Bab 173: Jalesveva Jayamahe
**
Ketika aku memasuki permainan yang ke-11, lelaki pemilik lapak catur menawari aku untuk menghentikan permainan.
Dia khawatir aku kehabisan uang. Namun aku tidak mau, dan terus mengeluarkan uang, dan mengajaknya bersalaman.
Menginjak permainan yang ke-21, lelaki itu menawari aku lagi untuk berhenti. Kali ini nadanya sedikit membujuk, dan raut wajahnya seakan tidak tega padaku yang telah beberapa kali menggaruk kepalaku di sepanjang permainan.
Sampai di situ, aku telah menghabiskan uang sebanyak 40 ribu rupiah. Tidak apa-apa, uangku masih banyak. Bonus pertandingan dari ring oktagon yang tersimpan di beberapa rekeningku masih ada milyaran.
Untuk apa aku risau hanya perkara uang yang berjumlah puluhan ribu?
“Waduh, Mas, saya-nya jadi ndak enak, nih. Kita udahan saja ya, Mas?” Pinta lelaki berbangku kayu itu.
“Ndak apa-apa, Mas, tenang saja. Ndak masalah kok bagi saya.”<
Bab 174: Dot Dut Det Dut**“Tiketku ke Kalimantan hangus, biarlah,” pikirku.“Terserah aku..,”“Ini jalan hidupku..,”Aku sudah cukup menderita maka aku berhak mendapatkan imbalan berupa tetesan surga yang dijatuhkan Tuhan ke bumi Indonesia.“Oh, Bali, I am coming..,”Oh, Kassandra.., dari surga tempatmu di langit sana, kamu bisa melihat aku, kan? Kamu masih mengikuti jalan ceritaku, kan?Menggunakan bus, aku pun sampai di Bali. Sudah pukul sepuluh malam, tapi suasananya masih seperti lebaran hari keenam.Bingang-bingung sebentar, akhirnya kuputuskan menginap di Denpasar. Mataku mengantuk, perutku lapar, dan kakiku pegal. Sampai di dalam kamar sebuah hotel, segera saja aku hempaskan wajahku di atas bantal.Keesokan harinya, aku pergi ke Kuta, tempat yang paling menawan untuk menikmati sunset di sepanjang garis pantainya.Di Kuta aku menyewa kamar di sebuah re
Bab 175: Bidadari Ketujuh**Selesai kubercerita, Elyaz menanggapi dengan berbicara seputar hakikat kehidupan, dalam pemahaman dia tentu saja.“Aku tahu kamu siapa, dan aku tahu siapa Kassandra. Well, menurutku kamu tidak pantas beristrikan Kassandra. Tetapi, segala sesuatunya telah berubah, ya..,” dan seterusnya.Elyaz bilang, cinta adalah anugerah dari Tuhan, berasal dari Tuhan, dan akan kembali kepada Tuhan.“Is that Hinduisme--apa itu ajaran Hindu?” Tanyaku sopan.“No! Definitely, not. It is not Hinduisme, not Budhisme, and.., apa yang aku katakan ini bukan berasal dari ajaran agama mana pun.”“So?”“Ini adalah bahasa universal yang siapa pun orang di dunia ini bisa memahaminya?”“What was that?”“Love.”Elyaz kemudian menatapku.“Kassandra, dalam esensinya sebagai cinta, telah kembali dan melebur ke dalam l
Bab 176: Kepingan Hati di Kota Tua - part 1**BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..,Sekarang, aku sudah berada di sini lagi, di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta Utara, tempat dulu aku dan Kassandra pernah menikmati senja.Aku duduk di sebuah kafe bergaya kolonial—kafe yang sama, menunggu pesanan kopiku sampai di meja—juga meja yang sama.Aku memandangi seantero Taman Fatahillah yang di hari jelang senja ini lumayan ramai. Apakah sekarang ini hari libur? Ah, aku sampai lupa.Aku merenung, mengenang kembali apa yang telah aku lakukan dalam beberapa bulan ini. Fiuh..! tiba-tiba, aku merasa lelah.Perjalanan mencari paman dari pihak ibuku di daratan Kalimantan berbuah nihil. Aku tidak berhasil menemukan keberadaan orang tua yang menjadi tautan darahku itu.Berbekal informasi yang kukantongi dari Surabaya, aku memulainya dari Balikpapan, Kalimantan Timur.Beberapa hari di Penajam, aku melanjutkan
Bab 177: Kepingan Hati di Kota Tua – part 2**Aku membayar wanita-wanita panggilan itu bukan untuk bercinta. Akan tetapi, hanya untuk.., baiklah, berikut ini beberapa kisah yang ingin aku kenang.********Aku baru selesai mandi ketika wanita itu mengetuk pintu kamar hotel tempatku menginap. Masih mengenakan handuk aku menuju pintu dan membukanya.Sesaat dia terperangah menatapku yang bertelanjang dada, lalu tersenyum.“Ifat?” Tanya dia sembari menggigit bibir.“Iya, saya Ifat. Masuklah.”Sampai di dalam dia segera membanting tubuhnya di atas kasur, berbaring miring dengan pose yang sangat menantang.Wajah dan matanya sangat manja. Dia terus menatapku yang tak acuh, sembari mengulum-ngulum lidahnya sendiri.Masih dalam keadaan berhanduk, aku meletakkan tiga macam benda di atas meja, yaitu sisir, cologne, dan ponsel.“Dari ketiga benda ini, mana
Bab 178: Membeli Kebohongan**Aku ingat!Sungguh aku ingat dia! Wanita Gipsi yang pernah meramal nasibku dan nasib Kassandra.Pantas saja aku tidak melihat wanita berusia enam puluhan yang meminta dipanggil dengan sebutan ‘Mami’ itu. Rupanya sedari tadi dia tertutupi oleh seorang penjual balon gas.Setelah penjual balon gas pergi, tampaklah di mataku apa yang dulu pernah aku lihat bersama Kassandra dari titik ini, dari mejaku ini.Mami Gipsi itu memakai penutup kepala berupa kain hitam yang disimpul ke belakang, mirip bajak laut seperti yang ada di film Pirates of The Caribbean.Dia juga memakai lima kalung dengan ukuran lingkar yang berbeda-beda, kalung yang terbuat dari manik-manik dan salah satunya ada liontin berupa taring dari binatang pemangsa.Di telinganya tergantung anting dari lempengan kuningan yang berkilau. Di kedua tangannya, dia memakai banyak gelang, mungkin terbuat dari alloy, dan mengeluarkan suar
Bab 179: Kembali**Malam harinya, di balkon hotel tempatku menginap, aku duduk merenung, ditemani ngiang-ngiang kalimat Mami Gipsi di Kota Tua.“Kamu sudah jauh berjalan, Anakku..,”Benar, Mami, aku sudah jauh berjalan.., kataku dalam hati. Berjalan mencari cinta, dan aku tak menemukannya.“Kamu sudah letih, sudah lelah. Istirahatlah, Nak..,”Benar, Mami, aku sudah letih, sudah lelah..,“Kembalilah ke tempat kamu berasal. Pulanglah kamu, Anakku.”Kembali?********KEESOKAN HARINYA..,Satu jam setengah melayari angkasa, pesawat yang aku tumpangi akhirnya mendarat juga di bandara Sultan Syarif Qasim, Bandar Baru.Jejakan roda-rodanya ketika menyentuh aspal dan menggelindingnya di sepanjang landasan menimbulkan suara gemuruh yang menggema hingga di dalam kabin penump
Bab 180: Puisi di Cover Depan**Taksi yang aku tumpangi berhenti di tepi jalan, tepat di mulut gang rumahku. Untuk sesaat, aku berdiam diri dan menatap ke arah gang.Di sisi kanan ada tembok yang memanjang, lalu di sisi kirinya adalah lahan kosong dengan beberapa tanaman liar dan semak belukar.Kemudian di ujung sana, terdapat dua rumah kontrakan di mana salah satunya adalah rumahku bersama Johan.“Bersyukurlah engkau wahai, Anakku. Walaupun hanya kontrakan tapi kamu masih bisa tinggal di dalam sebuah bangunan yang layak disebuat sebagai rumah. Dari pada aku, tinggal di kolong jembatan dan mencari nafkah dari menjual kebohongan.”Kata-kata peramal Gipsi itu mengiang di telingaku, membuatku tersadar akan sebuah hikmah yang hampir setiap hari aku lupa.Rasa syukur, itu intinya, itu yang mungkin aku tidak punya.“Bang? Kita sudah sampai.” Suara sopir taksi menggugahku.“Eh, iya,
Bab 181: Cemburu**Oh, Dewi Amor.., kenapa aku harus cemburu? Mengapa dadaku terasa sesak?Bukankah memang tidak ada ikatan antara diriku dengan dirinya? Juga tidak ada janji-janji untuk hidup bersama dan saling setia?Gelombang apa di dalam hati ini yang membuatku merasa seakan ditinggalkan oleh kapal layar yang terakhir?Aku menjatuhkan kartu undangan di atas meja. Kutolehkan kepalaku ke kanan sedikit ke bawah, menatap kosong pada lantai.Aku bersedekap, dengan satu tangan menangkup di depan mulut dan hidungku. Johan terus menatapku, berusaha menerjemahkan ekspresi yang memeta di raut wajahku.Seakan mengerti tentang perasaanku, Johan mengalihkan perhatianku pada dua buah surat yang masih ia pegang. Masing-masingnya tersimpan di dalam amplop.“Yang satu, dari Pak Latif. Yang satu lagi, dari Idah.”Aku menerima amplop dari Johan namun tidak berniat untuk membuka dan membaca isinya.Aku hanya memegang
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.