Tulang betis kaki kiri Brian langsung patah.Brian berteriak-teriak begitu keras, membuat burung-burung yang semula bertengger di dahan-dahan tinggi di hutan beterbangan menjauh.Si botak, yang tengah mengarahkan senjatanya ke Morgan, terbelalak tak percaya.“Sudah kubilang, aku berbaik hati dengan hanya mengambil kakimu saja. Harusnya aku ambil nyawamu sekalian! Orang sepertimu tak pantas hidup di dunia ini!” rutuk Morgan.Dia lepaskan kaki kiri Brian yang patah itu, lantas meludahinya.“Bajingan! Apa yang sudah kau lakukan?! Kau mematahkan kaki anak salah satu keluarga terkaya di negeri ini! Kau pikir kau bisa lolos begitu saja setelah ini?!”Si botak mengatakan itu sambil berteriak marah.Dia sebenarnya merasa bersalah. Tadi dia masuk ke hutan untuk menyelamatkan anak-anak buahnya, paling tidak sebagian, tapi tak satu pun dari anak-anak buahnya itu yang masih hidup.Dan kini, ketika dia kembali, dia pun gagal melindungi Brian, anak muda kesayangan majikannya, Paman Ox.Kegagalan ya
Saking terkejutnya Agnes, mulutnya sampai terbuka beberapa lama.Sekretarisnya Felisia, yang kini mendampinginya, menatapnya penuh tanya.“Dia mau membeli seluruh saham Wistara Group?” Agnes memastikan.[Iya, Bu Agnes. Apa yang harus kami lakukan, Bu? Saat ini beliau dan asistennya masih duduk di lobi tamu di lantai dasar.]Agnes mengerutkan kening. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.“Antar beliau ke ruang rapat. Nanti aku menyusul ke sana,” kata Agnes.[Baik, Bu.]“Oh ya, pastikan beliau dilayani dengan hormat,” sambungnya.[Baik, Bu.]Percakapan berakhir. Agnes menaruh kembali telepon di tempatnya.“Ada apa, Nona Agnes? Ada yang bisa saya bantu?” tanya sekretarisnya Felisia, akhirnya.“Kau tahu Ethan Weiss?” Agnes balik bertanya, menatap pria itu."Ethan Weiss pemilik Weistermann Group? Ya, saya tahu. Ada apa dengannya?""Dia berniat membeli seluruh saham Wistara Group! Ini gila!"Pria itu terkejut, meski segera dia kembali ke sika
Kekesalan terlihat jelas di wajah Agnes.Dia sedang menghadapi klien super penting dan situasinya sedang gending, dan Morgan malah menghubunginya sekarang. Apa yang dia mau?Agnes bermaksud mengabaikan saja ponselnya itu, tapi ia tak juga berhenti bergetar.Agnes gerah. Akhirnya dia mengambilnya dan berdiri sambil berkata kepada Ethan Weiss,“Mohon maaf, Tuan Ethan. Saya harus menjawab telepon ini dulu. Sebentar lagi saya kembali.”Ethan Weiss melongo, tak percaya istrinya Morgan itu pergi begitu saja meninggalkan ruang rapat, padahal dia sedang menunggu jawaban dari wanita itu.Ethan berdecak kesal saat Agnes berjalan menuju pintu. Agnes mendengar itu tetapi dia bertingkah seolah-olah dia tak mengenalnya.Di luar ruang rapat, Agnes mengangkat panggilan dari Morgan.“Ada apa? Kenapa kau meneleponku sekarag? Aku sedang berhadapan dengan klien yang sangat penting!” ucap Agnes kesal, meski sebisa mungkin dia tak meninggikan suaranya.Morgan di jauh sana tediam sebentar. Lalu dia berkata,
Di Restoran D, setengah jam kemudian…Restoran ini adalah salah satu restoran bintang lima di Kota HK. Ethan selalu memilih restoran ini jika dia ingin bertemu seseorang dan membahas sesuatu dengannya.Kali ini, dia berjalan memasuki restoran diikuti Wayne. Di dalam restoran, di sebuah meja, telah menunggu adiknya, Bram Weiss.“Bagaimana kabarmu, Kak Ethan? Kapan kau pulang? Kenapa tak mengabariku?”Bram memberondong Ethan dengan pertanyaan-pertanyaan itu sambil berdiri.Ethan mengangkat tangan, menunjukkan telapak tangannya kepada Bram.Paham dengan apa yang dimaksud Ethan, Bram kembali duduk di kursinya, menunggu kakaknya itu duduk di kursi di seberangnya.Wayne, sementara itu, berdiri di belakang Ethan, agak ke samping kirinya.“Aku berangkat dari Hamburg kemarin lusa. Setibanya di sini aku langsung mengecek kondisi Jonathan. Kau tahu, kini jalannya pincang seolah-olah dia orang cacat!”Ethan mengatakannya dengan kemarahan yang terasa sekali di setiap katanya.Dua hari yang lalu di
Morgan tak mengenali orang yang mengancam akan menggorok lehernya ini.Dan entah kenapa, pria itu bicara dalam bahasa Inggris yang aneh, seperti memaksakan diri.Tapi soal satu hal agaknya Morgan cukup yakin: orang ini pasti dikirim oleh Ethan Weiss.“Apa maumu?” tanya Morgan, juga dalam bahasa Inggris.“Nyawamu, tentu saja. Tapi tak akan seru kalau aku langsung membunuhmu begitu saja,” jawab pria itu.Lagi-lagi Morgan terganggu dengan logat bahasa Inggrisnya yang aneh.Tapi, terlepas dari hal itu, Morgan menyadari: orang ini kuat.Sedetik kemudian, pria itu menjauhkan mata pedang katananya dari leher Morgan. Dia sendiri mundur beberapa langkah.Morgan perlahan menoleh dan balik badan. Dilihatnya, seseorang dengan setelan ninja seperti di film-film.Orang ini bahkan menutupi wajahnya juga sehingga yang terlihat tinggal matanya saja.Dan matanya itu pipih dan meruncing di ujung luarnya. Morgan semakin bertanya-tanya lawannya kali ini siapa.“Kau dikirim oleh Ethan Weiss?” tanya Morgan,
Pukulan Morgan yang penuh tenaga membuat si ninja kedua terlempar menghantam pintu depan rumah, nyaris mendobraknya.Si ninja kedua ambruk, jatuh menelungkup di lantai teras. Tak ada tanda-tanda dia akan bergerak dalam waktu cepat.“Ukh…”Morgan sendiri muntah darah. Meski sempat menggeser tubuhnya sedikit, katana si ninja kedua tetap menancap di perutnya dan tembus ke punggung.Sambil menyeringai menahan nyeri Morgan menarik katana itu ke depan dan bersiap mengayunkannya sambil balik badan, menghalau serangan yang dilancarkan si ninja pertama.Trang!Slash!Semua itu terjadi dalam waktu yang sangat cepat.Morgan dan si ninja pertama sempat terdiam mematung saling memunggungi dalam jarak tiga meter.Lalu, si ninja pertama pun ambruk, jatuh menelungkup. Darah terlihat menggenang di sekitar perutnya.“Ukh…”Morgan kembali muntah darah. Dia mulai sempoyonan, sulit menjaga keseimbangannya.Pandangannya pun mulai kabur seiring makin kuatnya denyutan mengganggu di kepalanya.Dia curiga, kat
Lenguhan Agnes membuat hasrat liar Morgan semakin kuat. Dia pun mengeluarkan buah dada Agnes yang satunya lagi, meremas-remasnya dengan kuat.Agnes menggelinjang, mengeluh dan mengerang. Ini adalah pertama kalinya tubuhnya dijamah oleh pria dalam keadaan dia sadar.Dan, rupanya, lambat-laun dia mulai menikmatinya.Sebenarnya aktivitas ranjang yang sedang mereka lakukan ini mestinya hal biasa. Mereka toh pasangan suami-istri.Tapi, seperti pernah dijelaskan dulu-dulu, Agnes dan Morgan belum pernah berhubungan badan sekali pun. Bahkan melakukan kontak fisik yang intens seperti ini pun mereka belum pernah.Ini benar-benar kali pertama bagi mereka. Dan, sejauh ini, Morgan tak terlihat akan berhenti. Dia justru mendorong tubuh Agnes sehingga istrinya itu kini terbaring menelentang, di hadapannya.Mata mereka bertemu, bergerak-gerak seperti tengah saling membaca isi kepala masing-masing.Lalu Morgan menciumi Agnes lagi, melumat bibirnya yang merekah itu sambil memainkan lidah.Di saat yang
Morgan mengerutkan kening. Di luar dugaan? Apa maksudnya itu?“Ya sudah kirimkan videonya. Bisa, kan? Atau aku harus ke sana sekarang?”[Tak perlu, Dewa Perang. Akan saya kirimkan potongan videonya sebentar lagi. Mohon ditunggu.]“Oke.”Panggilan diakhiri. Sambil menunggu kiriman video dari Kris, Morgan berjalan menghampiri Agnes yang masih berdiri di dekat pintu.“Agnes, tunggulah dulu. Jangan pulang sekarang. Atau kalaupun kau mau pulang sekarang, aku akan mengantarmu,” kata Morgan.“Tak usah. Aku bisa pulang sendiri. Toh aku bawa mobil. Kalau kau mengantarku, lantas nanti kau pulang naik apa? Taksi online?” balas Agnes.Itu ada benarnya juga. Morgan lupa kalau Agnes dan Allina datang ke sini dengan mobil istrinya.“Kau benar-benar harus pulang sekarang jua?” tanya Morgan, mukanya memelas.“Iya. Lebih cepat aku pulang, lebih baik,” jawab Agnes.Tanpa menunggu Morgan mengatakan apa pun lagi, Agnes melangkah keluar.Dan, seperti yang bisa ditebak, dia tak mengajak Allina untuk pulang