Arifin berjalan sedikit pincang karena pergelangan kakinya terasa sakit, sepertinya terkilir atau keseleo saat tersandung tadi.
Kruukk..Perut pria itu berbunyi, dia ingat kalau dia belum makan siang. Dia membuka dompetnya dan menghela nafasnya ketika melihat hanya ada satu lembar uang berwarna ungu, itupun sisaan preman tadi."Duit segini cukup buat beli apa?" Gumam Arifin, tapi dia tidak putus asa akhirnya pria itu melipir ke arah warung pinggir jalan."Mbak, mie instan makan disini berapa?" Tanya Arifin pada seorang wanita paruh baya penjual makanan di pinggir jalan."Delapan ribu udah pake telor.""Yaudah, es teh cekek dapat dua ribu gak?" Tanya Arifin yang membuat penjual itu melihat penampilan Arifin dari atas hingga ke bawah. Penampilannya acak-acakan, rambutnya berantakan dengan pakaian yang kotor karena jatuh tadi."Harusnya sih lima ribu, tapi gapapalah, Silahkan duduk.""Terimakasih, Bu. Ini uangnya.""Alana Anastasia, kau ingat nama itu Arifin?" Tanya Arina sambil tersenyum kecil, dia sudah bisa bernafas dengan bebas lagi sekarang."Alana?""Aku tunjukkan wajahnya jika kau lupa." Arina menarik sebuah kain yang menutupi figura besar berisi foto seorang gadis yang tengah tersenyum di tengah taman bunga. Wajahnya cantik, senyumnya terlihat sangat manis dan tulus. Tatapan matanya teduh dan menenangkan, dia adalah Alana. Adik tiri Arina, gadis di dalam foto itu adalah alasan kenapa Arina melakukan pembalasan dendam hingga sejauh ini.Bahkan hingga rela mengorbankan tubuhnya sendiri. Mengorbankan tubuh? Sebenarnya tidak karena dia juga menikmatinya, dia juga sudah tidak perawan lagi saat bertemu dengan Arifin untuk pertama kalinya saat itu."G-gadis itu..""Kau mengingatnya?" Tanya Arina, tapi dia hanya melihat Arifin yang bungkam. Dia sama sekali tidak bisa menjawab karena semua orang-orang terdekatnya dia larang keras agar tidak pernah me
Arifin kembali ke rumahnya dengan wajah babak belur, pria itu sempat di pukuli oleh bodyguard yang di suruh oleh Arina. Sekarang, pria itu sampai di rumah dengan keadaan yang sangat berantakan."Arif? Kamu kenapa?" Tanya Ranti yang baru keluar dari dapur, dia terlihat kaget ketika melihat penampilan Arifin yang kacau dengan pakaian yang compang-camping.Arifin tidak menjawab, dia mendudukan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing sekali saat ini. Banyak pikiran yang menghantui dirinya, hutang-hutang yang berjumlah puluhan milyar itu juga turut menjadi pemikirannya saat ini."Arif..""Arif di pecat dari perusahaan, Bu. Terus Arif di tuntut perusahaan buat ganti rugi sebanyak dua puluh milyar, harus di lunasi dalam waktu satu Minggu, Bu. Arif pusing..""Ganti rugi? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan, Arif? Tidak mungkin jika perusahaan tiba-tiba meminta ganti rugi tanpa sebab." Tanya Ranti sambil
"Abi..""Iya, Ibu.""Apa kamu bisa bantu Arifin menyelesaikan masalahnya? CEO tempat Arifin bekerja kan temanmu, bisalah kamu membujuknya untuk memberi keringanan sedikit." Pinta Ranti yang membuat wajah Arifin berbinar.*Ckk, menjijikan! Pria itu berdecak dalam hati."Maaf, Bu. Tapi itu semua di luar kendaliku, itu murni kesalahan Arifin. Aku tidak bisa membantu, jadi biarkan saja dia menebus kesalahan yang sudah di perbuat." Ucap Abian. Sontak saja, mendengar ucapan Abian seketika wajah Arifin berubah seketika. Tadi wajahnya berbinar seolah dia menemukan harapan baru agar bisa terbebas dari lilitan hutang. Tapi sekarang wajahnya terlihat asam."Ayolah, Abi, Tidakkah kau kasihan pada adikmu ini?" Bujuk Arifin tapi Abian malah menyeringai jahat, sedari awal kalau dia kasihan pada Arifin, sudah jelas dia tidak akan pernah melakukan ini padanya.Tapi karena dia tidak kasihan pada Arifin, makanya rencana ini di lakukan dan sekarang
Tak lama kemudian, Abian sudah selesai membersihkan tubuhnya. Dia pun keluar dengan kemeja hitam yang lengannya di gulung hingga ke sikut."Ganteng ternyata kamu, Abi.""Iya kan, aku ini ganteng, Mbak. Jadi Mbak kemana aja?" Tanya Abian sambil tertawa."Yaudahlah, ayo kita pergi." Ajak Santi, seketika Abian memasang wajah menggoda."Apa sih?""Keliatannya ada yang gak sabar ketemu calon suami nih.""Astaga, Abian!" Kesal Santi yang membuat Abian tergelak. Pria itu pun segera memasuki mobilnya dan di ikuti oleh Santi."Kok di belakang?""Aku sadar diri, di depan kan buat Flora.""Lho, gapapa. Ayo di depan, Flora juga gak bakalan marah kali, Mbak.""Udahlah, mbak disini aja. Ayo berangkat, Mbak kangen banget sama Flora." Jawab Santi sambil tersenyum manis."Bukan karena penasaran sama calon yang mau aku kenalin, Mbak?" Goda Abian lagi, membuat Santi menendang kursi yang di duduki oleh Ab
"Jadi, apa yang di lakukan oleh Arifin?" Tanya Flora lagi."Ya, dia korupsi di perusahaan sebesar sepuluh milyar. Tapi, sebagai ganti ruginya aku meminta dua kali lipat karena karyawan di kantor menuntut ganti rugi juga.""Kenapa dengan mereka?" Tanya Abian masih dengan kedua tangan yang bersedekap di dada."Adikmu itu berulah, dia mesuum! Sampai-sampai ada staff yang datang menangis padaku, katanya dia di lecehkan. Bukan hanya satu atau dua saja, tapi banyak. Mereka tidak mau bekerja lembur karena takut pada Arifin.""Beberapa kali, Arifin menyelinap masuk ke ruangan dan melecehkan mereka. Itu perbuatan yang tidak pantas kan? Nah, makanya aku harus menutupi kebobrokan pria itu dengan uang agar perusahaanku tidak tercoreng." Jelas Robi. Rupanya, dia melakukannya bukan tanpa alasan."Astaga, ada-ada saja kelakuan Arifin." Gumam Santi sambil menggelengkan kepalanya, dia heran sendiri dengan tingkah Arifin yang brengsek dan seolah tidak cuku
"Kenapa diam saja?" Tanya Robi pada Santi yang sedari tadi hanya diam saja, sesekali dia menyandarkan kepalanya di sandaran mobil. Meskipun begitu, tangannya tidak berhenti meremas jemarinya sendiri karena gugup yang memunuhi pikirannya saat ini."Memangnya mau bicara apa?" Balik tanya Santi yang membuat Robi terdiam, lya juga, memangnya mereka mau membicarakan apa? Tentang bisnis? Tidak, masa membicarakan bisnis dengan wanita yang ingin dia dekati. Rasanya tidak pantas saja gitu, tapisuasana di dalam mobil ini terasa sangat canggung sekali saat ini.Mereka juga tidak tahu harus membahas apa, di mulai dari mana juga entah harus bagaimana."Usia kamu berapa?" Tanya Robi, tiba-tiba saja dia kepikiran menanyakan usia Santi."Jalan 32 tahun." Jawab Santi tanpa menatap wajah Robi, dia memilih menatap pemandangan yang mereka lewati saat ini."Hanya berbeda tiga tahun berarti denganku.""Kamu seumuran Abian?" Tanya Santi sambi
"Mau pergi ke suatu tempat, sayang?" Tawar Abian pada Flora."Tidak, aku capek. Gak tahu ini badan kok rasanya capek terus padahal aku gak ada ngerjain apa-apa. Cuma beres-beres doang." Ucap wanita itu sambil menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Rasanya benar-benar lelah, padahal dia tidak melakukan apapun kecuali beres-beres rumah saja. Itupun biasanya tidak terlalu lelah."Istirahat, kamu gak boleh capek-capek, sayang. Kita akan menikah sebentar lagi, jadi siapkan tubuhmu. Kalau bisa, rawat milikmu dengan baik biar Mas makin gemes." Goda Abian yang membuat Flora tertawa."Biar gemes katanya? Sekarang aja kamu udah gemes sama aku kan, Mas?""Banget, sayang.""Tapi tumben udah dua minggu ini, kamu gak merengek meminta jatah. Biasanya setiap malam selalu minta jatah." Ucap Flora. Memang, sudah cukup lama Abian tidak meminta jatah malamnya dan itu membuat Flora heran sendiri, selain itu juga dia merindukan saat tubuhnya di manjakan o
Plak..Flora dan Abian menoleh, dia menatap seseorang yang berdiri di depan mereka. Seorang pria dengan tatapan tajam penuh amarah, dia menatap Flora dan Abian dengan tajam seolah ingin mengoyak mangsanya. Di tangannya, dia memegang sebuah balok kayu yang di yakini Flora kalau dengan benda itulah dia memukul kepala Abian."Apa yang kau lakukan hah?""Kau bertanya? Harusnya kau sudah tahu jawabannya, Flora. Ini hukuman untuk kalian berdua karena ternyata selama ini kalian berdua telah menghianatiku!" Ucap Arifin penuh penegasan. Ya, pria yang datang membawa onar itu adalah Arifin."Kau yang memulai lebih dulu, aku hanya membalas!" Jawab Flora dengan berani, dia membalas tatapan tajam pria itu dengan marah. Dia marah bukan karena tamparan pria itu, tapi karena dia juga melukai Abian."Kau benar-benar pria yang tidak tahu malu, Arifin, Kau sudah menyia-nyiakan aku, lalu sekarang kau datang seolah disini aku yang bersalah? Aku tidak habis pik
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.