Arifin terdiam di depan sebuah pusara yang sialnya, disana terdapat ukiran nama saudarinya. Winda. Rasanya benar-benar tidak bisa di percaya kalau saudarinya telah pergi meninggalkannya, rasanya benar-benar menyakitkan sekali.
"Mbak, kenapa pergi secepat ini, mbak? Aku bahkan belum sempat memberimu kebahagiaan." Ucap Arifin. Air matanya meluruh begitu saja, rasanya benar-benar menyakitkan hingga dadanya terasa sesak. Bahkan untuk sekedar bernafas saja, rasanya sakit."Mbak, maaf karena aku tidak menemani mu disaat-saat terakhir." Lirihnya sambil menundukkan kepalanya, pria itu menangis tergugu di depan pusara sang kakak. Betapa dia menyesali kebodohannya, andai saja dia tidak menonaktifkan ponselnya, mungkin dia akan datang lebih cepat dan bisa menemani Winda disaat terakhirnya."Aku menyesal, Mbak. Maafkan aku, aku adik yang buruk kan?""Iya, kau adalah adik yang paling buruk, Arifin!" Ucap sebuah suara, namun itu bukan berasal dari gundukan tanaDi dalam mobil itu hanya ada keheningan, tidak ada yang membuka suaranya. Padahal biasanya, suasana di dalam mobil selalu hangat karena keduanya akan mengobrol dan bercanda bersama dengan romantis ala sepasang kekasih pada umumnya."Tadi ngobrolin apa sama Mbak Santi?" Tanya Abian. Setelah sekian lama hanya ada keheningan, akhirnya pria itu membuka suaranya terlebih dulu."Cuma ngobrol biasa kok, Mas.""Jangan bohong, Mas gak suka wanita pembohong!""Keliatan banget gitu kalau aku lagi bohong, Mas?" Tanya Flora."Wajah kamu memang biasa saja, tapi telinga kamu merah." Jawab Abian tanpa melirik ke arah wanitanya, dia fokus mengemudikan mobil sedan miliknya."Hehe, aku memang terlalu jujur. lya kan, Mas?""Hmm, jadi ngobrolin apa kalian berdua?" Tanya Abian lagi, wajahnya terlihat serius."Mbak Santi nyuruh aku cepet nikah lagi.""Hah?""lya, katanya setelah tiga bulan langsung nikah aja." Ucap F
"Mas, mau mampir dulu?" Tanya Flora sebelum dia keluar dari mobil Abian."Sebentar saja. Mas pingin sama kamu dulu. Boleh ya?""Tentu saja, kalau tidak boleh aku juga gak bakalan nawarin kamu buat mampir. Ucap Flora sambil tersenyum, dia keluar lebih dulu dari mobil dan di ikuti oleh Abian. Saat ini, dia belum ingin berada di rumah untuk sementara karena di rumah itu terlalu banyak kenangan.Semuanya terlalu tiba-tiba dan Abian tidak mau berlarut-larut dalam mengenang kepergian sang kakak. jadi dia akan bersama Flora saja disini untuk sementara waktu sampai dia tenang. Sebenarnya, hatinya tidak selapang itu untuk menerima kepergian sang kakak yang terbilang tragis.Abian masuk ke dalam rumah Flora, suasananya sangat nyaman. Aroma menenangkan yang bercampur dengan parfum Flora menguar memasuki indra penciumannya. dia suka dengan bau ini."Mas, aku ke kamar dulu sebentar.""lya, sayang. Jangan pakai pakaian nakal.""Idih,
Berbeda dengan hubungan pasangan lain yang berbanding terbalik. Arifin dan Arina tengah berdebat hebat saat ini. Dimana. Arifin menyalahkan Arina karena wanita itulah yang memintanya mematikan ponsel sewaktu bersamanya, karena dia tidak ingin ada yang mengganggu waktunya untuk memeras Arifin."Ini semua gara-gara kamu. Arin.""Lho, kok nyalahin aku sih?" Tanya Arina dengan nada tidak terima ketika dirinya di salahkan seperti ini. Dia merasa tidak bersalah sama sekali, tapi kenapa Arifin menyalahkan dirinya seperti ini?"Gara-gara kamu yang nyuruh aku matiin ponsel. aku jadi tidak bisa bertemu Winda untuk terakhir kalinya!""Apa maksudmu?" Tanya Arina lagi. wanita itu memang belum tahu kalau Winda telah berpulang."Mbak Winda meninggal dan aku tidak bisa menemaninya, ini semua gara-gara kau!""Aku? Memangnya apa yang aku perbuat? Aku hanya memintamu mematikan ponsel agar tidak terganggu saat kita sedang bersama. Apa aku salah?"
"Sayang. Mas pergi dulu." Pamit Abian. hari ini dia akan pergi bekerja. Selain bekerja, dia juga akan bertemu Robi untuk memulai semuanya. Rasanya dia sudah sangat gemas dengan tingkah Arifin. tidak peduli meskipun pria itu adalah saudaranya sendiri.Siapapun yang telah menyakiti Flora, maka dia akan membuatnya menderita. Siapapun itu dan itu adalah janjinya."lya. Mas. Hati-hati..""Hmm. cium dulu." Pinta Abian sambil menunjuk pipinya. Flora tersenyum kecil lalu mengecup pipi sang pria dengan cepat."Aaahhh, rasanya aku langsung bersemangat. Energiku langsung terisi penuh." Flora tertawa sambil mendekat lalu memeluk tubuh besar Abian."Kapan kesini lagi?" Tanya nya dengan nada manja."Paling nanti malam atau besok, kenapa?""Gapapa, cuman takut kangen aja nantinya." Jawab Flora, dia menggelayut manja di lengan besar Abian."Sayang. Mas bahkan belum berangkat lho. Malahan Mas gak mau berangkat lihat kamu manja g
"Abi..""Hmm.." Abian hanya menjawab dengan deheman, dia kembali fokus pada ponselnya."Bagaimana dengan Arin?""Kemarin dia mengabari kalau Arifin sudah meminta untuk mengakhiri hubungan mereka. Jadi. sudah seharusnya aku turun tangan, bukan? Ini sudah waktunya.""Kau yakin? Apa ini tidak terlalu cepat. Abi?" Tanya Robi setelah sekian lama dia hanya diam."Apalagi yang aku tunggu. Flora sudah resmi bercerai dengannya. dia sudah membelikan rumah untuk Flora. Apalagi? Sekarang giliran ku untuk menghancurkannya. Robi.""Kau benar-benar pria picik. Abi.""Yes, it's me." Jawab Abian sambil tersenyum sinis. Dia tidak sabar melihat Arifin jatuh miskin dan menderita, itu adalah buah dari kesombongannya. Disaat seperti itu, dia yakin kalau Arifin pasti akan mengemis-ngemis pada Flora untuk memintanya kembali. Biarkan. dia akan sedikit menguji wanitanya karena dia percaya kalau Flora tidak akan pernah mau kembali pada Arifin.
Di lain tempat, Arifin melangkah lesu keluar perusahaan dengan tas kerja yang di sampirkan di pundaknya. Dia menatap perusahaan dan semua fasilitasnya, dia tidak rela meninggalkan perusahaan dan jabatannya ini. Tapi apa boleh buat? Kecurangannya sudah di ketahui dan Robi tidak memberi ampun untuk dirinya hangat udah ketahuan menggelapkan dana perusahaan sebesar itu."Eehh, katanya direktur keuangan di pecat karena ketahuan korupsi. lya gak sih?" Bisik-bisik karyawan yang tak sengaja berpapasan dengan Arifin di lobi perusahaan. Padahal masih pagi, tapi Arifin sudah pergi keluar perusahaan dengan tas kerja dan beberapa barang miliknya yang dia bawa di tangannya. Terlihat benar kalau dia habis di pecat sepertinya."Katanya sih iya, mana uang yang di gelapkan itu banyak lho, sepuluh milyar. Kayaknya di pake foya-foya ya, soalnya dia pakai barang-barang bermerk.""Kayaknya sih gitu, soalnya kan gayanya hedon banget. Eehh, ternyata beli-beli barang gitu hasil ko
Arifin berjalan sedikit pincang karena pergelangan kakinya terasa sakit, sepertinya terkilir atau keseleo saat tersandung tadi.Kruukk..Perut pria itu berbunyi, dia ingat kalau dia belum makan siang. Dia membuka dompetnya dan menghela nafasnya ketika melihat hanya ada satu lembar uang berwarna ungu, itupun sisaan preman tadi."Duit segini cukup buat beli apa?" Gumam Arifin, tapi dia tidak putus asa akhirnya pria itu melipir ke arah warung pinggir jalan."Mbak, mie instan makan disini berapa?" Tanya Arifin pada seorang wanita paruh baya penjual makanan di pinggir jalan."Delapan ribu udah pake telor.""Yaudah, es teh cekek dapat dua ribu gak?" Tanya Arifin yang membuat penjual itu melihat penampilan Arifin dari atas hingga ke bawah. Penampilannya acak-acakan, rambutnya berantakan dengan pakaian yang kotor karena jatuh tadi."Harusnya sih lima ribu, tapi gapapalah, Silahkan duduk.""Terimakasih, Bu. Ini uangnya."
"Alana Anastasia, kau ingat nama itu Arifin?" Tanya Arina sambil tersenyum kecil, dia sudah bisa bernafas dengan bebas lagi sekarang."Alana?""Aku tunjukkan wajahnya jika kau lupa." Arina menarik sebuah kain yang menutupi figura besar berisi foto seorang gadis yang tengah tersenyum di tengah taman bunga. Wajahnya cantik, senyumnya terlihat sangat manis dan tulus. Tatapan matanya teduh dan menenangkan, dia adalah Alana. Adik tiri Arina, gadis di dalam foto itu adalah alasan kenapa Arina melakukan pembalasan dendam hingga sejauh ini.Bahkan hingga rela mengorbankan tubuhnya sendiri. Mengorbankan tubuh? Sebenarnya tidak karena dia juga menikmatinya, dia juga sudah tidak perawan lagi saat bertemu dengan Arifin untuk pertama kalinya saat itu."G-gadis itu..""Kau mengingatnya?" Tanya Arina, tapi dia hanya melihat Arifin yang bungkam. Dia sama sekali tidak bisa menjawab karena semua orang-orang terdekatnya dia larang keras agar tidak pernah me