Bab 209: Bab Patah Hati**“Dia, dia.., mengusir kamu??” Tanya Johan emosional.Aku tak perlu menjawab. Cukup wajahku yang masam sebagai jawaban, dan Johan pun tak perlu lagi menanyakan sesuatu tentang..,Plok, plok, plokk..!Johan bertepuk tangan! Apa-apaan ini?? Rutukku dalam hati. Sahabat macam apa kamu ini?? Menari di atas penderitaan orang lain!“Maaf, maaf, Fat. Aku bertepuk tangan ini bukan untuk menertawakan kamu. Aku juga tidak memaksudkan ini sebagai.., bagaimana bunyinya? Pepatah lama yang..,”Aku tahu pepatah lama yang ingin dimaksudkan Johan, tetapi sudah terlanjur ‘ogah’ aku menyebutkannya.“Jujur ya, Fat. Aku bertepuk tangan ini sebagai penghormatan untuk kamu. Sebagai bentuk salut dari seorang sahabat, sebagai bentuk salut dari seorang laki-laki kepada laki-laki.”“Maksud kamu?”“Kamu hebat, Fat. Kamu kuat. Kamu tabah.
Bab 210: Antara Dua Hati**Riska Hudayanti berdiri tegak di dalam kamarnya. Ia memandang keluar lewat jendela yang terbuka.Barusan saja ia menutup teleponnya. Obrolan yang panjang antara dirinya dan Ika Damayanti sang adik telah terjadi sejak lepas Isya tadi. Lagi-lagi tentang mantan suaminya yang memohon diberi kesempatan kedua.Mantan suaminya yang masih berada di perantauan itu mengatakan ia telah insyaf. Ia telah menceraikan istrinya yang ada di perantauan itu.Segala sesuatunya sekarang telah berubah, berubah menuju arah yang lebih baik bagi mantan suaminya.Juga bagi Riska? Tunggu dulu, ibu guru yang cantik dan ayu ini masih menunggu.Maka tak pelak, ini menjadi hal yang sangat dilematis bagi Riska, mengingat dirinya yang tak pernah betul-betul bisa membenci orang lain. Apa lagi mantan suami yang sejatinya masih ia cintai meskipun dengan kadar yang amat sedikit.Merasa tidak puas bertukar pikiran dengan adiknya yang leb
Bab 211: For Strength And Victory**“Kamu nanti kembali lagi, dan temani saya di sini.” Pesan Mira.Selang semenit kemudian, Yana telah kembali bersama dengan tamu seorang lelaki. Mira pun menyambutnya dengan ramah.“Silahkan masuk, Johan. Silahkan duduk..,”“Terima kasih, Mbak.” Sahut sang tamu, yaitu Johan.Yana kemudian mengambil duduk di kursi lain pada tempat yang berbeda.“Maaf, kalau kedatangan saya ini mengganggu. Boleh saya meminta waktunya sebentar, Mbak?” Tanya Johan sopan.Mira tersenyum. Ia menjawab pertanyaan tamunya itu dengan pertanyaan pula.“Apa kabar, Johan?”“Puji Tuhan. Kabar saya baik, Mbak. Embak sendiri bagaimana kabarnya?”“Alhamdulillah. Saya juga baik. Kapan kamu sampai, Jo?”“Kemarin, Mbak.”“Dari Jakarta?”“Iya, Mbak.”“Ini su
Bab 212: Untuk Kutimang Untuk Kusayang**“Oh, kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan, Jo!”Johan mati kutu! Pemilik suara emas dengan kemampuan tujuh oktaf ini memandang ke depan, bukan pada Mira, juga bukan pada dinding di balik empunya toko Tata Collection itu.Pandangannya terus saja menyorot jauh dan menembus apa pun yang ada di depannya. Kosong, kosong belaka yang dilihat Johan.Kemudian, seakan tersadar akan sesuatu, tiba-tiba saja Johan tergeragap, dan kembali membuka suara.“Oh, maafkan saya yang tak tahu adat ini, Mbak. Betapa kurang ajarnya saya tak tahu berterima kasih pada orang yang telah membantu dan mendukung saya, juga telah mengirimi saya ponsel ketika saya mengikuti audisi yang lalu.”Johan menatap Mira dengan mimik yang sungguh-sungguh.“Nah sekarang, dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Embak karena..,”“Tidak p
Bab 213: Aku Tahu Dia Tahu**Ini dia!Inilah dia..!Sekarang, aku sudah yakin seratus persen. Kecurigaanku selama beberapa hari ini ternyata benar. Dalam kurun setengah bulan ini memang ada orang yang selalu membuntuti aku!“Oh, siapakah dia?” Aku bertanya-tanya dalam hati.Seorang lelaki berperawakan tegap, berpotongan rambut pendek, dengan usia yang kutaksir mendekati empat puluhan.Posturnya tampak begitu prima dengan usianya yang ada di angka itu. Berbanding terbalik dengan diriku yang jauh lebih muda namun mempunyai cedera akut di beberapa bagian tubuhku.Sejak Johan kembali ke Jakarta dua hari yang lalu, aku semakin intens saja mencermati orang-orang yang berada di sekitarku.Seperti misalnya, berhenti di lampu merah atau di tepi jalan, aku mengambil ponsel dengan sikap seperti mengetik-ngetik sesuatu di menu pesan.Namun, sesungguhnya mataku melirik ke arah kaca spion untuk melihat orang di bel
Bab 214: Bonus Spesial**Aku merubah pola seranganku. Kali ini aku menggunakan teknik dari silat dan mengkombinasikannya dengan serangan sikut dan lutut dari Tarung Derajat.Kami berdua bertarung dalam jarak rapat. Aku menebas-nebaskan kedua sikutku bergantian, dengan aneka macam sasaran. Dia menangkis-nangkis, dan juga membalas-balas.Tap! Bug! Tap! Bugg!Hantaman lututku juga dia balas.., bugg!“Aaaaakh..!” Aku sampai memekik.Sakitnya! Hantaman lututku tadi, dia counter dengan tusukan sikut ke pahaku. Aduh, Ya Allah.., ngilunya! Aku sampai terpincang-pincang.Ada sebuah jeda, dan kami berlomba untuk menarik nafas. Pada momen ini aku menyadari, ujung bibirku yang pecah dan mulutku yang berdarah.Pandangan mataku mulai berkunang-kunang akibat beberapa pukulan dari si penguntit itu. Aku sudah kepayahan, tapi dia juga sudah ngos-ngosan.Aku ingin melakukan gerak tipu seperti ketika mengalahkan Ko
Bab 215: Ancaman Anggun**Selama dua hari pasca perkelahianku dengan orang asing itu, aku tidak keluar rumah. Aku berdiam diri, berusaha menyembuhkan luka dan cederaku dengan obat-obatan, khususnya ramuan kencur dan jahe yang aku balurkan ke bahu dan kakiku. Aku mencoba menghadirkan bayangan Kassandra untuk menemani aku, tapi tak kunjung berhasil. Konsentrasiku melamunkan Kassandra selalu terganggu oleh kata-kata terakhir si penguntit itu sebelum meninggalkan aku.“Kalau kamu punya urusan utang piutang dengan seseorang, cepat kamu selesaikan..,”Utang piutang, katanya, membuatku berpikir jauh sekali. Aku mencari benang merah yang paling logis.“Oh, dia pasti seorang debt collector,” pikirku kemudian.“Dan ia salah mengenali orang!”“Dia pasti menyangka aku sebagai nasabah yang mempunyai utang kepada perusahaannya, atau kepada bosnya, juragannya, whatever..,”Baiklah
Bab 216: Wanita Berbaju Biru**Aktifitas belajar mengajar sebuah SD Negeri di kelurahan Sidomulyo sudah berakhir. Anak-anak sekolah sudah berbondong-bondong pulang. Demikian juga dengan guru-gurunya.Di salah satu koridor gedung sekolah, tampak Riska sedang menarik tangan Selly menuju ruang perpustakaan.Langkah Riska yang menarik sangat terburu-buru, seakan tidak ingin ada orang lain yang melihat mereka berdua menuju perpustakaan.Sementara langkah Selly, yang barusan tadi dibajak dari sepeda motornya sendiri tersaruk-saruk dengan wajah yang tidak mengerti.“Ada apa sih?” Tanya Selly sesampainya mereka di ruang perpustakaan yang memang belum dikunci.“Aku sudah melakukan saran kamu.” Sahut Riska.“Apa?”“Shalat malam, shalat Istikharah.”“So?” Selly penasaran. Ia pun mengambil duduk, menyusul Riska yang telah menghempaskan tubuhnya di sebuah kursi.
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.