepertinya aku melihat sesuatu.”“Sesuatu? Apa?”Perlahan aku bangkit dari kursiku. Sembari menyipitkan mata aku berjalan pelan-pelan ke arah depan.Keluar dari teras aku sedikit membungkukkan badan, dan terus menyorotkan pandangan pada sesuatu yang bergerak-gerak di tengah gang Melur sana, tepat di sekitar semak yang bersisian dengan bekas gubuk Pak Latif.Semakin dekat, degup jantungku semakin meningkat.“Ada apa, Fat?” Tanya Johan dari seberang telepon.Aku menempelkan ponsel ke mulutku sendiri, menyahut Johan dengan;“Sssstt..!”Tiba-tiba saja, ada yang bergerak dengan sangat cepat ke arahku. Sontak saja aku memekik keras.“Aaaaakh..!”********Riska tersentak!Tubuhnya sampai terlonjak dari kursi yang ia duduki dalam kamarnya. Ha
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.