Bab 184: Jlebb!
**
Ika Damayanti keluar dari dalam kamar. Siang ini ia sudah siap dengan setelan lengkapnya untuk keluar rumah.
Jilbab kuning terang kesukaannya sudah terasa pas di kepala, pas pula dengan bros kupu-kupu seukuran aslinya di bawah dagu. Sepadu pula dengan busana terusan yang longgar nan modis.
“Mau ke mana kamu, Dik? Siang-siang begini.” Cegat Riska sang kakak yang sedang menonton melodrama di televisi.
“Ke rumah Jihan.” Ika menghempaskan tubuh di sofa, di samping kakaknya, memakai kaos kaki seperti sedang terburu-buru.
“Tumben. Biasanya juga Jihan yang selalu ke sini. Ada urusan apa?”
“Mmm, tidak ada yang penting sih. Cuma ingin berbagi kabar gembira saja.”
“Oh, tentang kabar yang tadi pagi?”
“Iya.”
“Eh, Dik, kalau kebetulan Jihan sedang bikin kue bika Ambon, bawakan untuk kakak ya?”
“Huu.., mengharap.&
Bab 185: Cemburu Empat Kuadrat**Ditinggal sang ibu berisitirahat siang, juga ditinggal adiknya pergi ke rumah Jihan. Riska menonton melodrama di televisi seorang diri.Ia pun terhanyut dengan kesedihan yang disajikan oleh tokoh-tokoh di layar kaca itu.Iklan datang, sang tokoh drama pergi. Iklan pergi, tokoh drama datang lagi, mengulangi tangisan dan air mata yang tadi.Keasyikan Riska menonton drama melankolis itu terganggu. Ponselnya yang terletak di atas meja tiba-tiba saja berdering.Layarnya berkedip-kedip, dan getarannya menimbulkan suara derrrt.. derrtt. Untuk beberapa saat Riska merasa ragu mengangkat teleponnya.Ia enggan jika ternyata itu adalah telepon dari kepala sekolah, menanyakan ini itu atau pun memberi tugas baru.Ia menegakkan tubuhnya di sofa, sedikit mengangkat kepala dan pandangan matanya menjangkau ke layar ponsel. Nama yang memanggil adalah; Selly.“Dia sudah pulang, Ris! Dia sudah pu
Bab 186: Balada Kue Bika**“Nah, jadi begini, kalau sudah pemanggangan tiga puluh menit dengan pintu oven yang terbuka, kita lanjutkan lagi memanggang dengan pintu oven yang tertutup lebih kurang lima belas menit.” Terang Jihan sembari menutup pintu oven.“Ingat, suhunya diperhatikan ya, harus konstan di angka ini, supaya tidak mudah gosong.”“Setelah itu?” Ika bertanya.“Kita tunggu deh, sampai lima belas menit. Jangan lebih.”“Kalau lebih?”“Yah, gosong-lah!”Ika tertawa kecil di kursi dapur. “Aku jadi penasaran akan bagaimana nanti hasilnya.”“Hmm,” Jihan menggumam, tangannya melolosi celemek dari badannya dan mengambil duduk di kursi yang berbeda.“Kalau takaran kita tadi tepat, cara mengadonnya juga benar, santannya bagus dan tidak pecah, mudah-mudahan hasilnya bagus.”“Semoga saja.
Bab 187: Lelaki dan Rembulan**Setelah itu aku pun bergegas pergi. Akan tetapi, langkahku ditahan oleh ibu yang menangis tadi.“Terima kasih, Nak.” Katanya dengan berurai air mata. “Terima kasih.”Aku mengangguk. “Sama-sama, Bu. Semoga anak Ibu cepat sembuh.”Aku ingin melangkah pergi, tapi ujung jaketku ditarik oleh sang ibu.“Paling tidak, izinkan aku melihat wajahmu, Nak.”Aku dicekam haru.“Izinkan aku tahu siapa namamu, Nak. Supaya aku bisa mendoakan kamu.”Ibu paruh baya berjalan perlahan, maju mendekatiku dengan langkahnya yang terseret seperti sedang membawa beban.Ia memegang kedua lenganku, lantas menaikkan tangannya sendiri untuk menurunkan hoodie jaket yang menutupi kepalaku. Maka tampaklah keseluruhan dari wajah dan kepalaku.“Oooh.., Ya Allah, tampannya engkau, Nak, begitu juga dengan hatimu..,”Aku mel
Bab 188: Surat dari Ucon**Untuk sahabatku, Muhammad Fatih..,Assalamu’alaikum. Apa kabar, Masbro?Aku tahu, kamu sedang tidak baik-baik saja. Untuk itu aku akan mendoakan apa pun yang terbaik untuk kamu.Maafkan aku ya, Fat. Selama ini aku tidak ada kabar. Kamu tahu pekerjaanku di hutan pedalaman Jambi, kan? Kamu tahu di sana tidak ada sinyal, kan?Kamu ingat, waktu aku menelepon kamu terakhir kali?Untuk mencari sinyal telepon aku mendaki bukit yang paling tinggi, di bukit itu aku juga memanjat pohon yang paling tinggi.Tapi sayang, Fat. Pohon yang dulu kupanjat untuk mendapat sinyal telepon itu sudah ditebang. Jadi, yah, kita loss contact lagi.Aku sudah mengetahui semuanya, Fat. Bang Idris yang bercerita kepadaku. Apa yang telah kamu alami, semuanya.Sekali lagi aku mohon maaf, Fat. Aku tidak ada di samping kamu ketika kamu sedang sedih dan berduka.Dengan kepergian Joni, aku juga merasakan hal y
Bab 189: Cincin**Hari-hari datang silih berganti, waktu demi waktu pun berlalu. Siang dan malam jalin menjalin menjadi minggu. Sulam menyulam menjadi bulan.Hingga tanpa terasa telah beberapa kali wajah purnama berlabuh di langit merah kota Bandar Baru, dan selalu hinggap di sebuah menara berkubah yang menjadi saksi bagi mereka yang menitipkan cinta.Di antara kehadiran bulan purnama itu, aku merenung di dalam kamarku sembari mengingat kata-kata Johan;“Bagaimana kalau kamu menikah saja dulu? Nanti, kalau kamu sudah punya istri, kamu pasti akan mendapat banyak inspirasi.”Aku kemudian bangkit untuk menuju lemari. Mengambil kotak kecil milikku yang pernah ditemukan Johan waktu membersihkan kamarku.Kotak kecil berlapis beludru berwarna merah marun berisi cincin emas putih dengan batu kecubung es nan bening.Ini adalah cincin mahar milik Ibu. Saksi monumental ikatan cinta antara Baihaqi ayahku dan Wartini ibuku.
Bab 190: Jlebb Lagi!**Melihat gerak-geriknya yang sedikit mencurigakan itu, dalam waktu sepersekian detik aku segera menakar situasi.Postur si lelaki gagah itu bisa dengan mudah ia pergunakan untuk menyerangku. Maka dengan bahu dan lengan kananku yang cedera, juga lutut kiriku yang sakit, aku tidak punya banyak kans untuk melawannya.Apa lagi, jika lelaki gagah itu mahir dalam seni beladiri.“Siapa?” Ulangku bertanya.“Muhammad Fatih.”“Muhammad Fatih?”“Iya, betul.”“Ada urusan apa?” Tanyaku semakin cemas.“Mmm, Abang kenal dengan Muhammad Fatih?”“Eh, eee.., iya, kebetulan, saya sendiri.”“Jadi, Abang orangnya Muhammad Fatih?”“Iya, betul.”“Oh, kebetulan sekali. Syukurlah.” Wajah si lelaki gagah serentak ekspresikan rasa lega, dan sekaligus menjadi ramah.
Bab 191: Mencari Kado**Sehari, dua hari, hingga berhari-hari aku terus saja uring-uringan. Aku sedang tidak punya teman yang cukup karib untuk aku jadikan tempat curhatan. Johan tidak ada di rumah, sekarang sedang berada di Jakarta.Malam hari, di warung kopi Bang Fahmi aku bermain catur melawan Bang Idris. Biasanya butuh sekitar 50 langkah Bang Idris mengalahkan aku. Tapi sekarang,“Kok, sontoloyo begini sih kamu mainnya, Fat?”Aku tersenyum kecut. Semakin kecut, ketika Ciko Junior, di satu pojok warung memainkan gitarnya dan berduet dengan sang ayah, Ciko Senior. Membawakan lagu dangdut milik Bang Haji Rhoma Irama.~ Jreeng..!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujangaaaaan..Oh, kurang asem mereka semua!Bang Fahmi yang sudah berhasil membebaskan diri dari status bujang l
Bab 192: 40 Hari di Awal Waktu**Setelah menempatkan motorku di areal parkir, aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekilas aku memperhatikan kawasan pertokoan yang baru kali ini aku ketahui. Sampai di depan toko Tata Collection aku pun berhenti, tepat di depan pintu kacanya. Bayangan diriku sendiri menampil di pintu kaca, dengan rambut yang terkuncir ke belakang dan jenggot di dagu.Sekali memandang ke dalam aku segera tahu apa-apa saja yang dijual oleh toko Tata Collection ini. Sesaat, aku ragu.“Toko ini pasti tidak berbeda dengan toko kebanyakan.” Kataku dalam hati.Isinya pasti hanyalah busana, dari atas ke bawah, dan dari luar ke dalam. Dari S sampai M, dari L sampai XXXL. Lihat saja patung-patung manekin di dalam situ.Aku pun berbalik dan ingin pergi. Namun, tepat ketika aku membalikkan badan, ekor mataku menangkap sesuatu
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.