Di dalam mobil itu hanya ada keheningan, tidak ada yang membuka suaranya. Padahal biasanya, suasana di dalam mobil selalu hangat karena keduanya akan mengobrol dan bercanda bersama dengan romantis ala sepasang kekasih pada umumnya.
"Tadi ngobrolin apa sama Mbak Santi?" Tanya Abian. Setelah sekian lama hanya ada keheningan, akhirnya pria itu membuka suaranya terlebih dulu."Cuma ngobrol biasa kok, Mas.""Jangan bohong, Mas gak suka wanita pembohong!""Keliatan banget gitu kalau aku lagi bohong, Mas?" Tanya Flora."Wajah kamu memang biasa saja, tapi telinga kamu merah." Jawab Abian tanpa melirik ke arah wanitanya, dia fokus mengemudikan mobil sedan miliknya."Hehe, aku memang terlalu jujur. lya kan, Mas?""Hmm, jadi ngobrolin apa kalian berdua?" Tanya Abian lagi, wajahnya terlihat serius."Mbak Santi nyuruh aku cepet nikah lagi.""Hah?""lya, katanya setelah tiga bulan langsung nikah aja." Ucap F"Mas, mau mampir dulu?" Tanya Flora sebelum dia keluar dari mobil Abian."Sebentar saja. Mas pingin sama kamu dulu. Boleh ya?""Tentu saja, kalau tidak boleh aku juga gak bakalan nawarin kamu buat mampir. Ucap Flora sambil tersenyum, dia keluar lebih dulu dari mobil dan di ikuti oleh Abian. Saat ini, dia belum ingin berada di rumah untuk sementara karena di rumah itu terlalu banyak kenangan.Semuanya terlalu tiba-tiba dan Abian tidak mau berlarut-larut dalam mengenang kepergian sang kakak. jadi dia akan bersama Flora saja disini untuk sementara waktu sampai dia tenang. Sebenarnya, hatinya tidak selapang itu untuk menerima kepergian sang kakak yang terbilang tragis.Abian masuk ke dalam rumah Flora, suasananya sangat nyaman. Aroma menenangkan yang bercampur dengan parfum Flora menguar memasuki indra penciumannya. dia suka dengan bau ini."Mas, aku ke kamar dulu sebentar.""lya, sayang. Jangan pakai pakaian nakal.""Idih,
Berbeda dengan hubungan pasangan lain yang berbanding terbalik. Arifin dan Arina tengah berdebat hebat saat ini. Dimana. Arifin menyalahkan Arina karena wanita itulah yang memintanya mematikan ponsel sewaktu bersamanya, karena dia tidak ingin ada yang mengganggu waktunya untuk memeras Arifin."Ini semua gara-gara kamu. Arin.""Lho, kok nyalahin aku sih?" Tanya Arina dengan nada tidak terima ketika dirinya di salahkan seperti ini. Dia merasa tidak bersalah sama sekali, tapi kenapa Arifin menyalahkan dirinya seperti ini?"Gara-gara kamu yang nyuruh aku matiin ponsel. aku jadi tidak bisa bertemu Winda untuk terakhir kalinya!""Apa maksudmu?" Tanya Arina lagi. wanita itu memang belum tahu kalau Winda telah berpulang."Mbak Winda meninggal dan aku tidak bisa menemaninya, ini semua gara-gara kau!""Aku? Memangnya apa yang aku perbuat? Aku hanya memintamu mematikan ponsel agar tidak terganggu saat kita sedang bersama. Apa aku salah?"
"Sayang. Mas pergi dulu." Pamit Abian. hari ini dia akan pergi bekerja. Selain bekerja, dia juga akan bertemu Robi untuk memulai semuanya. Rasanya dia sudah sangat gemas dengan tingkah Arifin. tidak peduli meskipun pria itu adalah saudaranya sendiri.Siapapun yang telah menyakiti Flora, maka dia akan membuatnya menderita. Siapapun itu dan itu adalah janjinya."lya. Mas. Hati-hati..""Hmm. cium dulu." Pinta Abian sambil menunjuk pipinya. Flora tersenyum kecil lalu mengecup pipi sang pria dengan cepat."Aaahhh, rasanya aku langsung bersemangat. Energiku langsung terisi penuh." Flora tertawa sambil mendekat lalu memeluk tubuh besar Abian."Kapan kesini lagi?" Tanya nya dengan nada manja."Paling nanti malam atau besok, kenapa?""Gapapa, cuman takut kangen aja nantinya." Jawab Flora, dia menggelayut manja di lengan besar Abian."Sayang. Mas bahkan belum berangkat lho. Malahan Mas gak mau berangkat lihat kamu manja g
"Abi..""Hmm.." Abian hanya menjawab dengan deheman, dia kembali fokus pada ponselnya."Bagaimana dengan Arin?""Kemarin dia mengabari kalau Arifin sudah meminta untuk mengakhiri hubungan mereka. Jadi. sudah seharusnya aku turun tangan, bukan? Ini sudah waktunya.""Kau yakin? Apa ini tidak terlalu cepat. Abi?" Tanya Robi setelah sekian lama dia hanya diam."Apalagi yang aku tunggu. Flora sudah resmi bercerai dengannya. dia sudah membelikan rumah untuk Flora. Apalagi? Sekarang giliran ku untuk menghancurkannya. Robi.""Kau benar-benar pria picik. Abi.""Yes, it's me." Jawab Abian sambil tersenyum sinis. Dia tidak sabar melihat Arifin jatuh miskin dan menderita, itu adalah buah dari kesombongannya. Disaat seperti itu, dia yakin kalau Arifin pasti akan mengemis-ngemis pada Flora untuk memintanya kembali. Biarkan. dia akan sedikit menguji wanitanya karena dia percaya kalau Flora tidak akan pernah mau kembali pada Arifin.
Di lain tempat, Arifin melangkah lesu keluar perusahaan dengan tas kerja yang di sampirkan di pundaknya. Dia menatap perusahaan dan semua fasilitasnya, dia tidak rela meninggalkan perusahaan dan jabatannya ini. Tapi apa boleh buat? Kecurangannya sudah di ketahui dan Robi tidak memberi ampun untuk dirinya hangat udah ketahuan menggelapkan dana perusahaan sebesar itu."Eehh, katanya direktur keuangan di pecat karena ketahuan korupsi. lya gak sih?" Bisik-bisik karyawan yang tak sengaja berpapasan dengan Arifin di lobi perusahaan. Padahal masih pagi, tapi Arifin sudah pergi keluar perusahaan dengan tas kerja dan beberapa barang miliknya yang dia bawa di tangannya. Terlihat benar kalau dia habis di pecat sepertinya."Katanya sih iya, mana uang yang di gelapkan itu banyak lho, sepuluh milyar. Kayaknya di pake foya-foya ya, soalnya dia pakai barang-barang bermerk.""Kayaknya sih gitu, soalnya kan gayanya hedon banget. Eehh, ternyata beli-beli barang gitu hasil ko
Arifin berjalan sedikit pincang karena pergelangan kakinya terasa sakit, sepertinya terkilir atau keseleo saat tersandung tadi.Kruukk..Perut pria itu berbunyi, dia ingat kalau dia belum makan siang. Dia membuka dompetnya dan menghela nafasnya ketika melihat hanya ada satu lembar uang berwarna ungu, itupun sisaan preman tadi."Duit segini cukup buat beli apa?" Gumam Arifin, tapi dia tidak putus asa akhirnya pria itu melipir ke arah warung pinggir jalan."Mbak, mie instan makan disini berapa?" Tanya Arifin pada seorang wanita paruh baya penjual makanan di pinggir jalan."Delapan ribu udah pake telor.""Yaudah, es teh cekek dapat dua ribu gak?" Tanya Arifin yang membuat penjual itu melihat penampilan Arifin dari atas hingga ke bawah. Penampilannya acak-acakan, rambutnya berantakan dengan pakaian yang kotor karena jatuh tadi."Harusnya sih lima ribu, tapi gapapalah, Silahkan duduk.""Terimakasih, Bu. Ini uangnya."
"Alana Anastasia, kau ingat nama itu Arifin?" Tanya Arina sambil tersenyum kecil, dia sudah bisa bernafas dengan bebas lagi sekarang."Alana?""Aku tunjukkan wajahnya jika kau lupa." Arina menarik sebuah kain yang menutupi figura besar berisi foto seorang gadis yang tengah tersenyum di tengah taman bunga. Wajahnya cantik, senyumnya terlihat sangat manis dan tulus. Tatapan matanya teduh dan menenangkan, dia adalah Alana. Adik tiri Arina, gadis di dalam foto itu adalah alasan kenapa Arina melakukan pembalasan dendam hingga sejauh ini.Bahkan hingga rela mengorbankan tubuhnya sendiri. Mengorbankan tubuh? Sebenarnya tidak karena dia juga menikmatinya, dia juga sudah tidak perawan lagi saat bertemu dengan Arifin untuk pertama kalinya saat itu."G-gadis itu..""Kau mengingatnya?" Tanya Arina, tapi dia hanya melihat Arifin yang bungkam. Dia sama sekali tidak bisa menjawab karena semua orang-orang terdekatnya dia larang keras agar tidak pernah me
Arifin kembali ke rumahnya dengan wajah babak belur, pria itu sempat di pukuli oleh bodyguard yang di suruh oleh Arina. Sekarang, pria itu sampai di rumah dengan keadaan yang sangat berantakan."Arif? Kamu kenapa?" Tanya Ranti yang baru keluar dari dapur, dia terlihat kaget ketika melihat penampilan Arifin yang kacau dengan pakaian yang compang-camping.Arifin tidak menjawab, dia mendudukan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing sekali saat ini. Banyak pikiran yang menghantui dirinya, hutang-hutang yang berjumlah puluhan milyar itu juga turut menjadi pemikirannya saat ini."Arif..""Arif di pecat dari perusahaan, Bu. Terus Arif di tuntut perusahaan buat ganti rugi sebanyak dua puluh milyar, harus di lunasi dalam waktu satu Minggu, Bu. Arif pusing..""Ganti rugi? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan, Arif? Tidak mungkin jika perusahaan tiba-tiba meminta ganti rugi tanpa sebab." Tanya Ranti sambil
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.