Matanya berkedip lemah, kala menatap pria yang duduk di depannya. Wajah Kimi memancarkan kepolosan yang murni karena ia benar-benar tak paham dengan kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Hans. “Membayar kebaikanmu?” Ia berdeham singkat, kemudian melanjutkan, “Kau ingin aku membayar ongkos untuk tumpangan mobilmu ini, ya? Baiklah, aku—”
Kimi menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka retsleting tas kerjanya, ketika tawa Hans meledak di dalam mobil yang penerangannya tak dinyalakan itu. “Aku tidak butuh uangmu,” tukas pria tersebut sesudah tawanya berhenti.
Kerutan di dahi Kimi semakin dalam. “Jadi?”
“Menikahlah denganku!”
Untuk beberapa saat keheningan menyergap kendaraan roda empat itu. Kimi dan Hans saling beradu pandang dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian Kimi tak bisa lagi menahan perasaan geli dan gilirannya tertawa terpingkal-pingkal.
Masih dengan tawa yang menderanya, ia mengedarkan pandangan berkeliling seolah ingin menemukan sesuatu. “Apa ini? Apakah aku sedang ada di dalam acara TV yang biasa mengerjai orang-orang? Di mana kameranya? Tunjukkan padaku!”
Hans dan pria yang duduk di balik kemudi saling melempar pandang sejenak. “Dia lebih tolol dari dugaanku,” gerutu Hans dengan muka masam. Dia kembali menatap Kimi, lalu berkata, “Kau tidak marah pada pria yang sudah membohongimu itu? Atau kau sudah terbiasa dipermainkan oleh pria?”
Tawa Kimi serta-merta berhenti. Dengan wajah merengut dia membalas, “Itu tidak ada hubungannya denganmu.”
“Yah, kalau kau begitu marah padanya, maka kau seharusnya membalas pria itu. Bukan dengan tinjumu, tentu saja. Kau bisa memanfaatkan peluang yang kuberikan. Dengan menikah denganku, kau bisa—”
Kalimat Hans terpotong, karena Kimi dengan berani membekap mulutnya dengan telapak tangan kanannya. “Berhenti dulu mengatakan hal tentang menikah, Tuan. Yang perlu ditekankan di sini adalah kita tidak saling kenal satu sama lain. Fakta bahwa kau sudah membantuku, aku sangat berterima kasih, tapi menikah denganmu?” Kimi menggelengkan kepalanya, menganggap bahwa pria di depannya sudah tak waras.
Hans menepis tangan Kimi dengan tak sabar. “Kau mungkin menganggap permintaanku ini sinting, tapi pikirkanlah baik-baik! Dengan menikah denganku, kau bisa membalaskan sakit hatimu. Karena aku yakin sekali, dalam segala hal aku jauh lebih baik dari pria itu.”
Kimi menyipitkan sebelah matanya. “Bagaimana denganmu? Apa yang akan kau dapatkan dengan menikah denganku?”
Sejenak, Hans hanya terdiam memandangi Kimi. Dia tentu saja punya alasan tersendiri mengajukan permintaan yang memang diakuinya terdengar sinting. Akan tetapi, dia merasa mungkin saja tak bisa menemukan calon lain yang seperti Kimi. Dia juga tak mungkin menggunakan salah satu teman perempuan yang sudah dikenalnya.
Karakter Kimi yang sempat ia lihat sekilas di kafe, sangat pas dengan kriteria yang dicarinya. Meskipun ini adalah pertama kalinya mereka bertemu, tapi ia yakin instingnya sebagai seorang pebisnis tidak akan salah.
Seraya mencebikkan bibir sensualnya, Hans lalu berkata, “Yah, kau kelihatannya wanita yang kuat. Kau bisa membantu untuk mengatasi masalahku. Jangan khawatir! Kau tentu akan mendapatkan sejumlah uang sebagai upah, jika bersedia melakukan semua perintahku nanti. Dan setelah kontrak kita berakhir, aku akan memberimu bonus minimal 750 juta. Akan kutambah, jika pekerjaanmu mengesankan. Bagaimana?”
Jika di awal tadi Kimi menganggap ajakan menikah sudah cukup gila, maka sekarang setelah mendengar angka uang yang lumayan itu, ia merasa semua adegan ini harus diakhiri dengan segera, karena sudah cukup hidupnya dipermainkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Tanpa berkata apapun lagi, Kimi menarik handle pintu dan keluar dari mobil Hans. Dia mendengar suara pintu lain yang ikut dibuka, lalu tak berapa lama kemudian pria tersebut menahan langkahnya dengan menangkap pergelangan tangannya.
“Pikirkanlah! Kesempatan seperti ini tidak akan datang padamu dua kali.”
Kimi mengembuskan napas putus asa. “Masalahnya, aku tidak pernah bermimpi akan melakukan pernikahan kontrak dengan orang asing. Itu sama seperti menggadaikan hidupku—”
“Dan kau tidak akan rugi apapun,” sergah Hans bersikukuh. “Aku janji. Kita tidak akan bersentuhan, jadi kau tidak harus mengandung anak dari orang yang tidak kau cintai. Selain itu ….” Hans memperhatikan tas dan sepatu Kimi sekilas, “kau tidak akan memakai barang imitasi, karena aku akan memastikan kau bisa menjangkau segalanya.”
Kimi menggigiti bibirnya. Keraguan sangat jelas terukir di wajahnya. Beberapa kali dia memandangi Hans dan mobilnya secara bergantian, seolah-olah ingin memastikan bahwa pria itu bukan penipu yang tengah menjebaknya dengan modus operandi menawarkan pekerjaan yang menggiurkan, tapi di akhir justru ia sendiri yang akan membayar mahal.
Setelah hampir satu menit berlalu tanpa suara, Kimi akhirnya berkata, “Ini bukan masalah sepele. Aku harus memikirkannya.”
Bahu Hans tampak sedikit mengendor, saat ia mengembuskan napas lega. Ia kemudian memasukkan tangan kanannya ke saku celana dan mengeluarkan dompet kulit berwarna hitam. Dari sana ia menarik sebuah kartu nama yang juga berwarna sama.
“Alamat kantorku. Kita bisa mendiskusikan semuanya di sana nanti. Sampai jumpa!” Tanpa menunggu Kimi membalas salamnya, Hans berbalik dan menghampiri sedan mewahnya. Meninggalkan Kimi berdiri sendirian di jalan sempit menuju tempat tinggalnya yang berupa rumah susun di ujung gang.
Setelah mobil Hans membaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya, Kimi membalikkan badan dan mulai menyusuri jalanan gang. Beberapa kali ia berpapasan dengan orang yang dikenalnya, yang kemudian menanyakan alasan kenapa penampilannya tampak berantakan dan kotor. Ia menjawab mereka hanya dengan cengiran dan senyum lebar.
Ketika ia akhirnya sampai di depan bangunan berlantai lima dengan banyak pintu dan palang jemuran yang mengganggu pemandangan, Kimi mendongakkan wajah. Selama beberapa saat, pandangannya terpaku pada objek yang ada di atas sana. Namun, tak lama kemudian ia memindahkan tatapannya ke langit yang hanya dihiasi sedikit bintang.
Sekarang, setelah ia sendirian, kekecewaan yang dirasakannya atas kebohongan Willy terasa begitu menyakitkan. Harapannya seolah direnggut dan dihancurkan begitu saja. Penantian yang cukup lama baginya karena ia benar-benar sudah lelah dan muak dengan segala aspek dalam hidupnya.
“Ma, Pa, aku capek,” bisiknya dengan pilu, disusul dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca.
Akan tetapi, secepat mata itu merembang, secepat itu pula Kimi mengusap air matanya. Dia tak ingin siapapun memergokinya menangis. Dan sebelum emosinya dikuasai oleh kesedihan yang lebih lanjut, Kimi bergegas menapaki anak tangga menuju huniannya yang ada di lantai dua.
Sebelum membuka pintu berwarna kuning itu, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di balik pintu.
Dan benar saja. Ketika Kimi masuk ke dalam rumah dan baru saja melepaskan pantovel dari kakinya, seorang wanita paruh baya dengan rambut kusut masai yang terurai, langsung mendamprat dirinya, “Kau sudah dapatkan uang itu? Dari tadi siang aku sudah menunggu. Kau mulai berani mengabaikan pesan—”
Kimi membungkam mulut wanita tersebut dengan menyodorkan sebuah amplop coklat yang sedikit menggembung. “Kali ini tolong benar-benar bayarkan uang ini kepada induk semang kita, Bibi. Kalau Bibi ingin berjudi atau mabuk-mabukan, setidaknya carilah sendiri uang untuk itu. Aku sudah cukup kesulitan memenuhi semua kebutuhan orang-orang di rumah ini.”
Bibi merebut amplop dari tangan Kimi dengan kasar. “Ya, ya. Kau makin lama makin mirip ibumu, banyak omong. Jangan jadi sepertinya kalau tidak ingin malapetaka—”
“Bibi!” seru Kimi menyela ucapan bibinya. Napasnya tersengal-sengal karena gemuruh amarah yang mulai menyulut emosinya lagi. “Jangan berani-berani Bibi menghina ibuku. Dia seribu kali lebih baik darimu.”
Tanpa memberi kesempatan bibinya untuk membalas kata-katanya, Kimi segera pergi menuju pintu kamar yang ada di belakang, menutupnya dengan kencang, lalu memutar anak kuncinya. Mengabaikan sang Bibi yang meneriakkan cacian tak keruan dari ruang duduk.
Dengan gusar, Kimi membanting tasnya di atas kasur yang sudah tipis. Dia juga menanggalkan kemejanya yang bau kopi dan hendak melemparnya ke keranjang pakaian kotor, ketika matanya melihat sesuatu meluncur jatuh dari saku baju.
Kimi terdiam mengamati kartu nama yang diberikan Hans beberapa saat lalu. Cahaya bulan di luar sana menyoroti permukaan kartu itu, sehingga membuatnya agak mengkilap.
Tadi ia tak sempat membaca tulisan yang tertera di sana. Dan kali ini bibirnya lamat-lamat bergerak membaca, “Hans Bhara Wirawan, CEO Wira Property.” Perlahan, Kimi membungkukkan badan untuk meraih kartu nama di lantai kamarnya itu. “Benarkah ini sebuah kesempatan?” gumamnya sedikit berharap.
***
Kimi memandangi Icha yang sedang membolak-balikkan kartu berwarna hitam bertuliskan nama lengkap Hans beserta jabatan dan nama perusahaannya. Dia menunggu dengan sabar komentar yang pasti akan keluar dari mulut sahabatnya. “Apakah menurutmu ini asli, Kim?” ujar Icha seraya menyerahkan kembali kartu nama Hans ke tangan Kimi. “Maksudku, ada ‘kan cerita tentang manajer suatu agensi yang merekrut seorang talenta. Mereka memberikan kartu nama, lalu kita menghubunginya, dan semuanya berakhir dengan kita yang menyerahkan sejumlah uang.” “Tapi di sana ada alamatnya,” bantah Kimi. “Kita bisa memastikannya dengan datang ke sana. Dia sendiri yang bilang begitu.” Icha mempertimbangkan kata-kata teman kerjanya. Kemudian melanjutkan, “Baiklah. Katakan kartu nama ini memang benar adanya. Kalau kau pergi ke sana, bagaimana langkahmu selanjutnya? Apakah kau akan menerima tawaran itu? Melakukan pernikahan kontrak dengannya?” Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Kimi justru hanya menghenyakkan dirinya
“Rumah?”Kimi hampir saja menyemburkan biskuit yang masih ada di dalam mulutnya, begitu mendengar permintaan yang disampaikan oleh bibinya. Kepalanya mendadak terasa pening, sehingga ia sulit untuk memikirkan reaksi seperti apa yang seharusnya ia perlihatkan, selain terkejut dan berteriak secara spontan.Kimi tahu, membawa sosok seperti Hans ke rumahnya untuk membicarakan pernikahan akan berujung seperti ini. Bibinya takkan mudah melepaskannya untuk orang lain. Dengan dalih bahwa selama ini ia telah membesarkannya dengan susah payah, dia menginginkan suatu penebusan.Jadi, begitu ia berdiri di depan pintu bersama Hans, ditemani oleh asistennya, Rob, yang meskipun tampak tua tapi menyorotkan sinar kemapanan, mata Bibi Kimi pun seketika menjadi cerah. Hidungnya bisa mencium aroma uang yang bertumpuk dari dua pria yang menyatroni rumahnya tanpa pemberitahuan.Wanita culas itu semakin girang, ketika Hans mengutarakan niat kedatangannya dan berakting dengan sangat bagus, sewaktu menyatakan
“Bagaimana penampilanku?” Kimi mengarahkan layar ponsel dari atas ke bawah, supaya Icha bisa memperhatikan detail penampilannya kali ini.Dia sedang berada di salon kecantikan dan baru saja selesai dirias. Karena mendadak merasa gugup, maka ia melakukan panggilan video kepada sahabatnya. Dia tahu di jam-jam petang, toko furnitur pasti sedang santai dan tidak akan mengganggu jika ia menyita waktu Icha barang 5 menit.“Aku tidak pernah melihatmu secantik ini, Kim,” puji Icha dengan tulus. “Kau terlihat sangat berbeda. Kau bahkan mengganti warna rambutmu. Lagi!”Kimi mengusap rambutnya yang sekarang berwarna seperti karamel dan disanggul dengan anggun. Dia harus izin cuti dari toko hari ini, supaya bisa datang ke salon lebih awal dan mendapatkan perawatan total untuk merombak penampilannya.Dia harus merelakan rambut merahnya dan menyerahkan pilihan kepada hairstylist untuk menentukan warna apa yang serasi untuk dirinya, sekaligus cocok untuk menghadiri sebuah pesta dari kalangan para ek
Kimi menatap wajah Hans dengan rasa tak percaya. ‘Laki-laki ini … pasti ada yang salah dengan isi kepalanya,’ bisiknya dalam hati. Dia tentu saja merasa tersinggung dengan perkataan Hans. Kimi memang merasa gugup sebelumnya karena berada di situasi yang asing baginya. Namun, dia tak berpikir jika penampilannya seburuk itu hingga bisa disebut mengecewakan.“Kau tahu berapa yang kuhabiskan untuk terlihat seperti ini?”Hans tertawa pendek. “Ooh, itu bahkan lebih mengecewakan lagi! Mengingat akulah yang harus membayar tagihannya nanti,” tukasnya tanpa perasaan.Mendengar itu, emosi Kimi jadi ikut tersulut. “Astaga! Aku tak tahu lagi bagaimana penampilan terbaik menurut versimu, Mr. Perfect!” balas wanita tersebut, dengan masih bertahan di tempatnya berdiri. Ia tak beranjak sedikit pun, bahkan ketika Hans berdiri dari tempat duduk dan maju selangkah ke arahnya.“Kau datang ke sini sebagai pasanganku. Jadi, perhatikan kata-katamu!” desis pria berbadan jangkung dan berbahu lebar itu.Kimi me
Kimi secara diam-diam mencuri pandang ke arah kanan, di mana sosok Hans sedang duduk di sampingnya. Sementara mobil yang dikemudikan oleh Rob terus melaju melewati lampu-lampu jalan raya yang masih dipadati oleh lalu lintas malam. Sejak keluar dari Mountain View Hotel 15 menit yang lalu, Hans sama sekali belum bicara. Bahkan ketika Kimi tersandung pintu lift dan hampir membuat pria tersebut ikut jatuh, kebungkamannya masih tetap bertahan. Dan Kimi semakin yakin bahwa asumsinya benar belaka. Dia tak punya keraguan sedikit pun, tentang hati Hans saat ini. Acara pesta para eksekutif beberapa saat lalu, sudah cukup memberikan bukti. Kimi masih ingat, setelah Jessy menyebut nama Desi, Hans -dengan mengemukakan alasan hendak menemui koleganya yang lain- segera menarik Kimi ke sudut lain yang lebih sepi. Menghindari kerumunan dan mulai mengunci mulutnya. Kimi melalui 40 menit di sana dengan menjadi manekin. Para pria banyak meliriknya, tapi Hans memasang mimik sangar sehingga tak seorang
Kimi merinding di bawah tatapan wanita yang lebih jangkung darinya. Dia seakan-akan dibuat membeku oleh kata-kata dingin yang baru saja meluncur dari mulutnya. Sehingga saat Hans meraih pinggang kecilnya, Kimi oleng begitu saja ke pelukan pria tersebut.“Tidak. Aku tidak memilihnya secara acak, Ibu. Aku sudah mengenalnya beberapa waktu dan berpikir kalau dia sangat cocok menjadi pendamping hidupku.”Ibu Hans memicingkan matanya hingga membentuk garis sabit. “Kau pikir pernikahan itu seperti acara sulap? Yang bisa kau mainkan sesuka hatimu? Kami bahkan belum mengenalnya.”Tanpa rasa gentar sedikit pun, bahkan cenderung terlihat santai, Hans membalas, “Yah, Ibu, itulah kenapa aku membawanya ke acara kita malam ini. Supaya kalian semua bisa mengenalnya.”Ibu Hans membuka mulut hendak menimpali ucapan anaknya, ketika seorang wanita lain yang tampak jauh lebih sepuh ikut angkat bicara, “Ira, Ira … sudahlah, mereka baru saja datang. Jangan mendebatnya seperti itu!”“Tapi, Ibu—”Decakan kasa
Kimi tersenyum geli, kala melihat sahabatnya terkesima dengan kafe miliknya. Icha mendesah kagum setiap kali melihat perabot atau peralatan kafe yang semuanya tampak unik dan estetik.“Aku yakin di kehidupan sebelumnya kau adalah putri raja yang dikorbankan, Kim. Itulah kenapa di kehidupan sekarang kau begitu beruntung.”Kimi tertawa pendek, lalu menimpali, “Kau lupa 18 tahun yang kulalui dalam kesengsaraan di rumah bibiku?”Icha mencubit lengan Kimi dengan lembut, kemudian memeluknya. “Ohh, ayolah, aku tidak bermaksud begitu, Kim. Aku hanya mengungkapkan betapa kehidupanmu sekarang tampak begitu … sempurna. Keluarga bibimu tentu saja masih sialan di mataku.”Ketika mereka saling melepaskan pelukan, Kimi tersenyum kecil. “Bagaimana kabar di toko?”Icha menjatuhkan diri di salah satu kursi yang ada di depan meja bar, begitu juga dengan Kimi. “Manajer terus mengeluh. Katanya tidak ada karyawan yang cekatan sepertimu. Kau seharusnya tahu bagaimana aku dan si Keriting Layla mencoba menghi
Kimi seolah tak berani menggerakkan otot lehernya, bahkan ketika tangan yang berotot itu semakin kuat mengunci pinggangnya. Belum lagi kulit lututnya yang menggesek paha Hans yang berbalut celana gelap. Wajah pria itu begitu dekat dengan dadanya. Kimi bahkan bisa merasakan embusan napasnya menerpa lengan. Dia hanya bisa duduk di sana, dalam pangkuan Hans, dengan tatapan yang hanya bisa ia tujukan kepada Desi. Bukan karena ia ingin begitu, tapi karena ia memang tak sanggup memandang wajah di dekatnya, terutama dengan jantung yang mendadak berdegup kencang. “Begitu tidak bekerja di sini, kau melupakan etikamu, Desi?” Suara dingin Hans semakin meningkatkan keinginan Kimi untuk bergidik. Namun, ia berhasil menahannya. Apalagi saat dilihatnya sosok Desi tetap melenggang ke arah sofa dan duduk di sana. “Maaf, Hans. Ini hampir jam makan siang. Jadi, kupikir kau sedang senggang seperti biasanya dan—” “Seperti biasanya,” ulang Hans yang diakhiri dengan tawa pendek. “Well, mulai sekarang kau