Home / Pernikahan / Mendadak Punya Cucu / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Mendadak Punya Cucu: Chapter 21 - Chapter 30

44 Chapters

Bab Dua Puluh Satu

Belum juga sampai di bangku-bangku itu, tiba-tiba Mas Amar sudah menubrukku."Aku merindukanmu," ucap Mas Amar dengan suara yang gemetar.Untuk sesaat tubuhku membeku. Perlakuannya yang tiba-tiba tersebut, membuatku tak sempat berpikir harus bagaimana menanggapinya.Hingga ketika otakku kembali bekerja, barulah aku tersadar jika tindakannya sangat tidak pantas. Lekas kudorong tubuh tegapnya sekuat tenaga. Sehingga dirinya nyaris terhuyung ke belakang."Tolong jaga sikap Anda. Ini tempat umum. Dan tak pantas juga Anda melakukan itu pada saya. Ingat, kita sudah bercerai. Kita sudah tidak memiliki hubungan apapun," tegasku, memperingatkannya. "Maafkan aku yang tidak bisa bertindak tegas saat itu," cicit Mas Amar dengan kornea yang tampak berkabut.Aku terpejam sejenak. Menguatkan diri agar tak terpengaruh olehnya."Cukup, Om! Cerita kita sudah selesai. S
Read more

Bab Dua Puluh Dua

"Asal kau tahu saja, Kalila. Si anak pungut itu memendam rasa sama kamu."Ragaku mematung saat itu juga. Kalimat terakhir yang kudengar dari mulut Mas Amar, mau tidak mau membuatku sibuk mencari-cari apa yang ia maksud.Anak pungut? Apa maksudnya anak pungut? "Kenapa diam?" Suara Mas Amar terdengar mendekat. "Kaget? Kamu baru tahu kalau Ilham itu cuma anak pungut?" Om Amar tertawa puas, mendapati keterkejutanku. "Kalila, Kalila. Kau pikir saja, mana ada laki-laki dewasa memberi perhatian lebih pada perempuan dewasa, tanpa maksud apa-apa? Tanpa punya perasaan apa-apa? Apalagi sebatas teman atau saudara. Pikir baik-baik!" Om Amar berjalan mengitari tubuhku yang masih membatu.Secepatnya kugelengkan kepala untuk mengembalikan kesadaranku. Tidak. Aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Mas Amar pasti hanya mengada-ada. Ia pasti sedang mencari-cari topik pembicaraan, agar aku bisa lebih lam
Read more

Bab Dua Puluh Tiga

Bola mataku membulat sempurna. Betapa tercengangnya aku mendengar apa yang Ayah katakan. Ini sungguh tak bisa dipercaya."Yah, gak bisa gitu, dong?" protesku, tak habis pikir."Dengar, Kalila! Kalau kamu punya suami, Amar gak akan ganggu kamu lagi," tutur Ayah, penuh keyakinan."Masalahnya, kenapa harus menikah sama Om Ilham? Dia itu Omnya Lila, Yah? Ini gak boleh terjadi." Aku coba mengingatkan, barangkali Ayah lupa."Lila, kamu sama Ilham bukan saudara." Kali ini Ibu yang bicara.Aku menggeleng tak percaya. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa semuanya mendadak berubah seperti ini? Aku berdiri meninggalkan kursi. Berjalan mundur menjauhi kedua orang tuaku."Lila," panggil Ibu.Tak kuhiraukan beliau. Aku tak percaya ini semua. Tak kusangka jika yang dikatakan Mas Amar ternyata benar adanya.Tapi, kenapa? Kenapa hany
Read more

Bab Dua Puluh Empat

"Ya ampun, kamu cerewet sekali. Bisa pusing kepalaku kalau jadi suamimu," keluh Om Ilham, seraya menutup kedua telinganya dengan bantal. Tanpa ia sadari, ucapannya seketika telah berhasil membungkam mulutku yang tadinya masih ingin berbicara.Aku segera berpaling darinya. Berdiri menghadap jendela. Mengalihkan pandangan ke samping rumah Nenek. Perkataannya tadi, sungguh telah membuatku teringat dengan pembicaraan antara aku dan kedua orang tuaku semalam Tiba-tiba sepasang lengan melingkar di perutku. Hembusan hangat napasnya terasa menyentuh kulit tengkukku."Om ...." Aku berusaha melepaskan pelukannya. Ini terasa sangat aneh bagiku. Namun, bukannya terlepas, ia justru semakin mengeratkannya."Ayah dan Ibu kamu pasti udah ngomongin semuanya, kan?" tanyanya, meletakkan dagu di pundakku. Membuat detak jantungku seakan berpacu dengan cepat."Om, aku-""Sstt ...! Aku gak minta pendapatmu. Aku cuma butuh kesiapanmu. Kapan kamu siap jadi istriku?" Pertanyaan Om Ilham, tak serta merta mampu
Read more

Bab Dua Puluh Lima

Mendadak wajahku menghangat. Aku yakin saat ini sudah nampak seperti daging buah semangka. Entah mengapa kata-katanya mampu membuat perasaanku jadi tak karuan. Padahal bukan rayuan yang lontarkan. Tapi, dalam sekejap hatiku luluh lantah dibuatnya.Mungkin benar aku ini materialistis. Buktinya setelah diajak belanja, aku tidak lagi berusaha menolaknya. Malah aku seperti terhipnotis olehnya. Aku menurut dan patuh kemanapun ia membawaku.Atau mungkin hanya perasaan senang seperti yang sudah-sudah. Saat masih jadi keponakannya, baik aku maupun Kirana memang tidak pernah segan meminta apapun padanya. "Om, kita kan belum makan siang. Aku lapar," keluhku, merasakan cacing di perutku yang sudah mulai berdemo."Iya, nanti abis ngecek toko kita makan." Jawabannya sungguh tidak menyenangkan.Kukira dia akan seperti tokoh-tokoh pria yang sering kutulis atau kubaca dalam cerita, yang akan bertindak ce
Read more

Bab Dua Puluh Enam

"Ish ... Om ini apa-apaan, sih?" sungutku, menepis tangannya. "Malu tahu.""Kenapa malu? Semua orang juga tahu, kalau kamu calon istriku.""Iya, tapi gak usah kayak gini juga.""Kayak gini gimana?" godanya, membuatku susah payah menahan malu. "Kayak gini maksudnya?" Om Ilham malah merapatkan pelukannya."Sudah, sudah, jangan godain Kalila terus." Suara Kakek menginterupsi, sehingga lelaki itu mau tak mau mengurai pelukannya."Iya. Sudah sana kalian makan dulu," timpal Nenek, selanjutnya."Lho, Kakek sama Nenek gak makan?" tanyaku, heran kenapa malah menyuruh kami makan."Nenek nanti aja sama Kakek. Kakek baru aja minum obat, nanti makannya satu jam lagi," terang Nenek.Bahagia sekali melihat Kakek dan Nenek. Sudah setua itu, sudah puluhan tahun bersama, mereka masih saja saling setia. Saling melengkapi. Selalu bersama-sama menghadapi
Read more

Bab Dua Puluh Tujuh

Ilham's Pov************Setelah melepas kepulangan calon istriku, Kalila,   anak serta adiknya, aku bersama dua orang yang telah merawat dan membesarkanku, kembali ke dalam rumah. Kemudian kuantar Ibu dan Bapakku yang telah sepuh itu agar beristirahat lebih awal. Apalagi siang tadi mereka menjalani cek up rutin. Pasti tubuh renta itu akan merasa letih."Kamu juga jangan begadang terus. Istirahat yang cukup, habis ini kamu bakal lebih sibuk ngurus lamaran sama pernikahan." Ibu memperingatkanku."Iya, iya, Ibu. Ibu ini cerewet seperti Kalila," gurauku, langsung mendapat jeweran dari Ibu.Aku kembali ke ruang keluarga. Menyalakan televisi, mencari-cari acara yang menarik untuk ditonton. Irisku tertuju pada layar, namun entah kenapa pikiranku melayang pada bayangan Kalila.Pikiranku sangat tidak nyaman. Padahal ia baru beberapa menit meninggalkan rumah ini. Rasa was-was seketika meny
Read more

Bab Dua Puluh Delapan

Kalila's Pov************"Ibu ...!""Nenek ...!" Semua orang berteriak, menggaungkan sebutan masing-masing pada Nenek. Tubuh renta itu telah terkulai tak berdaya, beralaskan hamparan susunan batu alam yang ditata sedemikian rupa, sehingga memunculkan motif artistik.Mas Amar yang berada paling dekat buru-buru meraih raga itu ke pangkuannya. Begitupun dengan Om Ilham, Kirana, dan Kakek. Mereka berhamburan menghampiri Nenek. Sedangkan aku tertinggal karena kepayahan sambil menggendong Arla."Bu, bangun, Bu ...." Om Ilham memindahkan kepala Nenek ke atas pahanya sembari menitikkan air mata."Kita bawa ke rumah sakit," usul Mas Amar. Ia segera membantu mengangkat Nenek bersama Om Ilham ke dalam kendaraan miliknya.Kami semua mengekori langkah mereka. Hingga aku pun tersadar akan sesuatu."Kakek, di rumah aja sama Kiran. Biar L
Read more

Bab Dua Puluh Sembilan

"Iya. Aku memang mau mati. Terima kasih sudah memberitahuku," ucapku lalu berjalan mengikuti arah telunjuknya. Sebelumnya, aku sempat melihat ekspresinya yang terperangah mendengar kata-kataku."Hei, tunggu!" teriaknya, memanggil.Bisa kudengar pula hentakan sepatunya yang menandakan ia tengah berlari. Suaranya kian dekat. Pasti dia mengejarku. Ia mengira aku benar-benar akan bunuh diri. Padahal aku pergi untuk menjauh darinya. Karena, aku yakin jika diam saja, pemuda itu akan terus menerus merutuki kecerobohanku yang hampir tertabrak olehnya."Heh, lo serius mau bunuh diri?" tanyanya, saat sudah mensejajarkan langkah denganku.Tak penting bagiku menjawab pertanyaan konyolnya. Aku melirik sekilas padanya, lalu kembali menatap ke depan. Tanpa berniat menghentikan laju dari kakiku."Hei, lo bisu? Eh, tapi tadi lo bisa ngomong. Jawab gue, dong! Lo patah hati, ya? Pasti abi
Read more

Bab Tiga Puluh

Pantulan sinar mentari yang melewati sebuah jendela, membuat kelopak mataku ragu untuk terbuka. Namun, merasa ada yang tengah memerhatikan, kupaksakan untuk bisa melihat gerangan yang kupikir sedang mengawasiku."Hai, syukurlah kau sudah sadar. Gimana? Apa kepalamu pusing?" Ia menyapa sekaligus melontarkan tanya, saat irisku berhasil menangkap bayangan wajahnya.Tangannya menggenggam erat jemariku yang terasa dingin. Selimut tebal menutup tubuhku hingga batas dada. "Dingin, Om," lirihku, menguraikan apa yang saat itu kurasakan."Iya, kau demam. Tadi juga udah diperiksa sama dokter. Sekarang makan dulu, ya? Nanti abis ini minum obat." Om Ilham meraih mangkuk berisi bubur yang terletak di nakas samping tempat tidur di kamarnya.Pria yang semalam bersimbah air mata itu, tampak lebih segar. Ia juga mampu mengulas senyum merekah di hadapanku. Tangannya bergerak telaten menyuapkan sendok berisi
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status