Kimi seolah tak berani menggerakkan otot lehernya, bahkan ketika tangan yang berotot itu semakin kuat mengunci pinggangnya. Belum lagi kulit lututnya yang menggesek paha Hans yang berbalut celana gelap. Wajah pria itu begitu dekat dengan dadanya. Kimi bahkan bisa merasakan embusan napasnya menerpa lengan. Dia hanya bisa duduk di sana, dalam pangkuan Hans, dengan tatapan yang hanya bisa ia tujukan kepada Desi. Bukan karena ia ingin begitu, tapi karena ia memang tak sanggup memandang wajah di dekatnya, terutama dengan jantung yang mendadak berdegup kencang. “Begitu tidak bekerja di sini, kau melupakan etikamu, Desi?” Suara dingin Hans semakin meningkatkan keinginan Kimi untuk bergidik. Namun, ia berhasil menahannya. Apalagi saat dilihatnya sosok Desi tetap melenggang ke arah sofa dan duduk di sana. “Maaf, Hans. Ini hampir jam makan siang. Jadi, kupikir kau sedang senggang seperti biasanya dan—” “Seperti biasanya,” ulang Hans yang diakhiri dengan tawa pendek. “Well, mulai sekarang kau
Read more