Kimi tak tahu semalam mimpi apa. Dia sama sekali tak punya firasat apapun bahwa hari ini akan menjadi hari paling memalukan di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, tadi pagi ia memulai hari dengan langkah ringan dan senyum sumringah karena momen bahagia yang terjadi kemarin.
Itu sebabnya, saat ini dia hanya duduk mematung dengan tatapan kosong karena seluruh saraf otaknya mendadak lumpuh, setelah minuman dingin di depannya direnggut oleh seseorang dan kemudian disiramkan ke atas kepalanya.
Dia tentu saja bisa merasakan suasana kafe yang seketika menjadi sehening pemakaman. Bahkan musik instrumen yang sejak tadi mengalun indah, kini seolah-olah berubah menjadi musik pengiring kematian.
Meski begitu, Kimi tak bisa merasakan sensasi dingin ketika butiran-butiran balok es menyentuh kulit kepalanya. Alih-alih merasa dingin, ia justru merasa sekujur tubuhnya memanas. Terutama di bagian wajah.
Ketika dia akhirnya bisa sedikit menggerakkan bola mata, Kimi melihat satu dari dua pria yang duduk di sudut sebelah kiri, sedang memandanginya dengan tatapan campuran antara rasa ingin tahu, iba, dan anehnya juga tampak seperti mencemooh. Dia yakin semua pengunjung Delgado Cafe pasti sedang melakukan hal yang sama seperti pria itu.
“Apa-apaan ini?” Suara sahabatnyalah yang menyadarkan Kimi dari guncangan syok akibat serangan yang tiba-tiba itu. Dia melayangkan pandang ke wajah Icha -sang Sahabat yang sejak tadi mendengarkannya bercerita- yang duduk di seberangnya, lalu mengikuti arah pandangnya ke sosok yang berdiri di dekat meja mereka.
Kimi memandangi si Penyerang, seorang wanita tinggi semampai yang sudah berani mengambil es kopinya, dan menuangkan minuman yang baru saja ia cicipi beberapa saat lalu itu ke atas kepalanya.
Mata Kimi bergerak mengamati setiap detail yang ada dalam diri wanita itu. Model rambutnya, tampilan makeup-nya, tas dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia memutar otak untuk mengingat kembali siapa gerangan wanita yang berpenampilan menawan namun berperilaku kasar terhadapnya ini.
“Kau pantas mendapatkannya,” desis perempuan yang masih menatapnya dengan mata penuh kebencian.
Berusaha keras untuk memulihkan diri dari kekagetannnya, Kimi mengembangkan dada untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya melalui mulut. “Aku yakin sekali kau salah menyerang orang, Nona, sebab aku tidak mengenalmu sama sekali.”
Si Penyerang tampak mengeraskan rahang dan memicingkan kedua matanya. Pertanda yang semakin tak bagus bagi Kimi. Dengan gusar, wanita itu memasukkan tangan kanannya ke dalam tas kulit buaya, mengeluarkan beberapa lembar kertas glossy, lalu menyentakkannya di atas meja.
Reaksi Kimi seperti adegan opera sabun yang diputar dengan lambat. Awalnya, setelah mengusap dahi dari bekas siraman air kopi, dia meraih salah satu foto dengan mimik tak suka di wajah, lalu mengecek foto tersebut seraya mengernyitkan dahi, dan detik berikutnya kedua matanya terbelalak lebar.
Kimi langsung memalingkan wajah kepada penyerangnya. “Dari mana kau mendapatkan foto kami? Apakah kau menguntit? Karena aku tidak mengenalmu, jadi apakah kau menguntit kekasihku Willy?”
Rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Kimi, dijawab dengan tawa histeris dari perempuan yang mengenakan midi dress warna putih itu. Kimi dan Icha harus bersabar sampai dia puas melampiaskan tawa sinisnya.
Ketika berhenti tertawa, perempuan itu kembali menatap wajah Kimi dengan bengis. “Kekasihmu kau bilang? Asal kau tahu saja, Rambut Merah, Willy itu suamiku!” cetusnya dengan suara yang sengaja dikeraskan supaya seluruh pengunjung kafe mendengarnya.
Suara gumaman sontak memenuhi ruangan berkonsep klasik vintage itu. Membuat wajah Kimi semakin memerah dan kebingungan. Bagaimana mungkin? Willy mengaku sebagai pria lajang padanya. Dan mereka sama-sama serius menjalin hubungan asmara.
Bahkan kemarin sore, Willy mengajaknya melihat rumah di sebuah komplek perumahan, yang dikatakannya sebagai persiapan untuk kehidupan masa depan bagi mereka nanti jika sudah menikah. Itulah alasan Kimi malam ini bertemu dengan Icha. Untuk berbagi kebahagiaan yang ia rasakan, karena akhirnya menemukan pria yang ingin menikahi dirinya.
Kimi bahkan belum pulih dari keterkejutannya setelah mendengar informasi tersebut, ketika rambut merahnya lagi-lagi menjadi sasaran oleh keganasan prilaku wanita yang mengaku sebagai istri Willy itu. Teriakan kesakitan Kimi bercampur dengan suara-suara panik yang ada di dalam kafe, disusul dengan beberapa kursi yang berderit secara bersamaan.
Dan sebelum salah satu di antara mereka bisa melerai pertikaian antarperempuan itu, seorang pria yang baru saja menerobos pintu Delgado Cafe langsung mencengkeram tangan yang masih menjambak rambut Kimi dengan kuat.
Mata Kimi sedikit membola melihat kemunculan pria tersebut, seolah-olah lega karena penyelamatnya sudah datang dan akan menjernihkan masalah ini.
“Alexa, lepaskan dia! Kenapa kau bertingkah seperti ini? Itu semua tidak seperti yang kau pikirkan,” kata pria yang baru datang, seraya berkutat dengan tangan yang masih menjambak rambut Kimi.
Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, akhirnya rambut Kimi terbebas dari cengkeraman yang menyakitkan. Ia serta-merta berdiri tegak sambil menggelengkan kepala, untuk mengusir rasa sakit yang mendera kulit kepalanya.
“Kenapa, Willy? Kenapa kau berselingkuh dariku?” ratap perempuan itu dengan wajah yang mulai bersimbah air mata. “Apakah kau lebih mencintai perempuan dengan cat rambut norak sepertinya? Aku—”
“Sshh … Sayang, tenanglah!” ujar pria bernama Willy, sembari merengkuh kedua lengan istrinya dengan lembut. “Sungguh, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ayo kita pulang! Aku akan menjelaskan semuanya di—” Kata-katanya terpotong karena Alexa menepis tangannya.
“Aku tidak butuh penjelasan lagi, Willy. Kau sudah mengkhianatiku dengan menjalin hubungan dengannya. Kau—”
“Aku tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh, Sayang. Aku hanya sedang bosan karena belakangan ini kau terlalu sibuk dengan bisnis barumu.”
Pernyataan itu sontak membuat hati Kimi mencelos. Dia tak tahu perasaan mana tepatnya yang mendominasi dalam dirinya saat ini. Malu, sedih, kecewa dan marah bercampur menjadi gumpalan yang bergolak di dalam dadanya. Dan hal itu membuatnya ingin melakukan sesuatu.
Dengan api amarah yang menyelimuti dirinya, Kimi mengepalkan kedua tangan. Dan sebelum satu orang pun menyadari gerakannya, ia maju satu langkah, menarik tangan Willy hingga membuat pria tersebut berpaling padanya, lalu mendaratkan tinju di wajah suami Alexa.
Kimi tak menghiraukan pekikan kaget yang keluar dari mulut Alexa, Icha, atau pengunjung lain karena perbuatannya itu. Dia menghujamkan tatapannya ke sosok Willy yang terhuyung satu langkah karena pukulannya.
“Dasar berengsek! Kalau kau sedang bosan dengan perkawinanmu, seharusnya kau tidak menyeretku ke dalam—” Kimi tak sempat menyelesaikan ucapannya, karena Alexa lagi-lagi menjambak rambutnya. Dia berteriak kesakitan sembari berusaha melepaskan diri dari cengkeraman istri Willy.
Suara gaduh semakin riuh memenuhi kafe. Makian dan ancaman akan melaporkan Kimi ke polisi terlontar dari mulut Alexa. Hinga kemudian ….
“Lepaskan dia, Nyonya! Akan kuhitung sampai tiga. Jika kau tidak melepaskan nona berambut merah itu, aku akan membuat pengaduan resmi atas gangguan ini. Dan percayalah! Kau berada di posisi yang tidak menguntungkan karena kami semua menyaksikan kaulah yang pertama kali menyerangnya.”
Seorang pria yang mengenakan setelan serba gelap, yang beberapa saat lalu dilihat Kimi duduk di sudut kiri kafe sembari memberikan pandangan mencemooh, kini berdiri di antara kerumunan pengunjung yang mengitari para pelaku keributan. Suaranya seakan-akan menghipnotis Alexa, yang kemudian secara perlahan melepaskan Kimi.
Pria jangkung itu maju selangkah, sehingga ia kini berada di depan pengunjung lainnya. “Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Dan itu terjadi karena sikap pengecut dari suamimu sendiri. Jadi, jika aku jadi kau, aku akan lebih memilih menyiramkan es kopi itu pada suamimu sebelum menyerang nona berambut merah itu.”
Aura yang menguar dari lelaki dengan garis-garis wajah aristokrat tersebut, membuat seluruh pengunjung kafe terdiam. Dan sebelum mereka kembali bersuara, orang itu kembali melanjutkan ucapannya, kali ini lebih ditujukan kepada Kimi.
“Kau terlihat kacau sekali! Akan memalukan jika kau pulang dengan transportasi umum. Aku bisa mengantarmu, kalau kau mau.”
Layaknya terkena pengaruh hipnotis yang sangat kuat, Kimi buru-buru meraih tas kerjanya dan mengikuti langkah kaki pria itu ke luar Delgado. Di belakangnya, Icha yang masih kebingungan terpaksa berjalan cepat mengikuti sahabatnya.
Sesampainya di luar, laki-laki itu memimpin Kimi dan Icha menuju sedan hitam, di mana seorang pria lain yang tampilannya mengesankan umur setengah abad berdiri di sampingnya. Kimi ingat pria itu juga duduk di dalam kafe beberapa saat lalu, bersama orang yang akan memberinya tumpangan.
“Kita akan mengantar mereka pulang dulu, Rob.”
Pria yang kepalanya sudah ditumbuhi banyak uban itu menganggukkan kepala. “Baik, Tuan Hans.”
Setelah tanya jawab yang singkat mengenai alamat yang akan dituju, sedan hitam itu kemudian meluncur di jalan raya untuk mengantar Icha pulang lebih dulu. Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang menemani mereka bertiga.
Kimi masih larut dalam patah hatinya, sehingga dia tak berminat untuk menganalisa kendaraan yang ditumpanginya; satu hal yang selalu ia lakukan setiap kali berjumpa dengan pria kaya. Desain interior mobil yang futuristik tak bisa menghilangkan rasa sakit hatinya akibat sikap Willy.
Kimi juga masih belum sadar, ketika sedan itu akhirnya berhenti di depan sebuah gang komplek yang rumahnya padat tanpa halaman dan terkesan penuh sesak.
“Kau ingin kembali ke sana dan meninju pria itu lagi?”
Kata-kata yang dilontarkan dengan nada sarat akan kesinisan itu, menyentak lamunan Kimi. Dengan segera ia menyadari kesalahannya. “Maaf,” celetuknya seraya meraih handle pintu. “… dan terima kasih sudah mengantar—”
“Siapa bilang kau boleh keluar dari mobilku begitu saja?” Hans memutar tubuhnya ke belakang dan menatap wajah Kimi dengan bola matanya yang tajam. “Aku tidak pernah membantu seseorang dengan sukarela. Jadi, kau harus membayar kebaikanku, Nona.”
***
Matanya berkedip lemah, kala menatap pria yang duduk di depannya. Wajah Kimi memancarkan kepolosan yang murni karena ia benar-benar tak paham dengan kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Hans. “Membayar kebaikanmu?” Ia berdeham singkat, kemudian melanjutkan, “Kau ingin aku membayar ongkos untuk tumpangan mobilmu ini, ya? Baiklah, aku—”Kimi menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka retsleting tas kerjanya, ketika tawa Hans meledak di dalam mobil yang penerangannya tak dinyalakan itu. “Aku tidak butuh uangmu,” tukas pria tersebut sesudah tawanya berhenti.Kerutan di dahi Kimi semakin dalam. “Jadi?”“Menikahlah denganku!”Untuk beberapa saat keheningan menyergap kendaraan roda empat itu. Kimi dan Hans saling beradu pandang dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian Kimi tak bisa lagi menahan perasaan geli dan gilirannya tertawa terpingkal-pingkal.Masih dengan tawa yang menderanya, ia mengedarkan pandangan berkeliling seolah ingin menemukan sesuatu. “Apa ini? Apakah aku se
Kimi memandangi Icha yang sedang membolak-balikkan kartu berwarna hitam bertuliskan nama lengkap Hans beserta jabatan dan nama perusahaannya. Dia menunggu dengan sabar komentar yang pasti akan keluar dari mulut sahabatnya. “Apakah menurutmu ini asli, Kim?” ujar Icha seraya menyerahkan kembali kartu nama Hans ke tangan Kimi. “Maksudku, ada ‘kan cerita tentang manajer suatu agensi yang merekrut seorang talenta. Mereka memberikan kartu nama, lalu kita menghubunginya, dan semuanya berakhir dengan kita yang menyerahkan sejumlah uang.” “Tapi di sana ada alamatnya,” bantah Kimi. “Kita bisa memastikannya dengan datang ke sana. Dia sendiri yang bilang begitu.” Icha mempertimbangkan kata-kata teman kerjanya. Kemudian melanjutkan, “Baiklah. Katakan kartu nama ini memang benar adanya. Kalau kau pergi ke sana, bagaimana langkahmu selanjutnya? Apakah kau akan menerima tawaran itu? Melakukan pernikahan kontrak dengannya?” Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Kimi justru hanya menghenyakkan dirinya
“Rumah?”Kimi hampir saja menyemburkan biskuit yang masih ada di dalam mulutnya, begitu mendengar permintaan yang disampaikan oleh bibinya. Kepalanya mendadak terasa pening, sehingga ia sulit untuk memikirkan reaksi seperti apa yang seharusnya ia perlihatkan, selain terkejut dan berteriak secara spontan.Kimi tahu, membawa sosok seperti Hans ke rumahnya untuk membicarakan pernikahan akan berujung seperti ini. Bibinya takkan mudah melepaskannya untuk orang lain. Dengan dalih bahwa selama ini ia telah membesarkannya dengan susah payah, dia menginginkan suatu penebusan.Jadi, begitu ia berdiri di depan pintu bersama Hans, ditemani oleh asistennya, Rob, yang meskipun tampak tua tapi menyorotkan sinar kemapanan, mata Bibi Kimi pun seketika menjadi cerah. Hidungnya bisa mencium aroma uang yang bertumpuk dari dua pria yang menyatroni rumahnya tanpa pemberitahuan.Wanita culas itu semakin girang, ketika Hans mengutarakan niat kedatangannya dan berakting dengan sangat bagus, sewaktu menyatakan
“Bagaimana penampilanku?” Kimi mengarahkan layar ponsel dari atas ke bawah, supaya Icha bisa memperhatikan detail penampilannya kali ini.Dia sedang berada di salon kecantikan dan baru saja selesai dirias. Karena mendadak merasa gugup, maka ia melakukan panggilan video kepada sahabatnya. Dia tahu di jam-jam petang, toko furnitur pasti sedang santai dan tidak akan mengganggu jika ia menyita waktu Icha barang 5 menit.“Aku tidak pernah melihatmu secantik ini, Kim,” puji Icha dengan tulus. “Kau terlihat sangat berbeda. Kau bahkan mengganti warna rambutmu. Lagi!”Kimi mengusap rambutnya yang sekarang berwarna seperti karamel dan disanggul dengan anggun. Dia harus izin cuti dari toko hari ini, supaya bisa datang ke salon lebih awal dan mendapatkan perawatan total untuk merombak penampilannya.Dia harus merelakan rambut merahnya dan menyerahkan pilihan kepada hairstylist untuk menentukan warna apa yang serasi untuk dirinya, sekaligus cocok untuk menghadiri sebuah pesta dari kalangan para ek
Kimi menatap wajah Hans dengan rasa tak percaya. ‘Laki-laki ini … pasti ada yang salah dengan isi kepalanya,’ bisiknya dalam hati. Dia tentu saja merasa tersinggung dengan perkataan Hans. Kimi memang merasa gugup sebelumnya karena berada di situasi yang asing baginya. Namun, dia tak berpikir jika penampilannya seburuk itu hingga bisa disebut mengecewakan.“Kau tahu berapa yang kuhabiskan untuk terlihat seperti ini?”Hans tertawa pendek. “Ooh, itu bahkan lebih mengecewakan lagi! Mengingat akulah yang harus membayar tagihannya nanti,” tukasnya tanpa perasaan.Mendengar itu, emosi Kimi jadi ikut tersulut. “Astaga! Aku tak tahu lagi bagaimana penampilan terbaik menurut versimu, Mr. Perfect!” balas wanita tersebut, dengan masih bertahan di tempatnya berdiri. Ia tak beranjak sedikit pun, bahkan ketika Hans berdiri dari tempat duduk dan maju selangkah ke arahnya.“Kau datang ke sini sebagai pasanganku. Jadi, perhatikan kata-katamu!” desis pria berbadan jangkung dan berbahu lebar itu.Kimi me
Kimi secara diam-diam mencuri pandang ke arah kanan, di mana sosok Hans sedang duduk di sampingnya. Sementara mobil yang dikemudikan oleh Rob terus melaju melewati lampu-lampu jalan raya yang masih dipadati oleh lalu lintas malam. Sejak keluar dari Mountain View Hotel 15 menit yang lalu, Hans sama sekali belum bicara. Bahkan ketika Kimi tersandung pintu lift dan hampir membuat pria tersebut ikut jatuh, kebungkamannya masih tetap bertahan. Dan Kimi semakin yakin bahwa asumsinya benar belaka. Dia tak punya keraguan sedikit pun, tentang hati Hans saat ini. Acara pesta para eksekutif beberapa saat lalu, sudah cukup memberikan bukti. Kimi masih ingat, setelah Jessy menyebut nama Desi, Hans -dengan mengemukakan alasan hendak menemui koleganya yang lain- segera menarik Kimi ke sudut lain yang lebih sepi. Menghindari kerumunan dan mulai mengunci mulutnya. Kimi melalui 40 menit di sana dengan menjadi manekin. Para pria banyak meliriknya, tapi Hans memasang mimik sangar sehingga tak seorang
Kimi merinding di bawah tatapan wanita yang lebih jangkung darinya. Dia seakan-akan dibuat membeku oleh kata-kata dingin yang baru saja meluncur dari mulutnya. Sehingga saat Hans meraih pinggang kecilnya, Kimi oleng begitu saja ke pelukan pria tersebut.“Tidak. Aku tidak memilihnya secara acak, Ibu. Aku sudah mengenalnya beberapa waktu dan berpikir kalau dia sangat cocok menjadi pendamping hidupku.”Ibu Hans memicingkan matanya hingga membentuk garis sabit. “Kau pikir pernikahan itu seperti acara sulap? Yang bisa kau mainkan sesuka hatimu? Kami bahkan belum mengenalnya.”Tanpa rasa gentar sedikit pun, bahkan cenderung terlihat santai, Hans membalas, “Yah, Ibu, itulah kenapa aku membawanya ke acara kita malam ini. Supaya kalian semua bisa mengenalnya.”Ibu Hans membuka mulut hendak menimpali ucapan anaknya, ketika seorang wanita lain yang tampak jauh lebih sepuh ikut angkat bicara, “Ira, Ira … sudahlah, mereka baru saja datang. Jangan mendebatnya seperti itu!”“Tapi, Ibu—”Decakan kasa
Kimi tersenyum geli, kala melihat sahabatnya terkesima dengan kafe miliknya. Icha mendesah kagum setiap kali melihat perabot atau peralatan kafe yang semuanya tampak unik dan estetik.“Aku yakin di kehidupan sebelumnya kau adalah putri raja yang dikorbankan, Kim. Itulah kenapa di kehidupan sekarang kau begitu beruntung.”Kimi tertawa pendek, lalu menimpali, “Kau lupa 18 tahun yang kulalui dalam kesengsaraan di rumah bibiku?”Icha mencubit lengan Kimi dengan lembut, kemudian memeluknya. “Ohh, ayolah, aku tidak bermaksud begitu, Kim. Aku hanya mengungkapkan betapa kehidupanmu sekarang tampak begitu … sempurna. Keluarga bibimu tentu saja masih sialan di mataku.”Ketika mereka saling melepaskan pelukan, Kimi tersenyum kecil. “Bagaimana kabar di toko?”Icha menjatuhkan diri di salah satu kursi yang ada di depan meja bar, begitu juga dengan Kimi. “Manajer terus mengeluh. Katanya tidak ada karyawan yang cekatan sepertimu. Kau seharusnya tahu bagaimana aku dan si Keriting Layla mencoba menghi