Kimi secara diam-diam mencuri pandang ke arah kanan, di mana sosok Hans sedang duduk di sampingnya. Sementara mobil yang dikemudikan oleh Rob terus melaju melewati lampu-lampu jalan raya yang masih dipadati oleh lalu lintas malam.
Sejak keluar dari Mountain View Hotel 15 menit yang lalu, Hans sama sekali belum bicara. Bahkan ketika Kimi tersandung pintu lift dan hampir membuat pria tersebut ikut jatuh, kebungkamannya masih tetap bertahan.Dan Kimi semakin yakin bahwa asumsinya benar belaka. Dia tak punya keraguan sedikit pun, tentang hati Hans saat ini. Acara pesta para eksekutif beberapa saat lalu, sudah cukup memberikan bukti.Kimi masih ingat, setelah Jessy menyebut nama Desi, Hans -dengan mengemukakan alasan hendak menemui koleganya yang lain- segera menarik Kimi ke sudut lain yang lebih sepi. Menghindari kerumunan dan mulai mengunci mulutnya.Kimi melalui 40 menit di sana dengan menjadi manekin. Para pria banyak meliriknya, tapi Hans memasang mimik sangar sehingga tak seorang pun berani mendekat. Dan Kimi bisa merasakan intensitas kesangarannya semakin meningkat, manakala acara inti yang berupa program lelang amal dimulai.Tak perlu menunggu waktu lama, begitu karya seni berupa vas yang memiliki bentuk seperti kuncup bunga tulip dimenangkan oleh pria bernama Victor dengan nilai setengah miliar, dan kemudian pria tersebut mendapatkan hadiah tambahan berupa pelukan dan kecupan kebanggaan dari wanita bergaun peach, Hans langsung berdiri dan meninggalkan conference hall.Kimi berlari kecil supaya bisa menyusulnya. Dan sewaktu mereka akhirnya berada di dalam lift, dia tak tahan lagi untuk membuka mulutnya. “Kenapa kau pergi begitu cepat? Kau bahkan belum melakukan penawaran apapun di sana. Apakah itu tidak akan berpengaruh pada reputasimu?” cerocosnya tanpa takut.Hans seketika menoleh dengan tatapan sedingin bongkahan batu es. “Aku tidak butuh menawar barang yang berpotensi sebagai objek untuk cuci uang berbalut kegiatan sosial. Hanya orang-orang bodoh yang melakukannya.”Kimi terdiam mendengar ujaran Hans yang jelas sekali mengandung kesinisan. Dia tak lagi bersuara hingga sekarang, ketika mobil yang mereka tumpangi mulai bergerak naik ke arah bukit di mana vila keluarga Hans berada.Wanita tersebut sampai lupa pada kegelisahan yang sebelumnya ia rasakan karena akan bertemu dengan keluarga Hans. Dan sekarang, setelah ia mulai melihat barisan pohon-pohon cemara, Kimi mulai didera oleh rasa gugup lagi. Dia mulai celingukan ke kanan dan kiri jalan.“Apakah mereka tahu kalau aku akan datang?” Saking pelannya suara Kimi, ucapannya sampai terdengar seperti cicitan tikus yang nyawanya seakan-akan sedang terancam.Hans dan Rob saling melempar pandang sekilas melalui spion yang ada di dalam mobil. “Tidak, Nona,” jawab Rob singkat.Kimi tampak bersusah payah menelan ludah. “Apakah akan ada banyak orang di sana?”Pertanyaan itu langsung direspons dengan dengusan Hans. “Kalau tahu kau begitu penakut seperti ini, aku tidak akan memilihmu. Ini masih acara keluarga, belum lagi sebuah pernikahan, Lady,” ejek Hans seraya tersenyum sinis.Kata-kata bernada merendahkan itu dalam sekejap mengusir kegelisahan Kimi. Sebagai gantinya, ia merasa tertantang untuk membalas cemoohan Hans. “Seolah-olah kau punya nyali besar saja.”“Apa katamu?”Kimi menolehkan kepalanya dan menatap wajah Hans dengan mata melebar. “Apa? Bukankah itu karena nyalimu yang ciut, sehingga kau memilih untuk pergi dari Mountain View lebih cepat? Omong kosong tentang acara cuci uang berkedok kegiatan sosial. Bilang saja kau takut bersaing dengan siapa itu tadi namanya … ahh, benar, laki-laki bernama Victor! Iya, ‘kan?” Kimi tak tahu bahwa menyebut nama Victor bisa menimbulkan akibat yang cukup fatal dari dua pria yang ada di dalam mobil. Mereka bereaksi secara bersamaan.Jika Hans langsung mencengkeram lengan Kimi dengan kasar, maka Rob secara refleks menginjak pedal rem, sehingga membuat dua penumpang di belakang sama-sama terdorong ke depan dan kepala mereka saling terbentur satu sama lain. Keduanya mengaduh kesakitan.“Apa yang kau lakukan, Rob?” tegur Hans geram.“Maaf, Tuan Hans, salahku.”Sambil menggosok dahinya yang tadi terbentur dahi Kimi, Hans kembali membetulkan posisi duduknya. Begitu pula dengan Kimi. Keduanya sama-sama membuang muka ke arah jendela, ketika Rob kembali melajukan kendaraan.Hanya berselang lima menit kemudian, mobil mereka memasuki sebuah vila berkonsep kontemporer. Mengingatkan Kimi akan gambar-gambar kondominium yang pernah dilihatnya di salah satu situs yang memuat tentang desain-desain suatu bangunan. Deretan mobil-mobil mewah yang ada di pelataran semakin membuat tangan Kimi berkeringat. Dia menoleh ke arah Hans dan sadar bahwa pria tersebut tidak akan banyak menolongnya. Jadi, dia hanya bisa mencengkeram satu-satunya benda yang ada di tangan, yakni clutch usang hadiah ulang tahunnya dari Icha. Meski begitu, ia tetap menarik tangan Hans ketika mereka akan memasuki bangunan berlantai tiga yang dinding luarnya didominasi warna abu-abu. “Apa mereka tahu tentang rencanamu?” tanyanya cemas.Hans menatap wajah Kimi, lalu mengembuskan napas kesal. Perasaannya masih terganggu dengan kelancangan mulut wanita tersebut. Karena itu, ia hanya menjawabnya sekenanya saja, “Seperti yang kita lakukan saat menghadapi bibimu tempo hari, kau cukup duduk dan mendengarkan. Aku yang akan bicara.”Masih dilputi keraguan, Kimi beralih memandang Rob. Sayangnya, pria tua itu juga tak banyak membantu. Dia hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum seperti biasanya. Membuat Kimi semakin terperosok dalam keputus-asaan.Bersama-sama mereka masuk ke dalam vila. Suara orang yang mengobrol dengan antusias serta derai tawa langsung terdengar, begitu mereka melewati pintu. Beberapa pemuda melontarkan sapaan kepada Hans dan tersenyum penuh arti pada Kimi. Di belakang, Rob berbisik pada Kimi, menjelaskan tentang identitas para pemuda tersebut yang sebagian besar adalah sepupu Hans.Mengabaikan teriakan-teriakan para sepupunya yang mempertanyakan jati diri Kimi, Hans terus saja masuk ke dalam, ke sebuah ruangan yang mirip aula berbentuk lingkaran dengan langit-langit berupa kubah dan penuh ukiran-ukiran rumit, benar-benar kontras dengan eksteriornya.Kedatangan mereka bertiga membuat ruangan yang dipenuhi para sesepuh, seketika menjadi hening. Semua orang saling melempar pandang dan kemudian mengamati Kimi. Benar-benar menyelisik wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.Dan sebelum siapapun membuat suara, Hans dengan lantang mengungkapkan keinginannya. “Ibu, ini adalah kekasihku. Namanya Kimi, dan aku ingin segera menikahinya.”Pernyataan Hans serta-merta menimbulkan kegaduhan yang menggema di ruangan berkubah itu. Semua orang sibuk melontarkan komentar-komentar yang tak jelas ditangkap oleh telinga Kimi. Sampai kemudian seorang wanita paruh baya -dengan tubuh langsing dan memiliki raut wajah aristokrat seperti Hans- berdiri dan mendekati mereka.Begitu mereka saling berhadapan, wanita itu menatap Kimi lekat-lekat, lalu bicara dengan cara yang sama persis seperti Hans, ketika pria itu hendak mengintimidasi seseorang. “Dia seperti gadis yang kau pilih secara acak di sebuah pesta, hanya untuk menggantikan posisi Desi. Kau pikir aku akan menyetujuinya? Jangan asal bicara, Hans!”***Kimi merinding di bawah tatapan wanita yang lebih jangkung darinya. Dia seakan-akan dibuat membeku oleh kata-kata dingin yang baru saja meluncur dari mulutnya. Sehingga saat Hans meraih pinggang kecilnya, Kimi oleng begitu saja ke pelukan pria tersebut.“Tidak. Aku tidak memilihnya secara acak, Ibu. Aku sudah mengenalnya beberapa waktu dan berpikir kalau dia sangat cocok menjadi pendamping hidupku.”Ibu Hans memicingkan matanya hingga membentuk garis sabit. “Kau pikir pernikahan itu seperti acara sulap? Yang bisa kau mainkan sesuka hatimu? Kami bahkan belum mengenalnya.”Tanpa rasa gentar sedikit pun, bahkan cenderung terlihat santai, Hans membalas, “Yah, Ibu, itulah kenapa aku membawanya ke acara kita malam ini. Supaya kalian semua bisa mengenalnya.”Ibu Hans membuka mulut hendak menimpali ucapan anaknya, ketika seorang wanita lain yang tampak jauh lebih sepuh ikut angkat bicara, “Ira, Ira … sudahlah, mereka baru saja datang. Jangan mendebatnya seperti itu!”“Tapi, Ibu—”Decakan kasa
Kimi tersenyum geli, kala melihat sahabatnya terkesima dengan kafe miliknya. Icha mendesah kagum setiap kali melihat perabot atau peralatan kafe yang semuanya tampak unik dan estetik.“Aku yakin di kehidupan sebelumnya kau adalah putri raja yang dikorbankan, Kim. Itulah kenapa di kehidupan sekarang kau begitu beruntung.”Kimi tertawa pendek, lalu menimpali, “Kau lupa 18 tahun yang kulalui dalam kesengsaraan di rumah bibiku?”Icha mencubit lengan Kimi dengan lembut, kemudian memeluknya. “Ohh, ayolah, aku tidak bermaksud begitu, Kim. Aku hanya mengungkapkan betapa kehidupanmu sekarang tampak begitu … sempurna. Keluarga bibimu tentu saja masih sialan di mataku.”Ketika mereka saling melepaskan pelukan, Kimi tersenyum kecil. “Bagaimana kabar di toko?”Icha menjatuhkan diri di salah satu kursi yang ada di depan meja bar, begitu juga dengan Kimi. “Manajer terus mengeluh. Katanya tidak ada karyawan yang cekatan sepertimu. Kau seharusnya tahu bagaimana aku dan si Keriting Layla mencoba menghi
Kimi seolah tak berani menggerakkan otot lehernya, bahkan ketika tangan yang berotot itu semakin kuat mengunci pinggangnya. Belum lagi kulit lututnya yang menggesek paha Hans yang berbalut celana gelap. Wajah pria itu begitu dekat dengan dadanya. Kimi bahkan bisa merasakan embusan napasnya menerpa lengan. Dia hanya bisa duduk di sana, dalam pangkuan Hans, dengan tatapan yang hanya bisa ia tujukan kepada Desi. Bukan karena ia ingin begitu, tapi karena ia memang tak sanggup memandang wajah di dekatnya, terutama dengan jantung yang mendadak berdegup kencang. “Begitu tidak bekerja di sini, kau melupakan etikamu, Desi?” Suara dingin Hans semakin meningkatkan keinginan Kimi untuk bergidik. Namun, ia berhasil menahannya. Apalagi saat dilihatnya sosok Desi tetap melenggang ke arah sofa dan duduk di sana. “Maaf, Hans. Ini hampir jam makan siang. Jadi, kupikir kau sedang senggang seperti biasanya dan—” “Seperti biasanya,” ulang Hans yang diakhiri dengan tawa pendek. “Well, mulai sekarang kau
Kimi bisa bernapas lega kali ini, karena Hans tidak melontarkan kritik pedas terhadap dirinya. Itu semua berkat Rob yang memberinya saran dan membantunya memilihkan pakaian serta detail lain yang sebelumnya terlewatkan.Sekarang setelah ia tahu apa yang membuat Hans waktu itu mengkritik penampilannya, ia merasa lelaki tersebut benar-benar sentimental. Bagaimana tidak? Saat menemuinya diam-diam kemarin, Rob berkata, “Nona, jadilah dirimu sendiri! Tuan Hans memilihmu karena dia sudah melihat karaktermu. Jadi, jangan mengubahnya! Apalagi berpenampilan seperti di acara tahunan di Mountain View tempo hari. Anda hanya akan mengingatkannya pada sakit hati yang dirasakannya, karena penampilan Anda saat itu mirip dengan seseorang.”Kimi jadi tersenyum-senyum sendiri setiap kali teringat perkataan Rob itu. Seperti sekarang, ketika ia dan Hans duduk berdampingan di dalam mobil yang dikemudikan oleh asisten tuanya. Dia beberapa kali tersenyum pada bayangannya sendiri yang terpantul di jendela mob
“Akhir bulan ini?” celetuk Violetta, yang pertama kali tergugah dari kebisuan. Pertanyaannya itu dijawab Kimi dengan anggukan yang disertai senyuman malu-malu. “Wah … ini benar-benar seperti mimpi di siang bolong. Hans akhirnya akan menikah!” imbuh Vio sembari menoleh ke semua temannya.“Tanpa acara tunangan? Langsung menikah saja?” timpal yang lain tak kalah terkejut.Hans tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Kimi dengan penuh kelembutan. “Kami sepakat untuk tidak membuang-buang waktu.”Pria yang duduk di sebelah Hans, menyikut perutnya. “Hei hei … acara seperti ini tidak bisa disebut membuang waktu. Orang-orang seperti kita selalu melewatinya tahap demi tahap. Kau ingin melanggar tradisi?”Hans mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Keluarga kami sudah setuju untuk mempercepat acara pernikahan,” pungkasnya, membuat semua orang kembali saling melempar pandang.Tak ingin tamunya terlalu banyak menyita perhatian tamu lainnya, Victor pun berkata, “Kau memang menyebalkan, Hans. Bisa-bisan
Setelah puluhan gaun yang ia lihat dan coba, akhirnya pilihan Kimi jatuh kepada gaun pengantin warna fuchsia, yang alih-alih menggembung layaknya gaun pengantin pada umumnya, tapi justru menempel sempurna di tubuh Kimi, sehingga menonjolkan lekuk pinggangnya yang seksi."Aku suka yang ini. Bagaimana menurutmu?" tanya Kimi pada karyawan butik yang sejak tadi sudah bersabar melayaninya."Itu sempurna, Nona Kimi. Anda memiliki bentuk tubuh yang diimpikan oleh sebagian besar wanita di dunia ini, sehingga gaun dengan model seperti itu melekat di tubuh Anda, benar-benar menciptakan aura yang menawan."Kimi tahu ucapan si Karyawan hanyalah template yang memang sudah biasa mereka katakan pada para pelanggan, tapi tetap saja dia merasa puas.Meski begitu, ia tak bisa memutuskannya sendiri. Kimi tak mau di hari pernikahannya -meskipun ini hanya pernikahan kontrak- mendengar seseorang memprotes penampilannya. Oleh karena itu, ia mengambil ponsel dari dalam tas dan menyodorkannya pada karyawan ya
Kimi teringat akan ucapan Icha, yang pernah mengatakan bahwa mungkin dirinya pernah melakukan suatu kebaikan di kehidupan sebelumnya, sehingga ia kini bisa menikmati hasil dari karma baiknya.Megahnya dekorasi yang dibuat oleh tim wedding organiser benar-benar membuat Luke Downtown Hotel seperti istana di negeri dongeng. Mereka memasang hiasan mulai dari pintu masuk hotel hingga ke conference hall yang kini sudah disulap menjadi kolam bunga berhiaskan lilin-lilin gantung.Kimi sudah bisa merasakan tarikan napas takjub sejak dari kamar 5017, di mana ia dikerumuni empat orang yang masing-masing mengurus riasan, rambut, gaun dan tetek bengek lainnya. Hanya melihat para pengiringnya saja -yang semuanya adalah teman kerja di toko furnitur-, Kimi tak henti-hentinya tersenyum. Semua temannya menyanjung keluarga Hans, yang dengan royalnya memberikan pernikahan semegah itu. Mereka juga tak habis pikir, bagaimana seorang Kimi bisa menjadi pasangan salah satu taipan di kota ini. Tanpa mereka sa
Kimi tak tahu semalam mimpi apa. Dia sama sekali tak punya firasat apapun bahwa hari ini akan menjadi hari paling memalukan di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, tadi pagi ia memulai hari dengan langkah ringan dan senyum sumringah karena momen bahagia yang terjadi kemarin.Itu sebabnya, saat ini dia hanya duduk mematung dengan tatapan kosong karena seluruh saraf otaknya mendadak lumpuh, setelah minuman dingin di depannya direnggut oleh seseorang dan kemudian disiramkan ke atas kepalanya.Dia tentu saja bisa merasakan suasana kafe yang seketika menjadi sehening pemakaman. Bahkan musik instrumen yang sejak tadi mengalun indah, kini seolah-olah berubah menjadi musik pengiring kematian.Meski begitu, Kimi tak bisa merasakan sensasi dingin ketika butiran-butiran balok es menyentuh kulit kepalanya. Alih-alih merasa dingin, ia justru merasa sekujur tubuhnya memanas. Terutama di bagian wajah.Ketika dia akhirnya bisa sedikit menggerakkan bola mata, Kimi melihat satu dari dua pria yang duduk di s