Bab 197: Selembar Buku Diary
**
“Tunggu, Jo, tunggu. Sepertinya aku melihat sesuatu.”
“Sesuatu? Apa?”
Perlahan aku bangkit dari kursiku. Sembari menyipitkan mata aku berjalan pelan-pelan ke arah depan.
Keluar dari teras aku sedikit membungkukkan badan, dan terus menyorotkan pandangan pada sesuatu yang bergerak-gerak di tengah gang Melur sana, tepat di sekitar semak yang bersisian dengan bekas gubuk Pak Latif.
Semakin dekat, degup jantungku semakin meningkat.
“Ada apa, Fat?” Tanya Johan dari seberang telepon.
Aku menempelkan ponsel ke mulutku sendiri, menyahut Johan dengan;
“Sssstt..!”
Tiba-tiba saja, ada yang bergerak dengan sangat cepat ke arahku. Sontak saja aku memekik keras.
“Aaaaakh..!”
********
Riska tersentak!
Tubuhnya sampai terlonjak dari kursi yang ia duduki dalam kamarnya. Ha
Bab 198: Bersama KuntilanakSesuai dengan kebiasaan baruku sejak beberapa bulan terakhir ini, aku bangun pagi. Pukul lima lewat tiga puluh aku sudah bersiap di depan rumah dengan setelan lari pagi.Sepatu, celana training, plus sweater dengan hoodie yang selalu aku tutupkan ke kepalaku. Air minum? Botol Winnie The Pooh?Tidak usah. Nanti aku bisa membeli air mineral di warung mana pun nanti aku ingin minum.Bahu dan lengan kananku tidak sedang kambuh. Demikian juga dengan kaki kiriku. Satu lagi, gusi dan gigi-gigi implanku juga sedang bersahabat.Aku bisa menuntaskan jogging pagi ini paling tidak hingga sampai di dekat simpang Kubang Raya sana. Sekitar lima kilometer jaraknya dari rumah.Pergi pulang, lumayanlah untuk melatih jantung dan paru-paru yang belakangan selalu aku cekoki dengan racun tembakau.Sembari berlari aku mengingat-ingat obrolanku semalam dengan Johan melalui telepon. Benar juga apa yang dia bilang.
Bab 199: Cinta Yang Tersirat**Masih cukup pagi. Baru terang tanah. Matahari bahkan belum menampakkan wajahnya di bentang cakrawala sana. Hanya sinarnya saja yang sudah menyaput langit dengan rona-rona jingga nan keemasan.Seorang lelaki berjaket kumal mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Di bagian belakang jok motornya itu tergantung sebuah keranjang besar terbuat dari anyaman bambu berisi aneka macam sayuran.Penampilannya seperti kebanyakan orang yang baru pulang dari pasar pagi Arengka, berbelanja kebutuhan dapur sebanyak yang ia bisa bawa, untuk kemudian ia jual di warungnya sendiri di rumah.Ia mengurangi laju motornya ketika sampai di jalan Kartama. Mungkin ada yang sedang ia cari, atau mungkin ada niat di hati untuk menyinggahi suatu tempat, ia pun menolehkan kepalanya kanan dan kiri.Hingga tak lama kemudian, ia sampai di sebuah persimpangan yang tergolong sedang, tidak kecil namun juga tidak besar.Di pangka
Bab 200: Alamat di Surga**Terus menjaga ritme dalam berlari, aku sekarang memasuki jalan yang mengarah ke daerah Kubang. Hari-hari sepi yang aku jalani belakangan ini, juga kejadian-kejadian yang menyesakkan hati membuat aku terus saja mengkhayalkan kehadiran Kassandra.Meski pada kenyataannya aku berbicara dengan diriku sendiri.Tiiinn..! Tiiinn..! Terdengar salak klakson sepeda motor. Sontak aku terkejut.“Awas, Mas..!” Pekik Kassandra di dalam khayalanku.Aku pun menggeser posisiku berlari sedikit lebih ke tepi. Sebuah sepeda motor melintas tepat di sampingku.Pengemudinya, seorang lelaki berjaket kumal dengan wajahnya yang tertutup kaca helm pasti menggerutui aku yang berlari pagi sambil melamun.Keranjang sayur bawaannya yang terikat di jok belakang hampir saja menyerempetku.“Terima kasih ya Kas, sudah memperingatkan aku.”“Tak perlu berterima kasih, Mas.”“
Bab 201: Terjebak!**Aku sampai di rumah sudah pukul delapan, lewat sedikit.Kesunyian di dalam rumahku menjadi begitu terasa sekarang ini.Aku mencoba menghadirkan kembali bayangan Kassandra. Namun, tak berhasil. Suaranya yang terakhir, mendadak hilang bersamaan dengan langkah pertamaku memasuki rumah.Aku ingin mandi, tapi teringat dengan niatku semula untuk pergi ke pasar, aku batalkan.“Nanti saja mandinya, setelah pulang dari pasar, biar sekalian bau, sekalian kotor, supaya tidak mandi dua kali.” Pikirku.Aku segera mengeluarkan motorku dari rumah. Tak sampai dua puluh menit kemudian aku sudah sampai di pasar Arengka.Segera saja aku memasuki areal pasar dan berkeliling untuk menyambangi pedagang langgananku.Di salah satu los pasar, aku membeli singkong pada seorang wanita yang telah cukup tua. Kerutan usia di wajahnya membuatku ingin selalu memanggilnya dengan sebutan ‘nenek’.“
Bab 202: Ibu Polwan**Tiba-tiba saja, aku melihat seseorang yang tengah tergolek di tepi median jalan. Aku menajamkan pandangan untuk melihat lebih jelas.Orang yang tengah terkapar tidak berdaya itu ternyata seorang Polwan. Sebentar aku melihat ia masih bergerak, merayap dengan kedua tangannya yang sangat lemah.Hingga beberapa detik kemudian ia sudah tidak bergerak sama sekali, tak sadarkan diri di tepi median jalan.Ia terjebak di tengah arus bentrokan antara petugas dengan massa yang marah!Massa pendemo kembali menyerbu. Tak pelak, ratusan pasang kaki akan menginjak-injak tubuhnya. Ia dalam keadaan bahaya!Entah apa yang menggerakkan aku. Tanpa menunggu tempo aku segera meninggalkan motorku dan berlari ke arah median jalan.Aku melompati beberapa mobil untuk memangkas jarak dan waktu yang semakin kritis.Sesampaiku di median jalan, aku segera menempatkan kedua tanganku di bagian ketiak sang Polwan, lalu dengan seku
Bab 203: Bapak Tentara**Beberapa hari kemudian..,Aku masih saja menyesali kejadian di jalan Sudirman itu. Bukan untuk perbuatanku menolong sang Polwan.Aku juga tidak menaruh dendam pada petugas yang memukul dan menendangku meski juga ada rasa kesal.Namun, yang membuatku sedih adalah karena kehilangan botol Winnie The Pooh-ku, satu-satunya benda peninggalan almarhumah Ainun.Kehilangan botol minum itu membuatku merasa kehilangan sebagian memoriku terhadap masa lalu.Semakin sedih, ketika aku teringat bibir Kassandra yang pernah menempel di botol minum itu, sehingga ketika aku minum darinya seakan-akan aku juga bisa mencium aroma mulut Kassandra yang telah tiada.Meski berat, aku berusaha mengikhlaskan botol minum kesayanganku itu. Tidak mungkin juga aku mendatangi semua kantor polisi di Bandar Baru ini hanya untuk mencari sebuah botol minum.Lagi pula aku tidak mengenal sang Polwan dan tidak juga tahu di mana dia ber
Bab 204: Wanita Bercadar**Rupanya, drama di depan meja kasir ini menarik perhatian orang-orang lain di sekitar minimarket.Mereka semua melihat dan memperhatikan, bagaimana kemudian aku mencabut dompetku untuk membayar semua belanjaan Bapak Tentara.Uangku dari dompet masih kurang untuk melunasi pembayaran. Aku pun segera membuka tas selempangku dan mengambil semua receh, termasuk beberapa uang koin dari dalamnya.Aku letakkan semuanya di meja kasir dan menghitungnya dengan tenang. Cukup, uangku masih cukup. Bahkan masih ada kembalian, seratus rupiah.Baiklah, yang seratus rupiah ini kembali aku masukkan ke dalam tas selempangku.“Kenapa kamu melakukan ini?” Bapak Tentara bertanya dengan wajah yang terharu.“Tidak kenapa-kenapa kok Pak. Saya hanya ingin berbagi saja.”“Tapi, tapi.., kamu tidak punya apa-apa untuk dibagi.” Katanya sambil melihat ke arah tas selempangku.I
Bab 205: Hanya Seorang Pencuri**“Apa kamu pernah melihat dia bersembahyang? Ke klenteng? Ke gereja? Ke masjid? Atau semacamnya?”Adi Wicaksono mencibir, lalu katanya.., “Namanya saja ‘Muhammad’, ya sudah jelas dia sembahyangnya ke masjid.”“Maksudku, apakah kamu selalu melihat dia bersembahyang? Shalat?”“Iya.”“Di mana?”“Di mana pun dia berada, dan ke mana pun dia pergi, dia selalu mengerjakan shalat, tepat waktu sesuai jadwal, tanpa ada yang tertinggal.”Wanita bercadar menarik nafas.“Selain itu?”“Selain itu? Maksud Ibu?”“Ceritakan padaku apa saja yang kamu tahu tentang Muhammad Fatih itu. Misalnya, di pagi hari apa yang dia lakukan, dan..,”“Setiap pagi, biasanya setelah subuh dia berolah raga. Lari pagi, dengan jarak tempuh yang tergolong jauh untuk rata-rata orang kebanyakan. Setiap pagi dia sarapan bubur ayam, dan dia membeli bubur hanya di satu warung saja, tidak pernah berganti-ganti.”“Bubur pesanan dia itu sedikit berbeda. Daging ayamnya disuir-suir sampai halus, dan k