Home / Urban / Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang / Chapter 141 - Chapter 150

All Chapters of Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang: Chapter 141 - Chapter 150

302 Chapters

Livia Benar-benar Menyebalkan

Seperti de javu, Morgan mengantar Livia dan Agnes pulang dengan mobilnya.Agnes duduk di jok di sampingnya seperti saat itu, dan Livia persis di belakangnya.Tak ada percakapan selama mobil melaju di jalanan yang lengang.Pukul sembilan malam. Banyak orang sudah mulai beristirahat di jam-jam seperti ini.Di villa mewah tadi sebelum berangkat, Livia sempat menangis beberapa lama.Dia terisak-isak seperti anak kecil. Dia mengaku tak tahan dengan situasinya saat ini, di mana dia selalu cemas tak akan bisa lagi hidup mapan seperti biasanya.Selain itu, dia baru saja diperkosa oleh Brian. Itu kali pertamanya dia diperlakukan seburuk itu di ranjang oleh seorang pria.Morgan melirik ke kaca spion dalam untuk mengecek Livia. Istrinya Joseph itu tampak sedang mengistirahatkan punggung dan lehernya ke jok, sambil menatap ke jendela.Dia tampak sedih. Meski tak lagi menangis, dia benar-benar tampak sedih.Morgan merasa kasihan pada kakak iparnya itu. Livia, betapapun menyebalkannya dia, bagaiman
Read more

Apa pun yang Terjadi, Jangan Bergerak!

Bala bantuan yang diminta Brian tiba sepuluh menitan yang lalu. Kini, dia dan orang-orang yang dikirim pamannya itu tengah mengejar si pengacau yang merusak pestanya.“Itu dia, Tuan Muda! Mobilnya akhirnya kelihatan!” kata seorang pria botak yang mengemudikan mobil yang ditumpangi Brian.“Kau yakin itu mobilnya?” tanya Brian.“Yakin, Tuan Muda. Plat nomornya sesuai dengan yang ada di video,” jawab si pria botak.Tadi, ketika rombongan bala bantuan itu tiba di villa, mobil Morgan baru saja melaju. Salah satu dari mereka dengan cepat merekam mobil Morgan itu. Dari situ mereka mendapatkan plat nomornya.“Oke! Kita kejar mobil itu!” kata Brian.Langsung saja, si pria botak menelepon pengemudi lain di mobil di belakangnya.“Target ada di depan. Kau majulah! Lakukan sesuai rencana!” kata si pria botak.Tak lama setelah itu sebuah mobil menyalip mobil yang dikemudikannya. Mobil itu melaju cepat. Di satu titik pintu kaca sampingnya terbuka dan seseorang muncul sambil memikul bazoka.Selang be
Read more

Berlindung di Rumah Kayu

“Morgan, kenapa dengan wajahmu?” tanya Agnes panik.“Tenang saja. Ini bukan darahku. Ini darah mereka,” jawab Morgan.“Kau menghajar mereka semua?”“Ya. Sekarang kita harus cepat pergi, sebelum yang lainnya bermunculan.”Morgan pun berjongkok agar Livia bisa kembali naik ke punggungnya. Di saat yang sama, dia memegangi tangan Agnes dan memandunya masuk lebih dalam ke hutan.Dia salah perhitungan. Tadi saat menghajar tiga orang bersenjata itu dia tahu kalau orang-orang yang mengincarnya jumlahnya lebih banyak.Setelah mendengar bunyi rentetan tembakan dan teriakan tadi, bukan tak mungkin mereka akan cepat menyadari di mana saat ini Morgan berada.Dan satu hal lagi: Morgan tak mengira akan ada helikopter juga.‘Sialan! Siapa mereka? Apakah mereka punya akses ke militer?’ gerutu Morgan dalam hati.Kini dia sedikit menyesali keputusannya untuk meminta Kris tak jadi mengirim pasukan. Kalau saja ada satu pasukan tentara saja dengan senjata lengkap, dia akan sangat terbantu.Mereka bertiga t
Read more

Menumpas Musuh

Di luar rumah kayu, beberapa saat sebelumnya…Morgan bersembunyi di balik sebuah batu besar.Orang-orang yang mengejarnya itu terus melepaskan tembakan ke arahnya, sedangkan dia tak memegang senjata apa pun.Terpaksa, dia menyerang dengan apa pun yang dia temukan, termasuk batu-batu kecil dan ranting-ranting keras.Yang menyulitkan Morgan adalah helikopter itu.Sedari tadi, sementara musuh-musuhnya itu terus menembakinya, si helikopter berputar-putar di atas, seakan bersiap untuk juga melepaskan tembakan ke arah Morgan di detik sosoknya terlihat.Morgan telah sebisa mungkin melindungi tubuhnya dengan perisai tak kasat mata, tapi dia tak tahu apakah senjata yang dimiliki helikopter itu adalah senapan mesin biasa atau justru rudal.Jika yang kedua, sudah pasti, perisai tak kasat mata itu tak akan bisa melindunginya.Sesekali Morgan melirik ke rumah kayu tempat Agnes dan Livia bersembunyi. Sayangnya dia tak bisa meninggalkan mereka, sebab bisa saja musuh-musuhnya ini curiga ada orang di
Read more

Membalas Ancaman dengan Ancaman

Brian masih menunggu di mobil. Hanya dia dan si pria botak yang duduk di jok supir.Berkali-kali, Brian menoleh ke kiri ke arah hutan. Dia bertanya-tanya kenapa orang-orangnya itu lama sekali.“Menurutmu kenapa mereka lama sekali? Apa sesulit itu menangkap tiga orang tak bersenjata? Dua di antaranya bahkan wanita!” keluh Brian.Si botak tampak kebingungan, tak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri heran kenapa anak-anak buahnya itu lama sekali.Saat itulah, dia mendengar lagi bunyi ledakan keras, kali ini disertai cahaya menyilaukan di dari hutan.“Apa itu?” tanya Brian.“Tuan Muda tunggu di sini. Aku akan mengecek,” kata si pria botak, membuka pintu dan turun dari mobil.Dia menatap ke arah terjadinya ledakan. Apakah yang barusan meledak itu helikopter? Begitu dia bertanya-tanya.“Ini buruk!” gumamnya.Dia pun mencoba menelepon salah satu anak buahnya yang turut masuk ke hutan.Panggilan tersambung, tapi tak juga diangkat. Dia punya firasat buruk.Si botak kembali ke mobilnya, membuk
Read more

Kemunculan Ethan Weiss

Tulang betis kaki kiri Brian langsung patah.Brian berteriak-teriak begitu keras, membuat burung-burung yang semula bertengger di dahan-dahan tinggi di hutan beterbangan menjauh.Si botak, yang tengah mengarahkan senjatanya ke Morgan, terbelalak tak percaya.“Sudah kubilang, aku berbaik hati dengan hanya mengambil kakimu saja. Harusnya aku ambil nyawamu sekalian! Orang sepertimu tak pantas hidup di dunia ini!” rutuk Morgan.Dia lepaskan kaki kiri Brian yang patah itu, lantas meludahinya.“Bajingan! Apa yang sudah kau lakukan?! Kau mematahkan kaki anak salah satu keluarga terkaya di negeri ini! Kau pikir kau bisa lolos begitu saja setelah ini?!”Si botak mengatakan itu sambil berteriak marah.Dia sebenarnya merasa bersalah. Tadi dia masuk ke hutan untuk menyelamatkan anak-anak buahnya, paling tidak sebagian, tapi tak satu pun dari anak-anak buahnya itu yang masih hidup.Dan kini, ketika dia kembali, dia pun gagal melindungi Brian, anak muda kesayangan majikannya, Paman Ox.Kegagalan ya
Read more

Tawaran dan Tekanan

Saking terkejutnya Agnes, mulutnya sampai terbuka beberapa lama.Sekretarisnya Felisia, yang kini mendampinginya, menatapnya penuh tanya.“Dia mau membeli seluruh saham Wistara Group?” Agnes memastikan.[Iya, Bu Agnes. Apa yang harus kami lakukan, Bu? Saat ini beliau dan asistennya masih duduk di lobi tamu di lantai dasar.]Agnes mengerutkan kening. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.“Antar beliau ke ruang rapat. Nanti aku menyusul ke sana,” kata Agnes.[Baik, Bu.]“Oh ya, pastikan beliau dilayani dengan hormat,” sambungnya.[Baik, Bu.]Percakapan berakhir. Agnes menaruh kembali telepon di tempatnya.“Ada apa, Nona Agnes? Ada yang bisa saya bantu?” tanya sekretarisnya Felisia, akhirnya.“Kau tahu Ethan Weiss?” Agnes balik bertanya, menatap pria itu."Ethan Weiss pemilik Weistermann Group? Ya, saya tahu. Ada apa dengannya?""Dia berniat membeli seluruh saham Wistara Group! Ini gila!"Pria itu terkejut, meski segera dia kembali ke sika
Read more

Morgan vs. Ethan Weiss

Kekesalan terlihat jelas di wajah Agnes.Dia sedang menghadapi klien super penting dan situasinya sedang gending, dan Morgan malah menghubunginya sekarang. Apa yang dia mau?Agnes bermaksud mengabaikan saja ponselnya itu, tapi ia tak juga berhenti bergetar.Agnes gerah. Akhirnya dia mengambilnya dan berdiri sambil berkata kepada Ethan Weiss,“Mohon maaf, Tuan Ethan. Saya harus menjawab telepon ini dulu. Sebentar lagi saya kembali.”Ethan Weiss melongo, tak percaya istrinya Morgan itu pergi begitu saja meninggalkan ruang rapat, padahal dia sedang menunggu jawaban dari wanita itu.Ethan berdecak kesal saat Agnes berjalan menuju pintu. Agnes mendengar itu tetapi dia bertingkah seolah-olah dia tak mengenalnya.Di luar ruang rapat, Agnes mengangkat panggilan dari Morgan.“Ada apa? Kenapa kau meneleponku sekarag? Aku sedang berhadapan dengan klien yang sangat penting!” ucap Agnes kesal, meski sebisa mungkin dia tak meninggikan suaranya.Morgan di jauh sana tediam sebentar. Lalu dia berkata,
Read more

Pembunuh Bayaran dari Jepang

Di Restoran D, setengah jam kemudian…Restoran ini adalah salah satu restoran bintang lima di Kota HK. Ethan selalu memilih restoran ini jika dia ingin bertemu seseorang dan membahas sesuatu dengannya.Kali ini, dia berjalan memasuki restoran diikuti Wayne. Di dalam restoran, di sebuah meja, telah menunggu adiknya, Bram Weiss.“Bagaimana kabarmu, Kak Ethan? Kapan kau pulang? Kenapa tak mengabariku?”Bram memberondong Ethan dengan pertanyaan-pertanyaan itu sambil berdiri.Ethan mengangkat tangan, menunjukkan telapak tangannya kepada Bram.Paham dengan apa yang dimaksud Ethan, Bram kembali duduk di kursinya, menunggu kakaknya itu duduk di kursi di seberangnya.Wayne, sementara itu, berdiri di belakang Ethan, agak ke samping kirinya.“Aku berangkat dari Hamburg kemarin lusa. Setibanya di sini aku langsung mengecek kondisi Jonathan. Kau tahu, kini jalannya pincang seolah-olah dia orang cacat!”Ethan mengatakannya dengan kemarahan yang terasa sekali di setiap katanya.Dua hari yang lalu di
Read more

Jangan Pernah Meremehkan Lawan

Morgan tak mengenali orang yang mengancam akan menggorok lehernya ini.Dan entah kenapa, pria itu bicara dalam bahasa Inggris yang aneh, seperti memaksakan diri.Tapi soal satu hal agaknya Morgan cukup yakin: orang ini pasti dikirim oleh Ethan Weiss.“Apa maumu?” tanya Morgan, juga dalam bahasa Inggris.“Nyawamu, tentu saja. Tapi tak akan seru kalau aku langsung membunuhmu begitu saja,” jawab pria itu.Lagi-lagi Morgan terganggu dengan logat bahasa Inggrisnya yang aneh.Tapi, terlepas dari hal itu, Morgan menyadari: orang ini kuat.Sedetik kemudian, pria itu menjauhkan mata pedang katananya dari leher Morgan. Dia sendiri mundur beberapa langkah.Morgan perlahan menoleh dan balik badan. Dilihatnya, seseorang dengan setelan ninja seperti di film-film.Orang ini bahkan menutupi wajahnya juga sehingga yang terlihat tinggal matanya saja.Dan matanya itu pipih dan meruncing di ujung luarnya. Morgan semakin bertanya-tanya lawannya kali ini siapa.“Kau dikirim oleh Ethan Weiss?” tanya Morgan,
Read more
PREV
1
...
1314151617
...
31
DMCA.com Protection Status