Kimi seolah tak berani menggerakkan otot lehernya, bahkan ketika tangan yang berotot itu semakin kuat mengunci pinggangnya. Belum lagi kulit lututnya yang menggesek paha Hans yang berbalut celana gelap. Wajah pria itu begitu dekat dengan dadanya. Kimi bahkan bisa merasakan embusan napasnya menerpa lengan. Dia hanya bisa duduk di sana, dalam pangkuan Hans, dengan tatapan yang hanya bisa ia tujukan kepada Desi. Bukan karena ia ingin begitu, tapi karena ia memang tak sanggup memandang wajah di dekatnya, terutama dengan jantung yang mendadak berdegup kencang. “Begitu tidak bekerja di sini, kau melupakan etikamu, Desi?” Suara dingin Hans semakin meningkatkan keinginan Kimi untuk bergidik. Namun, ia berhasil menahannya. Apalagi saat dilihatnya sosok Desi tetap melenggang ke arah sofa dan duduk di sana. “Maaf, Hans. Ini hampir jam makan siang. Jadi, kupikir kau sedang senggang seperti biasanya dan—” “Seperti biasanya,” ulang Hans yang diakhiri dengan tawa pendek. “Well, mulai sekarang kau
Kimi bisa bernapas lega kali ini, karena Hans tidak melontarkan kritik pedas terhadap dirinya. Itu semua berkat Rob yang memberinya saran dan membantunya memilihkan pakaian serta detail lain yang sebelumnya terlewatkan.Sekarang setelah ia tahu apa yang membuat Hans waktu itu mengkritik penampilannya, ia merasa lelaki tersebut benar-benar sentimental. Bagaimana tidak? Saat menemuinya diam-diam kemarin, Rob berkata, “Nona, jadilah dirimu sendiri! Tuan Hans memilihmu karena dia sudah melihat karaktermu. Jadi, jangan mengubahnya! Apalagi berpenampilan seperti di acara tahunan di Mountain View tempo hari. Anda hanya akan mengingatkannya pada sakit hati yang dirasakannya, karena penampilan Anda saat itu mirip dengan seseorang.”Kimi jadi tersenyum-senyum sendiri setiap kali teringat perkataan Rob itu. Seperti sekarang, ketika ia dan Hans duduk berdampingan di dalam mobil yang dikemudikan oleh asisten tuanya. Dia beberapa kali tersenyum pada bayangannya sendiri yang terpantul di jendela mob
“Akhir bulan ini?” celetuk Violetta, yang pertama kali tergugah dari kebisuan. Pertanyaannya itu dijawab Kimi dengan anggukan yang disertai senyuman malu-malu. “Wah … ini benar-benar seperti mimpi di siang bolong. Hans akhirnya akan menikah!” imbuh Vio sembari menoleh ke semua temannya.“Tanpa acara tunangan? Langsung menikah saja?” timpal yang lain tak kalah terkejut.Hans tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Kimi dengan penuh kelembutan. “Kami sepakat untuk tidak membuang-buang waktu.”Pria yang duduk di sebelah Hans, menyikut perutnya. “Hei hei … acara seperti ini tidak bisa disebut membuang waktu. Orang-orang seperti kita selalu melewatinya tahap demi tahap. Kau ingin melanggar tradisi?”Hans mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Keluarga kami sudah setuju untuk mempercepat acara pernikahan,” pungkasnya, membuat semua orang kembali saling melempar pandang.Tak ingin tamunya terlalu banyak menyita perhatian tamu lainnya, Victor pun berkata, “Kau memang menyebalkan, Hans. Bisa-bisan
Setelah puluhan gaun yang ia lihat dan coba, akhirnya pilihan Kimi jatuh kepada gaun pengantin warna fuchsia, yang alih-alih menggembung layaknya gaun pengantin pada umumnya, tapi justru menempel sempurna di tubuh Kimi, sehingga menonjolkan lekuk pinggangnya yang seksi."Aku suka yang ini. Bagaimana menurutmu?" tanya Kimi pada karyawan butik yang sejak tadi sudah bersabar melayaninya."Itu sempurna, Nona Kimi. Anda memiliki bentuk tubuh yang diimpikan oleh sebagian besar wanita di dunia ini, sehingga gaun dengan model seperti itu melekat di tubuh Anda, benar-benar menciptakan aura yang menawan."Kimi tahu ucapan si Karyawan hanyalah template yang memang sudah biasa mereka katakan pada para pelanggan, tapi tetap saja dia merasa puas.Meski begitu, ia tak bisa memutuskannya sendiri. Kimi tak mau di hari pernikahannya -meskipun ini hanya pernikahan kontrak- mendengar seseorang memprotes penampilannya. Oleh karena itu, ia mengambil ponsel dari dalam tas dan menyodorkannya pada karyawan ya
Kimi teringat akan ucapan Icha, yang pernah mengatakan bahwa mungkin dirinya pernah melakukan suatu kebaikan di kehidupan sebelumnya, sehingga ia kini bisa menikmati hasil dari karma baiknya.Megahnya dekorasi yang dibuat oleh tim wedding organiser benar-benar membuat Luke Downtown Hotel seperti istana di negeri dongeng. Mereka memasang hiasan mulai dari pintu masuk hotel hingga ke conference hall yang kini sudah disulap menjadi kolam bunga berhiaskan lilin-lilin gantung.Kimi sudah bisa merasakan tarikan napas takjub sejak dari kamar 5017, di mana ia dikerumuni empat orang yang masing-masing mengurus riasan, rambut, gaun dan tetek bengek lainnya. Hanya melihat para pengiringnya saja -yang semuanya adalah teman kerja di toko furnitur-, Kimi tak henti-hentinya tersenyum. Semua temannya menyanjung keluarga Hans, yang dengan royalnya memberikan pernikahan semegah itu. Mereka juga tak habis pikir, bagaimana seorang Kimi bisa menjadi pasangan salah satu taipan di kota ini. Tanpa mereka sa
Kimi tak tahu semalam mimpi apa. Dia sama sekali tak punya firasat apapun bahwa hari ini akan menjadi hari paling memalukan di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, tadi pagi ia memulai hari dengan langkah ringan dan senyum sumringah karena momen bahagia yang terjadi kemarin.Itu sebabnya, saat ini dia hanya duduk mematung dengan tatapan kosong karena seluruh saraf otaknya mendadak lumpuh, setelah minuman dingin di depannya direnggut oleh seseorang dan kemudian disiramkan ke atas kepalanya.Dia tentu saja bisa merasakan suasana kafe yang seketika menjadi sehening pemakaman. Bahkan musik instrumen yang sejak tadi mengalun indah, kini seolah-olah berubah menjadi musik pengiring kematian.Meski begitu, Kimi tak bisa merasakan sensasi dingin ketika butiran-butiran balok es menyentuh kulit kepalanya. Alih-alih merasa dingin, ia justru merasa sekujur tubuhnya memanas. Terutama di bagian wajah.Ketika dia akhirnya bisa sedikit menggerakkan bola mata, Kimi melihat satu dari dua pria yang duduk di s
Matanya berkedip lemah, kala menatap pria yang duduk di depannya. Wajah Kimi memancarkan kepolosan yang murni karena ia benar-benar tak paham dengan kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Hans. “Membayar kebaikanmu?” Ia berdeham singkat, kemudian melanjutkan, “Kau ingin aku membayar ongkos untuk tumpangan mobilmu ini, ya? Baiklah, aku—”Kimi menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka retsleting tas kerjanya, ketika tawa Hans meledak di dalam mobil yang penerangannya tak dinyalakan itu. “Aku tidak butuh uangmu,” tukas pria tersebut sesudah tawanya berhenti.Kerutan di dahi Kimi semakin dalam. “Jadi?”“Menikahlah denganku!”Untuk beberapa saat keheningan menyergap kendaraan roda empat itu. Kimi dan Hans saling beradu pandang dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian Kimi tak bisa lagi menahan perasaan geli dan gilirannya tertawa terpingkal-pingkal.Masih dengan tawa yang menderanya, ia mengedarkan pandangan berkeliling seolah ingin menemukan sesuatu. “Apa ini? Apakah aku se
Kimi memandangi Icha yang sedang membolak-balikkan kartu berwarna hitam bertuliskan nama lengkap Hans beserta jabatan dan nama perusahaannya. Dia menunggu dengan sabar komentar yang pasti akan keluar dari mulut sahabatnya. “Apakah menurutmu ini asli, Kim?” ujar Icha seraya menyerahkan kembali kartu nama Hans ke tangan Kimi. “Maksudku, ada ‘kan cerita tentang manajer suatu agensi yang merekrut seorang talenta. Mereka memberikan kartu nama, lalu kita menghubunginya, dan semuanya berakhir dengan kita yang menyerahkan sejumlah uang.” “Tapi di sana ada alamatnya,” bantah Kimi. “Kita bisa memastikannya dengan datang ke sana. Dia sendiri yang bilang begitu.” Icha mempertimbangkan kata-kata teman kerjanya. Kemudian melanjutkan, “Baiklah. Katakan kartu nama ini memang benar adanya. Kalau kau pergi ke sana, bagaimana langkahmu selanjutnya? Apakah kau akan menerima tawaran itu? Melakukan pernikahan kontrak dengannya?” Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Kimi justru hanya menghenyakkan dirinya