Bab 214: Bonus Spesial
**
Aku merubah pola seranganku. Kali ini aku menggunakan teknik dari silat dan mengkombinasikannya dengan serangan sikut dan lutut dari Tarung Derajat.
Kami berdua bertarung dalam jarak rapat. Aku menebas-nebaskan kedua sikutku bergantian, dengan aneka macam sasaran. Dia menangkis-nangkis, dan juga membalas-balas.
Tap! Bug! Tap! Bugg!
Hantaman lututku juga dia balas.., bugg!
“Aaaaakh..!” Aku sampai memekik.
Sakitnya! Hantaman lututku tadi, dia counter dengan tusukan sikut ke pahaku. Aduh, Ya Allah.., ngilunya! Aku sampai terpincang-pincang.
Ada sebuah jeda, dan kami berlomba untuk menarik nafas. Pada momen ini aku menyadari, ujung bibirku yang pecah dan mulutku yang berdarah.
Pandangan mataku mulai berkunang-kunang akibat beberapa pukulan dari si penguntit itu. Aku sudah kepayahan, tapi dia juga sudah ngos-ngosan.
Aku ingin melakukan gerak tipu seperti ketika mengalahkan Ko
Bab 215: Ancaman Anggun**Selama dua hari pasca perkelahianku dengan orang asing itu, aku tidak keluar rumah. Aku berdiam diri, berusaha menyembuhkan luka dan cederaku dengan obat-obatan, khususnya ramuan kencur dan jahe yang aku balurkan ke bahu dan kakiku. Aku mencoba menghadirkan bayangan Kassandra untuk menemani aku, tapi tak kunjung berhasil. Konsentrasiku melamunkan Kassandra selalu terganggu oleh kata-kata terakhir si penguntit itu sebelum meninggalkan aku.“Kalau kamu punya urusan utang piutang dengan seseorang, cepat kamu selesaikan..,”Utang piutang, katanya, membuatku berpikir jauh sekali. Aku mencari benang merah yang paling logis.“Oh, dia pasti seorang debt collector,” pikirku kemudian.“Dan ia salah mengenali orang!”“Dia pasti menyangka aku sebagai nasabah yang mempunyai utang kepada perusahaannya, atau kepada bosnya, juragannya, whatever..,”Baiklah
Bab 216: Wanita Berbaju Biru**Aktifitas belajar mengajar sebuah SD Negeri di kelurahan Sidomulyo sudah berakhir. Anak-anak sekolah sudah berbondong-bondong pulang. Demikian juga dengan guru-gurunya.Di salah satu koridor gedung sekolah, tampak Riska sedang menarik tangan Selly menuju ruang perpustakaan.Langkah Riska yang menarik sangat terburu-buru, seakan tidak ingin ada orang lain yang melihat mereka berdua menuju perpustakaan.Sementara langkah Selly, yang barusan tadi dibajak dari sepeda motornya sendiri tersaruk-saruk dengan wajah yang tidak mengerti.“Ada apa sih?” Tanya Selly sesampainya mereka di ruang perpustakaan yang memang belum dikunci.“Aku sudah melakukan saran kamu.” Sahut Riska.“Apa?”“Shalat malam, shalat Istikharah.”“So?” Selly penasaran. Ia pun mengambil duduk, menyusul Riska yang telah menghempaskan tubuhnya di sebuah kursi.
Bab 217: Anggun Yang Anggun**Pakaiannya adalah seragam kebesaran maskapai Gxaruda Airline berwarna biru yang.., tiba-tiba saja membuat aku teringat pada Kassandra.Kassandra.., yang selalu ingin kusebut sebagai Putri Ok Soo. Putri yang menunggu Jendral Meng Yi kekasihnya di dalam keabadian waktu. Putri yang baik dirinya maupun kisah cintanya abadi.Penampilan Anggun yang sedang duduk di bangku taman itu sama persis dengan Putri Ok Soo yang pernah kulihat di dalam kisah The Myth.Dengan sorot matanya yang merana, dengan senyumnya yang merona, dan dengan keseluruhan citra agungnya yang penuh cinta.Juga, sama persis dengan almarhumah Kassandra ketika merawat aku yang sedang terluka.Aku berusaha keras untuk memantap-mantapkan diri dan meneguh-neguhkan hati. Aku juga mengumpulkan semua kata dan kalimat, termasuk peribahasa dan pepatah lama untuk kupakai nanti beradu argumen dengan Bidadari Ketujuh, yang mungkin saja adalah Putri Ok Soo
Bab 218: Utang Piutang**Aku sampai di rumah dengan tetap membawa berjuta-juta perasaan yang aneh. Sensasinya sekarang seperti orang yang membaca novel.., oh, bagian yang itu sudah tadi.Aku uring-uringan tanpa tahu harus bagaimana. Keinginanku semula dengan mencoba melupakan kegundahan ini dengan nongkrong di warung kopi Bang Fahmi pun, hanya sampai di ujung teras rumahku.Karena sebentar kemudian aku kembali memasuki rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mengusap-usap wajah dan memandang kosong pada sebuah bidang yang ada di antara empat sudut meja tamu di depanku.Tidak ada, memang tidak ada apa-apa selain taplak meja yang terbuat dari kain sulaman bergambar sebuah taman yang indah.Berusaha mencairkan kebekuan yang ada di dalam hatiku ini, aku pun bangkit dan melangkah menuju dapur. Aku menyalakan kompor dan menjerang air.Aku akan membuat kopi, dan malam ini aku ngopinya di rumahku sendiri saja. Sembari berharap b
Bab 219: Balada Singkong**Komplek pertokoan yang belakangan kutahu bernama Panam Square ini tampak tidak terlalu ramai. Masih dalam ukuran normal dalam hal tingkat kunjungan orang di hari-hari yang bukan akhir pekan.Setelah memarkirkan motorku, aku pun berjalan menuju toko Tata Collection yang tampaknya juga sedang tidak terlalu banyak pengunjung.Hanya ada beberapa orang yang aku lihat sedang memilih-milih baju. Selebihnya, hanyalah aku yang kemudian berjalan dengan canggung.Persis di depan pintu, aku berhenti karena ragu. Sekarang aku dilanda perasaan yang sama ketika aku akan bertemu dengan Anggun pada hari sebelumnya. Namun dengan derajat yang lebih tinggi dan dengan kadar yang jauh lebih dahsyat.Sebab, berbeda dengan Anggun yang aku tampik, karena sekarang akulah yang akan ditampik Mira, untuk yang ketiga kalinya!Beberapa saat aku terus berdiri menghadap dinding kaca. Pertama sekali, aku mendapati bayanganku sen
Bab 220: Mimpi Yang Utuh**“Lalu, seandainya aku menerima kamu, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Mira lagi.Maka, mengertilah aku sekarang. Mira menantang aku untuk menjabarkan visi misi hidupku jika beristrikan dia. Dia ingin tahu cita-cita apa yang aku punya untuk membuatnya bahagia.Dalam pengertian yang lain, dia menyuruhku mendefinisikan sebuah kata yang paling absurd dan paling tak masuk akal di kolong langit dan di muka bumi ini.Yaitu; cinta!“Fat?” Ulang Mira bertanya.“Andai saja aku menerima kamu, apa yang akan kamu lakukan?”Maka, segala apa pun itu yang pernah terjadi di dalam kehidupanku, melintas-lintas secepat cahaya di depan mataku. Flash..! Flash..!Bayangan-bayangan kegembiraan dan kebahagiaan dalam maknanya yang paling bersahaja dan paling asal, semuanya hadir di dalam ruang memoriku.Aku pernah merasa begitu berarti ketika menemani Ainun adikku menanam bu
Bab 221: Setipis Kulit Ari**“Dari Ibu? Maksud kamu, Ibu Tata?”“Iya.”“Apa ini?”Aku pun menerima sesuatu itu dari tangan Yana, yang segera putar badan, kembali ke arah toko.Sedetik kemudian aku menyadari bahwa ini adalah sebuah kartu nama, dengan warnanya yang putih susu dengan sedikit gradasi emas dan abu-abu.Masih berdiri di samping motorku, aku pun membaca dan mencermati kartu nama pemberian Mira ini.Pertama-tama, tentu saja nama Altamira dan nama tokonya sendiri yaitu Tata Collection.Lalu yang kedua, adalah alamat toko ini. Iya, aku tahu, letaknya memang di sini. Itu, 30 meter di belakangku.Lalu yang berikutnya, persis di bagian yang paling bawah, adalah alamat rumah di suatu kawasan elit yang terletak di bagian timur kota Bandar Baru sana.Aku mencoba menalari sebuah kronologi dari masa lalu, bahwa setelah Mira bercerai dari suaminya dulu, mungkin ini a
Bab 222: Para Pendekar**Apakah aku harus membeli cincin lamaran itu sekarang?Aku memang masih punya sedikit uang, sisa dari pemberian Johan sebelum dia pergi ke Jakarta beberapa hari yang lalu. Yaitu uang yang sedianya akan aku belikan anak kambing di Taluk Kuantan.Namun, tiba-tiba saja, aku teringat sesuatu. Karena itulah aku menggerakkan tanganku, meraih tas sandang yang tadi aku letakkan di atas meja.Entah apa yang aku rasakan sekarang ini. Pastinya, hatiku berdebar keras, seirama dengan tanganku yang gemetaran saat membuka resleting tasku dan mengeluarkan kotak kecil berwarna merah marun nan kusam.Dengan hati yang berdebaran aku pun membuka kotak kecil dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalamnya. Ini adalah cincin milik Ibu. Cincin emas putih dengan permatanya berupa batu kecubung es nan bening.Aku pun teringat pada dialogku dengan bayangan Kassandra yang dulu selalu kuhadir-hadirkan di dalam khayalanku.“Aku
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.