Kimi memandangi Icha yang sedang membolak-balikkan kartu berwarna hitam bertuliskan nama lengkap Hans beserta jabatan dan nama perusahaannya. Dia menunggu dengan sabar komentar yang pasti akan keluar dari mulut sahabatnya.
“Apakah menurutmu ini asli, Kim?” ujar Icha seraya menyerahkan kembali kartu nama Hans ke tangan Kimi. “Maksudku, ada ‘kan cerita tentang manajer suatu agensi yang merekrut seorang talenta. Mereka memberikan kartu nama, lalu kita menghubunginya, dan semuanya berakhir dengan kita yang menyerahkan sejumlah uang.”
“Tapi di sana ada alamatnya,” bantah Kimi. “Kita bisa memastikannya dengan datang ke sana. Dia sendiri yang bilang begitu.”
Icha mempertimbangkan kata-kata teman kerjanya. Kemudian melanjutkan, “Baiklah. Katakan kartu nama ini memang benar adanya. Kalau kau pergi ke sana, bagaimana langkahmu selanjutnya? Apakah kau akan menerima tawaran itu? Melakukan pernikahan kontrak dengannya?”
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Kimi justru hanya menghenyakkan dirinya ke belakang, bersandar pada kursi putarnya. Matanya menerawang ke pagar besi yang menjadi pembatas atrium yang ada di lantai dasar Five Star Mall.
Hanya ada beberapa pengunjung yang mendatangi toko furnitur mereka, dan ini sudah hampir jam makan siang. Kimi dan Icha sama-sama meninggalkan posisi mereka dan duduk di area bar karyawan, menanti kawan-kawan yang lain untuk makan siang bersama.
“Aku benar-benar ingin terbebas dari rumah itu dan semua penghuninya,” gumam Kimi seraya menyisirkan jemari di rambut merahnya. Dia membungkukkan badan dan menatap permukaan sepatu imitasi dari brand impiannya.
Tak lama kemudian, ia menegakkan punggungnya lagi dan menatap wajah sahabatnya dengan penuh harap. “Bisa jadi ‘kan kalau ini adalah kesempatan untukku?” ujarnya putus asa.
Icha membalas tatapannya dengan iba. Namun, ia pun kemudian menganggukkan kepala. “Ya, tak ada salahnya mencoba. Kalaupun itu memang benar, kerugian yang akan kau tanggung setahun lagi hanyalah menyandang status janda. Tapi masa bodoh dengan itu. Yang penting adalah kau punya cukup uang untuk modal hidup mandiri. Anggap saja ini sebuah pekerjaan yang agak unik, begitu ‘kan?”
Senyum Kimi tersungging di bibirnya yang seperti buah ceri. “Terima kasih, Icha. Sudah kuduga, kaulah yang selalu memahamiku.”
“Jadi, kapan kau akan ke sana?”
“Setelah makan siang.”
***
Kimi memandangi bangunan tiga lantai dengan desain kontemporer yang aneh, yang berdiri di area pusat kota. Ada sudut-sudut yang mencuat di bagian luar dan sangat kontras dengan dua balkon yang berbentuk setengah lingkaran. Orang lain mungkin akan menganggapnya sebagai seni arsitek, tapi Kimi jelas tak beranggapan begitu.
Wanita 28 tahun itu menyeberangi jalan raya dan menuju pos keamanan yang ada di bagian depan kantor Wira Property. Dia mendapati seorang pria sedang duduk di sana dan menyimak berita siang dari layar TV 21”, yang segera saja menyadari kedatangan dirinya.
“Selamat siang. Ada yang bisa kubantu, Nona?” sapa pria tua yang mengenakan setelan serba biru. Mata sipitnya mengamati penampilan Kimi dan terpaku cukup lama di bagian kepalanya. Reaksi yang selalu Kimi terima setiap kali berjumpa dengan orang baru. Cat rambut yang dipilihnya kali ini memang cukup mencolok.
“Hmm, aku ingin bertemu dengan Hans Bhara Wirawan.”
Penjaga tua itu memicingkan matanya hingga membentuk garis sabit. “Sudah ada janji?”
Kimi menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Tidak, tapi dia menyuruhku datang ke sini kalau aku perlu bicara dengannya.”
Dengan sigap pria tersebut keluar dari pos. “Ohh, kalau begitu silakan masuk saja ke dalam dan beritahu staf FO. Mereka akan menunjukkan ruangan bos.”
Setelah mendengar informasi yang ringkas itu, Kimi menganggukkan kepala dan hendak berlalu masuk ke gedung di depannya, ketika ia kemudian secara tiba-tiba berhenti dan kembali berpaling kepada petugas keamanan. “Anda sudah lama bekerja di sini?”
Pria tersebut membusungkan dadanya, seakan-akan ia hendak mengakui prestasi terbaiknya. “Dua puluh lima tahun, Nona. Aku mengabdi pada perusahaan ini sejak mereka merintis bisnisnya untuk pertama kali.”
Dengan ragu-ragu Kimi menimpali, “Kalau begitu, Anda pasti tahu orang seperti apa Hans Bhara Wirawan itu?”
“Tak ada kata lain yang bisa menggambarkan kepribadiannya, selain kata ‘tegas’. Dia selalu tegas dalam segala hal, Nona. Anda pasti akan segera mengetahuinya, jika sebentar lagi Anda bertemu dengan bos kami.”
Merasa sudah cukup mendengar penjelasan dari penjaga tua itu, Kimi pun mengucapkan terima kasih dan segera masuk ke dalam. Ia menghampiri meja resepsionis dan mengatakan hal yang kurang lebih sama seperti yang disampaikan di pos keamanan.
Staf penerima tamu melakukan panggilan sejenak, dan kemudian berkata kepada Kimi bahwa ia siap mengantarnya ke lantai 2. Tanpa banyak bicara, Kimi dan perempuan bercempol itu menaiki tangga, menyusuri koridor, dan melewati beberapa ruangan dengan jendela-jendela kaca yang besar.
Resepsionis itu berhenti di depan ruangan yang letaknya paling ujung dan memiliki pintu paling besar. Dia mengetuk sebanyak dua kali, lalu dengan gerakan yang sangat lembut membuka pintunya. Dia memberi isyarat pada Kimi untuk mengikutinya.
Mereka masuk ke dalam ruangan berukuran 7x10 yang didominasi oleh warna monokrom. Baik cat dinding maupun semua perabotnya. Dan di sisi sebelah kanan, hampir menyatu dengan dinding, Kimi melihat sosok pria yang kemarin malam mengajukan tawaran teraneh dalam hidupnya.
Hans sedang duduk di kursi putar dengan bundelan berkas di tangan kirinya. Dia terlihat sangat fokus dengan dokumen tersebut, sampai-sampai asistennya harus menghampiri mejanya dan berdeham untuk menyita perhatiannya.
“Tuan, dia sudah ada di sini,” gumam pria yang Kimi ingat sebagai sopir yang mengantarnya semalam.
Hans mendongak dan langsung melihat sosok Kimi yang berdiri di tengah ruangan. Setelah bosnya mengalihkan perhatian dari berkas di tangannya, si Asisten memberi isyarat pada staf penerima tamu untuk meninggalkan ruangan.
“Silakan duduk,” ucap asisten Hans pada Kimi. “Kita belum sempat berkenalan kemarin. Bagaimana kami harus memanggil Anda, Nona?”
“Kimi Adisti. Panggil saja Kimi.” Ketika menjawab, mata Kimi tak berhenti mengikuti sosok jangkung Hans yang mulai berdiri dan duduk di sofa tunggal yang ada di seberangnya.
“Baik, Nona Kimi. Nama saya Robert Kurniawan, Anda bisa memanggil saya Rob atau apapun yang Anda suka. Dan orang yang duduk di hadapan Anda adalah Tuan Hans, pimpinan dari perusahaan ini.” Rob melempar pandang sejenak ke arah atasannya, lalu melanjutkan, “Karena Anda akhirnya muncul di tempat ini, saya asumsikan bahwa Anda mungkin tertarik dengan tawaran Tuan Hans. Apakah benar begitu?”
Kimi mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. “Yah, sebenarnya ada beberapa syarat yang—”
“Apakah bonus yang kutawarkan kemarin masih kurang?” sela Hans tajam, kendati wajahnya tak menampakkan ekspresi apapun.
“Oh, ehh … itu, aku hanya—”
“Satu miliar?”
Kimi terlihat kesusahan untuk menelan ludah. Dengan gelisah dia mengalihkan pandangan ke arah Rob, yang menimpali kecemasannya hanya dengan senyuman dan anggukan kepala. Meskipun tampak ragu, tapi Kimi akhirnya berhasil kembali menatap Hans.
“Tapi … kau tidak akan macam-macam terhadapku, ‘kan?”
Gelak tawa Hans pecah di dalam ruang kerjanya. Dan sikapnya itu membuat Kimi mengerut, sehingga tubuh kecilnya terlihat melesak semakin dalam ke sofa.
“Jangan khawatir! Karaktermu memang sesuai dengan yang kuinginkan untuk tugas ini, tapi kau jelas sekali bukan tipeku. Tidak punya daya tarik. Paham?”
Diam-diam Kimi mengepalkan kedua tangannya. Dia ingin sekali memukul kepala Hans dengan salah satu plakat yang ada di ruangan itu. Kata-katanya sedikit mengusik harga diri Kimi sebagai seorang wanita sekaligus karyawan terbaik, yang tiap tahunnya selalu berhasil menjual furnitur paling banyak.
Bagaimana tidak? Kolega serta atasan Kimi saja, sudah lama mengakui bahwa ia memiliki apa yang mereka sebut sebagai daya tarik dan selalu sukses memikat para konsumen untuk melakukan transaksi jual beli. Dan sekarang ia mendengar seorang pria berkata tanpa basa-basi bahwa dirinya tak memiliki daya tarik. Sombong sekali!
Sambil berusaha untuk tetap terlihat tenang, Kimi bicara, “Baiklah, kalau begitu. Tapi keluargaku bukan sesuatu yang mudah untuk ditangani. Mereka—”
“Beritahu saja orang tuamu kalau ada seorang pria yang ingin menikahimu,” sela Hans tak sabar.
“Orang tuaku sudah meninggal.”
Hans dan Rob menatap Kimi lebih intens dan kemudian saling melempar pandang sejenak. “Well, kalau begitu apakah mungkin kau bisa menerima tugas ini? Karena meskipun hanya pernikahan kontrak, aku ingin semuanya terkesan nyata dan serius bagi orang lain,” ujar Hans yang mulai tampak ragu.
“Ohh, tentang itu aku pasti bisa melakukannya. Hanya saja masalahnya, bibiku mungkin akan sedikit mengganggumu. Dia bisa saja mengajukan permintaan yang agak berlebihan.”
Hans tersenyum masam. “Uang, ya?”
Kimi menganggukkan kepala, seraya berkata, “Atau mungkin benda. Yang tidak murah.”
***
“Rumah?”Kimi hampir saja menyemburkan biskuit yang masih ada di dalam mulutnya, begitu mendengar permintaan yang disampaikan oleh bibinya. Kepalanya mendadak terasa pening, sehingga ia sulit untuk memikirkan reaksi seperti apa yang seharusnya ia perlihatkan, selain terkejut dan berteriak secara spontan.Kimi tahu, membawa sosok seperti Hans ke rumahnya untuk membicarakan pernikahan akan berujung seperti ini. Bibinya takkan mudah melepaskannya untuk orang lain. Dengan dalih bahwa selama ini ia telah membesarkannya dengan susah payah, dia menginginkan suatu penebusan.Jadi, begitu ia berdiri di depan pintu bersama Hans, ditemani oleh asistennya, Rob, yang meskipun tampak tua tapi menyorotkan sinar kemapanan, mata Bibi Kimi pun seketika menjadi cerah. Hidungnya bisa mencium aroma uang yang bertumpuk dari dua pria yang menyatroni rumahnya tanpa pemberitahuan.Wanita culas itu semakin girang, ketika Hans mengutarakan niat kedatangannya dan berakting dengan sangat bagus, sewaktu menyatakan
“Bagaimana penampilanku?” Kimi mengarahkan layar ponsel dari atas ke bawah, supaya Icha bisa memperhatikan detail penampilannya kali ini.Dia sedang berada di salon kecantikan dan baru saja selesai dirias. Karena mendadak merasa gugup, maka ia melakukan panggilan video kepada sahabatnya. Dia tahu di jam-jam petang, toko furnitur pasti sedang santai dan tidak akan mengganggu jika ia menyita waktu Icha barang 5 menit.“Aku tidak pernah melihatmu secantik ini, Kim,” puji Icha dengan tulus. “Kau terlihat sangat berbeda. Kau bahkan mengganti warna rambutmu. Lagi!”Kimi mengusap rambutnya yang sekarang berwarna seperti karamel dan disanggul dengan anggun. Dia harus izin cuti dari toko hari ini, supaya bisa datang ke salon lebih awal dan mendapatkan perawatan total untuk merombak penampilannya.Dia harus merelakan rambut merahnya dan menyerahkan pilihan kepada hairstylist untuk menentukan warna apa yang serasi untuk dirinya, sekaligus cocok untuk menghadiri sebuah pesta dari kalangan para ek
Kimi menatap wajah Hans dengan rasa tak percaya. ‘Laki-laki ini … pasti ada yang salah dengan isi kepalanya,’ bisiknya dalam hati. Dia tentu saja merasa tersinggung dengan perkataan Hans. Kimi memang merasa gugup sebelumnya karena berada di situasi yang asing baginya. Namun, dia tak berpikir jika penampilannya seburuk itu hingga bisa disebut mengecewakan.“Kau tahu berapa yang kuhabiskan untuk terlihat seperti ini?”Hans tertawa pendek. “Ooh, itu bahkan lebih mengecewakan lagi! Mengingat akulah yang harus membayar tagihannya nanti,” tukasnya tanpa perasaan.Mendengar itu, emosi Kimi jadi ikut tersulut. “Astaga! Aku tak tahu lagi bagaimana penampilan terbaik menurut versimu, Mr. Perfect!” balas wanita tersebut, dengan masih bertahan di tempatnya berdiri. Ia tak beranjak sedikit pun, bahkan ketika Hans berdiri dari tempat duduk dan maju selangkah ke arahnya.“Kau datang ke sini sebagai pasanganku. Jadi, perhatikan kata-katamu!” desis pria berbadan jangkung dan berbahu lebar itu.Kimi me
Kimi secara diam-diam mencuri pandang ke arah kanan, di mana sosok Hans sedang duduk di sampingnya. Sementara mobil yang dikemudikan oleh Rob terus melaju melewati lampu-lampu jalan raya yang masih dipadati oleh lalu lintas malam. Sejak keluar dari Mountain View Hotel 15 menit yang lalu, Hans sama sekali belum bicara. Bahkan ketika Kimi tersandung pintu lift dan hampir membuat pria tersebut ikut jatuh, kebungkamannya masih tetap bertahan. Dan Kimi semakin yakin bahwa asumsinya benar belaka. Dia tak punya keraguan sedikit pun, tentang hati Hans saat ini. Acara pesta para eksekutif beberapa saat lalu, sudah cukup memberikan bukti. Kimi masih ingat, setelah Jessy menyebut nama Desi, Hans -dengan mengemukakan alasan hendak menemui koleganya yang lain- segera menarik Kimi ke sudut lain yang lebih sepi. Menghindari kerumunan dan mulai mengunci mulutnya. Kimi melalui 40 menit di sana dengan menjadi manekin. Para pria banyak meliriknya, tapi Hans memasang mimik sangar sehingga tak seorang
Kimi merinding di bawah tatapan wanita yang lebih jangkung darinya. Dia seakan-akan dibuat membeku oleh kata-kata dingin yang baru saja meluncur dari mulutnya. Sehingga saat Hans meraih pinggang kecilnya, Kimi oleng begitu saja ke pelukan pria tersebut.“Tidak. Aku tidak memilihnya secara acak, Ibu. Aku sudah mengenalnya beberapa waktu dan berpikir kalau dia sangat cocok menjadi pendamping hidupku.”Ibu Hans memicingkan matanya hingga membentuk garis sabit. “Kau pikir pernikahan itu seperti acara sulap? Yang bisa kau mainkan sesuka hatimu? Kami bahkan belum mengenalnya.”Tanpa rasa gentar sedikit pun, bahkan cenderung terlihat santai, Hans membalas, “Yah, Ibu, itulah kenapa aku membawanya ke acara kita malam ini. Supaya kalian semua bisa mengenalnya.”Ibu Hans membuka mulut hendak menimpali ucapan anaknya, ketika seorang wanita lain yang tampak jauh lebih sepuh ikut angkat bicara, “Ira, Ira … sudahlah, mereka baru saja datang. Jangan mendebatnya seperti itu!”“Tapi, Ibu—”Decakan kasa
Kimi tersenyum geli, kala melihat sahabatnya terkesima dengan kafe miliknya. Icha mendesah kagum setiap kali melihat perabot atau peralatan kafe yang semuanya tampak unik dan estetik.“Aku yakin di kehidupan sebelumnya kau adalah putri raja yang dikorbankan, Kim. Itulah kenapa di kehidupan sekarang kau begitu beruntung.”Kimi tertawa pendek, lalu menimpali, “Kau lupa 18 tahun yang kulalui dalam kesengsaraan di rumah bibiku?”Icha mencubit lengan Kimi dengan lembut, kemudian memeluknya. “Ohh, ayolah, aku tidak bermaksud begitu, Kim. Aku hanya mengungkapkan betapa kehidupanmu sekarang tampak begitu … sempurna. Keluarga bibimu tentu saja masih sialan di mataku.”Ketika mereka saling melepaskan pelukan, Kimi tersenyum kecil. “Bagaimana kabar di toko?”Icha menjatuhkan diri di salah satu kursi yang ada di depan meja bar, begitu juga dengan Kimi. “Manajer terus mengeluh. Katanya tidak ada karyawan yang cekatan sepertimu. Kau seharusnya tahu bagaimana aku dan si Keriting Layla mencoba menghi
Kimi seolah tak berani menggerakkan otot lehernya, bahkan ketika tangan yang berotot itu semakin kuat mengunci pinggangnya. Belum lagi kulit lututnya yang menggesek paha Hans yang berbalut celana gelap. Wajah pria itu begitu dekat dengan dadanya. Kimi bahkan bisa merasakan embusan napasnya menerpa lengan. Dia hanya bisa duduk di sana, dalam pangkuan Hans, dengan tatapan yang hanya bisa ia tujukan kepada Desi. Bukan karena ia ingin begitu, tapi karena ia memang tak sanggup memandang wajah di dekatnya, terutama dengan jantung yang mendadak berdegup kencang. “Begitu tidak bekerja di sini, kau melupakan etikamu, Desi?” Suara dingin Hans semakin meningkatkan keinginan Kimi untuk bergidik. Namun, ia berhasil menahannya. Apalagi saat dilihatnya sosok Desi tetap melenggang ke arah sofa dan duduk di sana. “Maaf, Hans. Ini hampir jam makan siang. Jadi, kupikir kau sedang senggang seperti biasanya dan—” “Seperti biasanya,” ulang Hans yang diakhiri dengan tawa pendek. “Well, mulai sekarang kau
Kimi bisa bernapas lega kali ini, karena Hans tidak melontarkan kritik pedas terhadap dirinya. Itu semua berkat Rob yang memberinya saran dan membantunya memilihkan pakaian serta detail lain yang sebelumnya terlewatkan.Sekarang setelah ia tahu apa yang membuat Hans waktu itu mengkritik penampilannya, ia merasa lelaki tersebut benar-benar sentimental. Bagaimana tidak? Saat menemuinya diam-diam kemarin, Rob berkata, “Nona, jadilah dirimu sendiri! Tuan Hans memilihmu karena dia sudah melihat karaktermu. Jadi, jangan mengubahnya! Apalagi berpenampilan seperti di acara tahunan di Mountain View tempo hari. Anda hanya akan mengingatkannya pada sakit hati yang dirasakannya, karena penampilan Anda saat itu mirip dengan seseorang.”Kimi jadi tersenyum-senyum sendiri setiap kali teringat perkataan Rob itu. Seperti sekarang, ketika ia dan Hans duduk berdampingan di dalam mobil yang dikemudikan oleh asisten tuanya. Dia beberapa kali tersenyum pada bayangannya sendiri yang terpantul di jendela mob
Kimi teringat akan ucapan Icha, yang pernah mengatakan bahwa mungkin dirinya pernah melakukan suatu kebaikan di kehidupan sebelumnya, sehingga ia kini bisa menikmati hasil dari karma baiknya.Megahnya dekorasi yang dibuat oleh tim wedding organiser benar-benar membuat Luke Downtown Hotel seperti istana di negeri dongeng. Mereka memasang hiasan mulai dari pintu masuk hotel hingga ke conference hall yang kini sudah disulap menjadi kolam bunga berhiaskan lilin-lilin gantung.Kimi sudah bisa merasakan tarikan napas takjub sejak dari kamar 5017, di mana ia dikerumuni empat orang yang masing-masing mengurus riasan, rambut, gaun dan tetek bengek lainnya. Hanya melihat para pengiringnya saja -yang semuanya adalah teman kerja di toko furnitur-, Kimi tak henti-hentinya tersenyum. Semua temannya menyanjung keluarga Hans, yang dengan royalnya memberikan pernikahan semegah itu. Mereka juga tak habis pikir, bagaimana seorang Kimi bisa menjadi pasangan salah satu taipan di kota ini. Tanpa mereka sa
Setelah puluhan gaun yang ia lihat dan coba, akhirnya pilihan Kimi jatuh kepada gaun pengantin warna fuchsia, yang alih-alih menggembung layaknya gaun pengantin pada umumnya, tapi justru menempel sempurna di tubuh Kimi, sehingga menonjolkan lekuk pinggangnya yang seksi."Aku suka yang ini. Bagaimana menurutmu?" tanya Kimi pada karyawan butik yang sejak tadi sudah bersabar melayaninya."Itu sempurna, Nona Kimi. Anda memiliki bentuk tubuh yang diimpikan oleh sebagian besar wanita di dunia ini, sehingga gaun dengan model seperti itu melekat di tubuh Anda, benar-benar menciptakan aura yang menawan."Kimi tahu ucapan si Karyawan hanyalah template yang memang sudah biasa mereka katakan pada para pelanggan, tapi tetap saja dia merasa puas.Meski begitu, ia tak bisa memutuskannya sendiri. Kimi tak mau di hari pernikahannya -meskipun ini hanya pernikahan kontrak- mendengar seseorang memprotes penampilannya. Oleh karena itu, ia mengambil ponsel dari dalam tas dan menyodorkannya pada karyawan ya
“Akhir bulan ini?” celetuk Violetta, yang pertama kali tergugah dari kebisuan. Pertanyaannya itu dijawab Kimi dengan anggukan yang disertai senyuman malu-malu. “Wah … ini benar-benar seperti mimpi di siang bolong. Hans akhirnya akan menikah!” imbuh Vio sembari menoleh ke semua temannya.“Tanpa acara tunangan? Langsung menikah saja?” timpal yang lain tak kalah terkejut.Hans tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Kimi dengan penuh kelembutan. “Kami sepakat untuk tidak membuang-buang waktu.”Pria yang duduk di sebelah Hans, menyikut perutnya. “Hei hei … acara seperti ini tidak bisa disebut membuang waktu. Orang-orang seperti kita selalu melewatinya tahap demi tahap. Kau ingin melanggar tradisi?”Hans mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Keluarga kami sudah setuju untuk mempercepat acara pernikahan,” pungkasnya, membuat semua orang kembali saling melempar pandang.Tak ingin tamunya terlalu banyak menyita perhatian tamu lainnya, Victor pun berkata, “Kau memang menyebalkan, Hans. Bisa-bisan
Kimi bisa bernapas lega kali ini, karena Hans tidak melontarkan kritik pedas terhadap dirinya. Itu semua berkat Rob yang memberinya saran dan membantunya memilihkan pakaian serta detail lain yang sebelumnya terlewatkan.Sekarang setelah ia tahu apa yang membuat Hans waktu itu mengkritik penampilannya, ia merasa lelaki tersebut benar-benar sentimental. Bagaimana tidak? Saat menemuinya diam-diam kemarin, Rob berkata, “Nona, jadilah dirimu sendiri! Tuan Hans memilihmu karena dia sudah melihat karaktermu. Jadi, jangan mengubahnya! Apalagi berpenampilan seperti di acara tahunan di Mountain View tempo hari. Anda hanya akan mengingatkannya pada sakit hati yang dirasakannya, karena penampilan Anda saat itu mirip dengan seseorang.”Kimi jadi tersenyum-senyum sendiri setiap kali teringat perkataan Rob itu. Seperti sekarang, ketika ia dan Hans duduk berdampingan di dalam mobil yang dikemudikan oleh asisten tuanya. Dia beberapa kali tersenyum pada bayangannya sendiri yang terpantul di jendela mob
Kimi seolah tak berani menggerakkan otot lehernya, bahkan ketika tangan yang berotot itu semakin kuat mengunci pinggangnya. Belum lagi kulit lututnya yang menggesek paha Hans yang berbalut celana gelap. Wajah pria itu begitu dekat dengan dadanya. Kimi bahkan bisa merasakan embusan napasnya menerpa lengan. Dia hanya bisa duduk di sana, dalam pangkuan Hans, dengan tatapan yang hanya bisa ia tujukan kepada Desi. Bukan karena ia ingin begitu, tapi karena ia memang tak sanggup memandang wajah di dekatnya, terutama dengan jantung yang mendadak berdegup kencang. “Begitu tidak bekerja di sini, kau melupakan etikamu, Desi?” Suara dingin Hans semakin meningkatkan keinginan Kimi untuk bergidik. Namun, ia berhasil menahannya. Apalagi saat dilihatnya sosok Desi tetap melenggang ke arah sofa dan duduk di sana. “Maaf, Hans. Ini hampir jam makan siang. Jadi, kupikir kau sedang senggang seperti biasanya dan—” “Seperti biasanya,” ulang Hans yang diakhiri dengan tawa pendek. “Well, mulai sekarang kau
Kimi tersenyum geli, kala melihat sahabatnya terkesima dengan kafe miliknya. Icha mendesah kagum setiap kali melihat perabot atau peralatan kafe yang semuanya tampak unik dan estetik.“Aku yakin di kehidupan sebelumnya kau adalah putri raja yang dikorbankan, Kim. Itulah kenapa di kehidupan sekarang kau begitu beruntung.”Kimi tertawa pendek, lalu menimpali, “Kau lupa 18 tahun yang kulalui dalam kesengsaraan di rumah bibiku?”Icha mencubit lengan Kimi dengan lembut, kemudian memeluknya. “Ohh, ayolah, aku tidak bermaksud begitu, Kim. Aku hanya mengungkapkan betapa kehidupanmu sekarang tampak begitu … sempurna. Keluarga bibimu tentu saja masih sialan di mataku.”Ketika mereka saling melepaskan pelukan, Kimi tersenyum kecil. “Bagaimana kabar di toko?”Icha menjatuhkan diri di salah satu kursi yang ada di depan meja bar, begitu juga dengan Kimi. “Manajer terus mengeluh. Katanya tidak ada karyawan yang cekatan sepertimu. Kau seharusnya tahu bagaimana aku dan si Keriting Layla mencoba menghi
Kimi merinding di bawah tatapan wanita yang lebih jangkung darinya. Dia seakan-akan dibuat membeku oleh kata-kata dingin yang baru saja meluncur dari mulutnya. Sehingga saat Hans meraih pinggang kecilnya, Kimi oleng begitu saja ke pelukan pria tersebut.“Tidak. Aku tidak memilihnya secara acak, Ibu. Aku sudah mengenalnya beberapa waktu dan berpikir kalau dia sangat cocok menjadi pendamping hidupku.”Ibu Hans memicingkan matanya hingga membentuk garis sabit. “Kau pikir pernikahan itu seperti acara sulap? Yang bisa kau mainkan sesuka hatimu? Kami bahkan belum mengenalnya.”Tanpa rasa gentar sedikit pun, bahkan cenderung terlihat santai, Hans membalas, “Yah, Ibu, itulah kenapa aku membawanya ke acara kita malam ini. Supaya kalian semua bisa mengenalnya.”Ibu Hans membuka mulut hendak menimpali ucapan anaknya, ketika seorang wanita lain yang tampak jauh lebih sepuh ikut angkat bicara, “Ira, Ira … sudahlah, mereka baru saja datang. Jangan mendebatnya seperti itu!”“Tapi, Ibu—”Decakan kasa
Kimi secara diam-diam mencuri pandang ke arah kanan, di mana sosok Hans sedang duduk di sampingnya. Sementara mobil yang dikemudikan oleh Rob terus melaju melewati lampu-lampu jalan raya yang masih dipadati oleh lalu lintas malam. Sejak keluar dari Mountain View Hotel 15 menit yang lalu, Hans sama sekali belum bicara. Bahkan ketika Kimi tersandung pintu lift dan hampir membuat pria tersebut ikut jatuh, kebungkamannya masih tetap bertahan. Dan Kimi semakin yakin bahwa asumsinya benar belaka. Dia tak punya keraguan sedikit pun, tentang hati Hans saat ini. Acara pesta para eksekutif beberapa saat lalu, sudah cukup memberikan bukti. Kimi masih ingat, setelah Jessy menyebut nama Desi, Hans -dengan mengemukakan alasan hendak menemui koleganya yang lain- segera menarik Kimi ke sudut lain yang lebih sepi. Menghindari kerumunan dan mulai mengunci mulutnya. Kimi melalui 40 menit di sana dengan menjadi manekin. Para pria banyak meliriknya, tapi Hans memasang mimik sangar sehingga tak seorang
Kimi menatap wajah Hans dengan rasa tak percaya. ‘Laki-laki ini … pasti ada yang salah dengan isi kepalanya,’ bisiknya dalam hati. Dia tentu saja merasa tersinggung dengan perkataan Hans. Kimi memang merasa gugup sebelumnya karena berada di situasi yang asing baginya. Namun, dia tak berpikir jika penampilannya seburuk itu hingga bisa disebut mengecewakan.“Kau tahu berapa yang kuhabiskan untuk terlihat seperti ini?”Hans tertawa pendek. “Ooh, itu bahkan lebih mengecewakan lagi! Mengingat akulah yang harus membayar tagihannya nanti,” tukasnya tanpa perasaan.Mendengar itu, emosi Kimi jadi ikut tersulut. “Astaga! Aku tak tahu lagi bagaimana penampilan terbaik menurut versimu, Mr. Perfect!” balas wanita tersebut, dengan masih bertahan di tempatnya berdiri. Ia tak beranjak sedikit pun, bahkan ketika Hans berdiri dari tempat duduk dan maju selangkah ke arahnya.“Kau datang ke sini sebagai pasanganku. Jadi, perhatikan kata-katamu!” desis pria berbadan jangkung dan berbahu lebar itu.Kimi me