Beranda / Lain / Ifat / Bab 197: Selembar Buku Diary

Share

Bab 197: Selembar Buku Diary

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 197: Selembar Buku Diary

**

“Tunggu, Jo, tunggu. Sepertinya aku melihat sesuatu.”

“Sesuatu? Apa?”

Perlahan aku bangkit dari kursiku. Sembari menyipitkan mata aku berjalan pelan-pelan ke arah depan.

Keluar dari teras aku sedikit membungkukkan badan, dan terus menyorotkan pandangan pada sesuatu yang bergerak-gerak di tengah gang Melur sana, tepat di sekitar semak yang bersisian dengan bekas gubuk Pak Latif.

Semakin dekat, degup jantungku semakin meningkat.

“Ada apa, Fat?” Tanya Johan dari seberang telepon.

Aku menempelkan ponsel ke mulutku sendiri, menyahut Johan dengan;

“Sssstt..!”

Tiba-tiba saja, ada yang bergerak dengan sangat cepat ke arahku. Sontak saja aku memekik keras.

“Aaaaakh..!”

********

Riska tersentak!

Tubuhnya sampai terlonjak dari kursi yang ia duduki dalam kamarnya. Ha

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Ifat   Bab 198: Bersama Kuntilanak

    Bab 198: Bersama KuntilanakSesuai dengan kebiasaan baruku sejak beberapa bulan terakhir ini, aku bangun pagi. Pukul lima lewat tiga puluh aku sudah bersiap di depan rumah dengan setelan lari pagi.Sepatu, celana training, plus sweater dengan hoodie yang selalu aku tutupkan ke kepalaku. Air minum? Botol Winnie The Pooh?Tidak usah. Nanti aku bisa membeli air mineral di warung mana pun nanti aku ingin minum.Bahu dan lengan kananku tidak sedang kambuh. Demikian juga dengan kaki kiriku. Satu lagi, gusi dan gigi-gigi implanku juga sedang bersahabat.Aku bisa menuntaskan jogging pagi ini paling tidak hingga sampai di dekat simpang Kubang Raya sana. Sekitar lima kilometer jaraknya dari rumah.Pergi pulang, lumayanlah untuk melatih jantung dan paru-paru yang belakangan selalu aku cekoki dengan racun tembakau.Sembari berlari aku mengingat-ingat obrolanku semalam dengan Johan melalui telepon. Benar juga apa yang dia bilang.

  • Ifat   Bab 199: Cinta Yang Tersirat

    Bab 199: Cinta Yang Tersirat**Masih cukup pagi. Baru terang tanah. Matahari bahkan belum menampakkan wajahnya di bentang cakrawala sana. Hanya sinarnya saja yang sudah menyaput langit dengan rona-rona jingga nan keemasan.Seorang lelaki berjaket kumal mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Di bagian belakang jok motornya itu tergantung sebuah keranjang besar terbuat dari anyaman bambu berisi aneka macam sayuran.Penampilannya seperti kebanyakan orang yang baru pulang dari pasar pagi Arengka, berbelanja kebutuhan dapur sebanyak yang ia bisa bawa, untuk kemudian ia jual di warungnya sendiri di rumah.Ia mengurangi laju motornya ketika sampai di jalan Kartama. Mungkin ada yang sedang ia cari, atau mungkin ada niat di hati untuk menyinggahi suatu tempat, ia pun menolehkan kepalanya kanan dan kiri.Hingga tak lama kemudian, ia sampai di sebuah persimpangan yang tergolong sedang, tidak kecil namun juga tidak besar.Di pangka

  • Ifat   Bab 200: Alamat di Surga

    Bab 200: Alamat di Surga**Terus menjaga ritme dalam berlari, aku sekarang memasuki jalan yang mengarah ke daerah Kubang. Hari-hari sepi yang aku jalani belakangan ini, juga kejadian-kejadian yang menyesakkan hati membuat aku terus saja mengkhayalkan kehadiran Kassandra.Meski pada kenyataannya aku berbicara dengan diriku sendiri.Tiiinn..! Tiiinn..! Terdengar salak klakson sepeda motor. Sontak aku terkejut.“Awas, Mas..!” Pekik Kassandra di dalam khayalanku.Aku pun menggeser posisiku berlari sedikit lebih ke tepi. Sebuah sepeda motor melintas tepat di sampingku.Pengemudinya, seorang lelaki berjaket kumal dengan wajahnya yang tertutup kaca helm pasti menggerutui aku yang berlari pagi sambil melamun.Keranjang sayur bawaannya yang terikat di jok belakang hampir saja menyerempetku.“Terima kasih ya Kas, sudah memperingatkan aku.”“Tak perlu berterima kasih, Mas.”“

  • Ifat   Bab 201: Terjebak!

    Bab 201: Terjebak!**Aku sampai di rumah sudah pukul delapan, lewat sedikit.Kesunyian di dalam rumahku menjadi begitu terasa sekarang ini.Aku mencoba menghadirkan kembali bayangan Kassandra. Namun, tak berhasil. Suaranya yang terakhir, mendadak hilang bersamaan dengan langkah pertamaku memasuki rumah.Aku ingin mandi, tapi teringat dengan niatku semula untuk pergi ke pasar, aku batalkan.“Nanti saja mandinya, setelah pulang dari pasar, biar sekalian bau, sekalian kotor, supaya tidak mandi dua kali.” Pikirku.Aku segera mengeluarkan motorku dari rumah. Tak sampai dua puluh menit kemudian aku sudah sampai di pasar Arengka.Segera saja aku memasuki areal pasar dan berkeliling untuk menyambangi pedagang langgananku.Di salah satu los pasar, aku membeli singkong pada seorang wanita yang telah cukup tua. Kerutan usia di wajahnya membuatku ingin selalu memanggilnya dengan sebutan ‘nenek’.“

  • Ifat   Bab 202: Ibu Polwan

    Bab 202: Ibu Polwan**Tiba-tiba saja, aku melihat seseorang yang tengah tergolek di tepi median jalan. Aku menajamkan pandangan untuk melihat lebih jelas.Orang yang tengah terkapar tidak berdaya itu ternyata seorang Polwan. Sebentar aku melihat ia masih bergerak, merayap dengan kedua tangannya yang sangat lemah.Hingga beberapa detik kemudian ia sudah tidak bergerak sama sekali, tak sadarkan diri di tepi median jalan.Ia terjebak di tengah arus bentrokan antara petugas dengan massa yang marah!Massa pendemo kembali menyerbu. Tak pelak, ratusan pasang kaki akan menginjak-injak tubuhnya. Ia dalam keadaan bahaya!Entah apa yang menggerakkan aku. Tanpa menunggu tempo aku segera meninggalkan motorku dan berlari ke arah median jalan.Aku melompati beberapa mobil untuk memangkas jarak dan waktu yang semakin kritis.Sesampaiku di median jalan, aku segera menempatkan kedua tanganku di bagian ketiak sang Polwan, lalu dengan seku

  • Ifat   Bab 203: Bapak Tentara

    Bab 203: Bapak Tentara**Beberapa hari kemudian..,Aku masih saja menyesali kejadian di jalan Sudirman itu. Bukan untuk perbuatanku menolong sang Polwan.Aku juga tidak menaruh dendam pada petugas yang memukul dan menendangku meski juga ada rasa kesal.Namun, yang membuatku sedih adalah karena kehilangan botol Winnie The Pooh-ku, satu-satunya benda peninggalan almarhumah Ainun.Kehilangan botol minum itu membuatku merasa kehilangan sebagian memoriku terhadap masa lalu.Semakin sedih, ketika aku teringat bibir Kassandra yang pernah menempel di botol minum itu, sehingga ketika aku minum darinya seakan-akan aku juga bisa mencium aroma mulut Kassandra yang telah tiada.Meski berat, aku berusaha mengikhlaskan botol minum kesayanganku itu. Tidak mungkin juga aku mendatangi semua kantor polisi di Bandar Baru ini hanya untuk mencari sebuah botol minum.Lagi pula aku tidak mengenal sang Polwan dan tidak juga tahu di mana dia ber

  • Ifat   Bab 204: Wanita Bercadar

    Bab 204: Wanita Bercadar**Rupanya, drama di depan meja kasir ini menarik perhatian orang-orang lain di sekitar minimarket.Mereka semua melihat dan memperhatikan, bagaimana kemudian aku mencabut dompetku untuk membayar semua belanjaan Bapak Tentara.Uangku dari dompet masih kurang untuk melunasi pembayaran. Aku pun segera membuka tas selempangku dan mengambil semua receh, termasuk beberapa uang koin dari dalamnya.Aku letakkan semuanya di meja kasir dan menghitungnya dengan tenang. Cukup, uangku masih cukup. Bahkan masih ada kembalian, seratus rupiah.Baiklah, yang seratus rupiah ini kembali aku masukkan ke dalam tas selempangku.“Kenapa kamu melakukan ini?” Bapak Tentara bertanya dengan wajah yang terharu.“Tidak kenapa-kenapa kok Pak. Saya hanya ingin berbagi saja.”“Tapi, tapi.., kamu tidak punya apa-apa untuk dibagi.” Katanya sambil melihat ke arah tas selempangku.I

  • Ifat   Bab 205: Hanya Seorang Pencuri

    Bab 205: Hanya Seorang Pencuri**“Apa kamu pernah melihat dia bersembahyang? Ke klenteng? Ke gereja? Ke masjid? Atau semacamnya?”Adi Wicaksono mencibir, lalu katanya.., “Namanya saja ‘Muhammad’, ya sudah jelas dia sembahyangnya ke masjid.”“Maksudku, apakah kamu selalu melihat dia bersembahyang? Shalat?”“Iya.”“Di mana?”“Di mana pun dia berada, dan ke mana pun dia pergi, dia selalu mengerjakan shalat, tepat waktu sesuai jadwal, tanpa ada yang tertinggal.”Wanita bercadar menarik nafas.“Selain itu?”“Selain itu? Maksud Ibu?”“Ceritakan padaku apa saja yang kamu tahu tentang Muhammad Fatih itu. Misalnya, di pagi hari apa yang dia lakukan, dan..,”“Setiap pagi, biasanya setelah subuh dia berolah raga. Lari pagi, dengan jarak tempuh yang tergolong jauh untuk rata-rata orang kebanyakan. Setiap pagi dia sarapan bubur ayam, dan dia membeli bubur hanya di satu warung saja, tidak pernah berganti-ganti.”“Bubur pesanan dia itu sedikit berbeda. Daging ayamnya disuir-suir sampai halus, dan k

Bab terbaru

  • Ifat   Bab 232: Maha Cinta

    Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”

  • Ifat   Bab 231: Belah Duren

    Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.

  • Ifat   Bab 230: Kehadiran

    Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge

  • Ifat   Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu

    Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su

  • Ifat   Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!

    Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be

  • Ifat   Bab 227: Sang Perantau

    Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan

  • Ifat   Bab 226: Tujuh Koin

    Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik

  • Ifat   Bab 225: Jemputan

    Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel

  • Ifat   Bab 224: Nol Koma Satu Persen

    Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.

DMCA.com Protection Status