Bab 201: Terjebak!
**
Aku sampai di rumah sudah pukul delapan, lewat sedikit. Kesunyian di dalam rumahku menjadi begitu terasa sekarang ini.
Aku mencoba menghadirkan kembali bayangan Kassandra. Namun, tak berhasil. Suaranya yang terakhir, mendadak hilang bersamaan dengan langkah pertamaku memasuki rumah.
Aku ingin mandi, tapi teringat dengan niatku semula untuk pergi ke pasar, aku batalkan.
“Nanti saja mandinya, setelah pulang dari pasar, biar sekalian bau, sekalian kotor, supaya tidak mandi dua kali.” Pikirku.
Aku segera mengeluarkan motorku dari rumah. Tak sampai dua puluh menit kemudian aku sudah sampai di pasar Arengka.
Segera saja aku memasuki areal pasar dan berkeliling untuk menyambangi pedagang langgananku.
Di salah satu los pasar, aku membeli singkong pada seorang wanita yang telah cukup tua. Kerutan usia di wajahnya membuatku ingin selalu memanggilnya dengan sebutan ‘nenek’.
“
Bab 202: Ibu Polwan**Tiba-tiba saja, aku melihat seseorang yang tengah tergolek di tepi median jalan. Aku menajamkan pandangan untuk melihat lebih jelas.Orang yang tengah terkapar tidak berdaya itu ternyata seorang Polwan. Sebentar aku melihat ia masih bergerak, merayap dengan kedua tangannya yang sangat lemah.Hingga beberapa detik kemudian ia sudah tidak bergerak sama sekali, tak sadarkan diri di tepi median jalan.Ia terjebak di tengah arus bentrokan antara petugas dengan massa yang marah!Massa pendemo kembali menyerbu. Tak pelak, ratusan pasang kaki akan menginjak-injak tubuhnya. Ia dalam keadaan bahaya!Entah apa yang menggerakkan aku. Tanpa menunggu tempo aku segera meninggalkan motorku dan berlari ke arah median jalan.Aku melompati beberapa mobil untuk memangkas jarak dan waktu yang semakin kritis.Sesampaiku di median jalan, aku segera menempatkan kedua tanganku di bagian ketiak sang Polwan, lalu dengan seku
Bab 203: Bapak Tentara**Beberapa hari kemudian..,Aku masih saja menyesali kejadian di jalan Sudirman itu. Bukan untuk perbuatanku menolong sang Polwan.Aku juga tidak menaruh dendam pada petugas yang memukul dan menendangku meski juga ada rasa kesal.Namun, yang membuatku sedih adalah karena kehilangan botol Winnie The Pooh-ku, satu-satunya benda peninggalan almarhumah Ainun.Kehilangan botol minum itu membuatku merasa kehilangan sebagian memoriku terhadap masa lalu.Semakin sedih, ketika aku teringat bibir Kassandra yang pernah menempel di botol minum itu, sehingga ketika aku minum darinya seakan-akan aku juga bisa mencium aroma mulut Kassandra yang telah tiada.Meski berat, aku berusaha mengikhlaskan botol minum kesayanganku itu. Tidak mungkin juga aku mendatangi semua kantor polisi di Bandar Baru ini hanya untuk mencari sebuah botol minum.Lagi pula aku tidak mengenal sang Polwan dan tidak juga tahu di mana dia ber
Bab 204: Wanita Bercadar**Rupanya, drama di depan meja kasir ini menarik perhatian orang-orang lain di sekitar minimarket.Mereka semua melihat dan memperhatikan, bagaimana kemudian aku mencabut dompetku untuk membayar semua belanjaan Bapak Tentara.Uangku dari dompet masih kurang untuk melunasi pembayaran. Aku pun segera membuka tas selempangku dan mengambil semua receh, termasuk beberapa uang koin dari dalamnya.Aku letakkan semuanya di meja kasir dan menghitungnya dengan tenang. Cukup, uangku masih cukup. Bahkan masih ada kembalian, seratus rupiah.Baiklah, yang seratus rupiah ini kembali aku masukkan ke dalam tas selempangku.“Kenapa kamu melakukan ini?” Bapak Tentara bertanya dengan wajah yang terharu.“Tidak kenapa-kenapa kok Pak. Saya hanya ingin berbagi saja.”“Tapi, tapi.., kamu tidak punya apa-apa untuk dibagi.” Katanya sambil melihat ke arah tas selempangku.I
Bab 205: Hanya Seorang Pencuri**“Apa kamu pernah melihat dia bersembahyang? Ke klenteng? Ke gereja? Ke masjid? Atau semacamnya?”Adi Wicaksono mencibir, lalu katanya.., “Namanya saja ‘Muhammad’, ya sudah jelas dia sembahyangnya ke masjid.”“Maksudku, apakah kamu selalu melihat dia bersembahyang? Shalat?”“Iya.”“Di mana?”“Di mana pun dia berada, dan ke mana pun dia pergi, dia selalu mengerjakan shalat, tepat waktu sesuai jadwal, tanpa ada yang tertinggal.”Wanita bercadar menarik nafas.“Selain itu?”“Selain itu? Maksud Ibu?”“Ceritakan padaku apa saja yang kamu tahu tentang Muhammad Fatih itu. Misalnya, di pagi hari apa yang dia lakukan, dan..,”“Setiap pagi, biasanya setelah subuh dia berolah raga. Lari pagi, dengan jarak tempuh yang tergolong jauh untuk rata-rata orang kebanyakan. Setiap pagi dia sarapan bubur ayam, dan dia membeli bubur hanya di satu warung saja, tidak pernah berganti-ganti.”“Bubur pesanan dia itu sedikit berbeda. Daging ayamnya disuir-suir sampai halus, dan k
Bab 206: Semua Tentang Cinta**“Katakan padaku, apa ini semua tentang cinta?”Wanita bercadar tak menjawab. Mulutnya bungkam bersamaan dengan gerak tangannya mengaduk cangkir kopi yang berhenti.Ia membuang pandangannya ke arah jalan raya yang tampak ramai seperti biasa. Kedua pundaknya bergerak naik seirama dengan hidungnya yang tersembunyi di balik cadar saat menghirup nafas.Adi Wicaksono memberanikan diri untuk menundukkan kepala, namun dengan sorot mata yang menajam untuk menyelidik raut wajah sang wanita bercadar.“Apakah benar, ini semua tentang cinta?” Ulang Adi Wicaksono bertanya.Wanita bercadar tidak menjawab. Ia malah mengangkat cangkir kopinya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya mengangkat sedikit kain cadar yang dipakainya supaya cangkir kopi bisa sampai pada mulutnya.Inilah tempo di mana Adi Wicaksono ingin mengetahui bagaimana wanita di depannya ini meminum kopi. Dan, ups, Adi Wicaksono bahkan tidak dapat melihat mulut dan bibir sang wanita.Piawai sekali di
Bab 207: Izinkan Aku Meminjam Matamu**Barangkali, hanya diriku saja yang ‘parno’ karena merasa dibuntuti oleh seseorang. Kenyataannya, hanya kebetulan pengendara lain yang tujuannya sama dengan diriku.Mungkin ini beralasan pada masa laluku di Jakarta, sehingga ketakutan dari kejaran anak buah Josep dan Big Boss tetap saja menghantui aku.Sampai di Bandar Baru, aku sakit lagi, demam lagi, dan lagi-lagi aku harus berurusan dengan sinshe untuk membenahi otot atau uratku yang terkilir ketika terlibat kecelakaan dalam perjalanan pulang.“Mengenaskan ya, Jo?” Tanyaku pada Johan, ketika kami berdua berbincang lewat telepon pada malam harinya.“Belum, belum, Fat. Belum mengenaskan. Karena nyatanya, kamu masih punya dua tangan dan dua kaki untuk diurut dan dipijat.”Di Bandar Baru sini, aku merengut. “Aku sudah bilang ‘kampret’ belum, Jo?”“Kampret? Belum, Fat.”“Kampret kamu, Jo!” Umpatku.“Hahaha..!” Johan di Jakarta sana tertawa.“Untuk apa kamu pergi ke Taluk Kuantan, Fat?” Tanya Johan
Bab 208: Ada Cinta di Toko Buah**“Takut kenapa?” “Kamu tahu, Rony, mantan suamiku dulu. Dia adalah laki-laki yang sangat tidak cakap di bidang keterampilan khas laki-laki. Apa-lah lagi di bidang seni beladiri. Akan tetapi, dengan kedua tangannya, dia begitu terampil menyakiti dan menganiaya aku.”“Maksud kamu?”“Iya, Fat. Apa lagi kamu yang mahir dalam seni beladiri. Tentu kamu lebih terampil lagi dalam menyakiti dan menganiaya aku nantinya.”Hatiku terenyuh.“Kamu sudah selesai bicara denganku, Fat?”Aku diam.“Kalau kamu sudah selesai, dan kalau kamu mau keluar, pintunya ada di situ.” Tangan Mira menunjuk pintu.Oh.., Ya Tuhan, selain menampik, Mira juga mengusir aku!Beberapa saat aku masih berdiri, dengan wajah yang terperangah. Aku menatap Mira yang menunduk di mejanya dengan pandangan yang kosong.Betapa inginnya aku berkata-kata, menyampaikan kalimat-kalimat yang berisi cinta, kasih, sayang, janji setia, apalah.., apalah..!Namun ternyata, semua kalimat itu hanya meng
Bab 209: Bab Patah Hati**“Dia, dia.., mengusir kamu??” Tanya Johan emosional.Aku tak perlu menjawab. Cukup wajahku yang masam sebagai jawaban, dan Johan pun tak perlu lagi menanyakan sesuatu tentang..,Plok, plok, plokk..!Johan bertepuk tangan! Apa-apaan ini?? Rutukku dalam hati. Sahabat macam apa kamu ini?? Menari di atas penderitaan orang lain!“Maaf, maaf, Fat. Aku bertepuk tangan ini bukan untuk menertawakan kamu. Aku juga tidak memaksudkan ini sebagai.., bagaimana bunyinya? Pepatah lama yang..,”Aku tahu pepatah lama yang ingin dimaksudkan Johan, tetapi sudah terlanjur ‘ogah’ aku menyebutkannya.“Jujur ya, Fat. Aku bertepuk tangan ini sebagai penghormatan untuk kamu. Sebagai bentuk salut dari seorang sahabat, sebagai bentuk salut dari seorang laki-laki kepada laki-laki.”“Maksud kamu?”“Kamu hebat, Fat. Kamu kuat. Kamu tabah.
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.