Arifin terdiam di depan sebuah pusara yang sialnya, disana terdapat ukiran nama saudarinya. Winda. Rasanya benar-benar tidak bisa di percaya kalau saudarinya telah pergi meninggalkannya, rasanya benar-benar menyakitkan sekali."Mbak, kenapa pergi secepat ini, mbak? Aku bahkan belum sempat memberimu kebahagiaan." Ucap Arifin. Air matanya meluruh begitu saja, rasanya benar-benar menyakitkan hingga dadanya terasa sesak. Bahkan untuk sekedar bernafas saja, rasanya sakit."Mbak, maaf karena aku tidak menemani mu disaat-saat terakhir." Lirihnya sambil menundukkan kepalanya, pria itu menangis tergugu di depan pusara sang kakak. Betapa dia menyesali kebodohannya, andai saja dia tidak menonaktifkan ponselnya, mungkin dia akan datang lebih cepat dan bisa menemani Winda disaat terakhirnya."Aku menyesal, Mbak. Maafkan aku, aku adik yang buruk kan?""Iya, kau adalah adik yang paling buruk, Arifin!" Ucap sebuah suara, namun itu bukan berasal dari gundukan tana
Read more