Morgan mengerutkan kening. Di luar dugaan? Apa maksudnya itu?“Ya sudah kirimkan videonya. Bisa, kan? Atau aku harus ke sana sekarang?”[Tak perlu, Dewa Perang. Akan saya kirimkan potongan videonya sebentar lagi. Mohon ditunggu.]“Oke.”Panggilan diakhiri. Sambil menunggu kiriman video dari Kris, Morgan berjalan menghampiri Agnes yang masih berdiri di dekat pintu.“Agnes, tunggulah dulu. Jangan pulang sekarang. Atau kalaupun kau mau pulang sekarang, aku akan mengantarmu,” kata Morgan.“Tak usah. Aku bisa pulang sendiri. Toh aku bawa mobil. Kalau kau mengantarku, lantas nanti kau pulang naik apa? Taksi online?” balas Agnes.Itu ada benarnya juga. Morgan lupa kalau Agnes dan Allina datang ke sini dengan mobil istrinya.“Kau benar-benar harus pulang sekarang jua?” tanya Morgan, mukanya memelas.“Iya. Lebih cepat aku pulang, lebih baik,” jawab Agnes.Tanpa menunggu Morgan mengatakan apa pun lagi, Agnes melangkah keluar.Dan, seperti yang bisa ditebak, dia tak mengajak Allina untuk pulang
Hening sesaat. Morgan dan Allina saling menatap dalam diam.“Allina, kau jangan—”“Jangan mengingkari hasrat liarmu itu, Morgan. Kau pria dewasa. Kau tentu memiliki itu. Dan saat ini, dikarenakan permainan kalian yang tak tuntas tadi, hasrat liarmu itu pasti masih hidup, kan? Saat ini dia mungkin berdenyut-denyut seperti jantungmu,” potong Allina.Sementara dia mengatakannya, dia dekatkan lagi tubuhnya ke tubuh Morgan, hingga Morgan bisa mencium aroma memabukkan yang menguar dari leher Allina.Dan, seperti baru saja dikatakan wanita itu, Morgan memang mendapati hasrat liarnya masih hidup, bahkan kini meletup-letup.Menyadari ini, Allina meraih tangan kiri Morgan dan menempelkannya di buah dadanya yang kanan.“Remaslah, seperti kau meremas milik istrimu tadi,” kata Allina, dengan nada bicara yang nakal.Morgan merasakan betapa kencangnya buah dada wanita di hadapannya ini, berbeda dengan buah dada istrinya yang lebih ke empuk.Mungkin itu karena Allina rutin melakukan latihan fisik. Da
Morgan tak pernah menyangka Allina bisa seagresif ini.Hubungan mereka selama ini sebatas pertemanan saja. Di antara mereka pun tak pernah ada kontak fisik yang bagaimana-bagaimana.Tapi sekarang, di hadapan Morgan, buah dada Allina yang bulat dan kenyal itu terpampang, dan Morgan bisa melihat putingnya yang sudah berdiri.“Ayo, Morgan, hisaplah! Aku tahu kau menginginkannya” desak Allina.Morgan menelan ludah. Allina benar. Kalau mau jujur sebenarnya dia memang menginginkannya. Batangnya sudah benar-benar keras dia sudah ingin menikmati hidangan lezat di hadapannya itu.Satu-satunya hal yang menahannya adalah sikapnya yang telah dia tunjukkan kepada Allina sejak tadi.Morgan dan Allina hanya berteman. Dan dia bukan tipe pria yang bisa berhubungan badan dengan wanita mana pun lantas menganggap hal itu tak pernah terjadi.Morgan orang yang setia. Dan jika soal berhubungan badan atau kontak fisik yang intens dalam bentuk lainnya, dia hanya ingin melakukannya dengan istrinya.Tapi di sis
Si pria yang tengah membekap dan mendorong si pegawai minimarket itu langkahnya terhenti. Dia menoleh menatap Morgan.Dari caranya menatap Morgan, terlihat bahwa dia tak menyangka akan ada pelanggan di pagi buta seperti ini.“Cepat lepaskan dia!” desak Morgan lagi.Apa pun yang akan dilakukan si pria dengan penutup kepala itu pada si wanita pegawai minimarket, pastilah itu sesuatu yang buruk. Morgan yakin itu.Zashhh!Insting Morgan bekerja, memberitahunya kalau ada serangan yang datang dari belakang.Dengan cepat dia memutar badannya sembilan puluh derajat, mengangkat tangannya yang kanan untuk menangkis serangan itu.Rupanya ada pria lain yang juga mengenakan penutup kepala, dan sia pria lain ini mencoba menghantamkan linggis ke kepala Morgan.Trang!Klontang! Klontang!Kalau saja Morgan tak refleks mengaktifkan perisai tak kasat matanya, bukan si linggis yang patah melainkan tulang lengannya.Si pria yang memegang linggis itu tercengang.Bagaimana bisa linggis itu patah saat dihant
Suhu ruangan mendadak turun beberapa derajat. Si pria yang memegang linggis itu tak bisa bergerak. Dia melihat Morgan berjalan ke arahnya dengan mata yang dingin.Mata itu, seperti mata seekor pemangsa yang sedang menghampiri mangsa yang telah dilumpuhkannya.Susah-payah, pria yang memakai penutup kepala itu mengangkat tangannya yang memegang linggis. Dia tahu Morgan akan melakukan sesuatu yang buruk padanya.Tapi baru juga tangannya itu mulai terangkat, Morgan yang sudah berdiri di hadapannya langsung menendang tangannya itu.Klontang!!Linggis itu pun terlempar hingga ke dekat pintu masuk minimarket.“Aku tak tahu apa niat kalian sebenarnya, tapi kalian telah melakukan tindakan kriminal, dan kalian harus menerima akibatnya,” kata Morgan.“Tapi tenang saja. Aku tak akan membunuh kalian. Setidaknya kalian masih akan bisa bernapas,” sambungnya.Morgan lantas meninju pria di hadapannya itu tepat di perutnya.Bugh!!Bruakkk!!Pria itu terlempar jauh, menghantam sebuah rak berisi alat-ala
Morgan tiba di kantor pusat Weistermann Group di Kota KL. Gedung kantor ini benar-benar besar, seakan-akan menunjukkan status sosial si pemiliknya. Saat Morgan akan memasukkan mobilnya ke area gedung, seorang satpam keluar dari posnya, menghampiri mobil Morgan dengan tatapan curiga. "Ada keperluan apa?" tanya si satpam, tak ramah. Dia telah bekerja di situ selama sepuluh tahun, dan dia hapal betul siapa-siapa saja karyawan Weistermann Group yang berkantor di situ. BDan Morgan jelas bukan salah satunya. "Aku mau bertemu Ethan Weiss. Biarkan aku masuk," ucap Morgan. Dugaan si satpam benar. Orang ini bukan karyawan Weistermann Group. Dan dia tak senang dengan sikap angkuh pria yang dikenalnya ini. "Kau sudah punya janji dengan Tuan Ethan? Beliau bukan orang yang bisa ditemui begitu saja," kata si satpam. Morgan berdecak kesal. "Aku baru saja meneleponnya lima menit yang lalu. Sekarang biarkan aku masuk. Aku tak punya banyak waktu!" desak Morgan. Si satpam semakin kesal. Sorot
Morgan membanting Carl dengan keras sampai-sampai Carl muntah darah. Morgan sudah kehilangan banyak waktu. Dia harus mengatasi Carl secepatnya. "Di lantai berapa ruangannya Ethan Weiss berada? Katakan!" desak Morgan, menekan kepala Carl dengan telapak tangannya. "A-a-ampun!"Ketakutan terpancar jelas dari mata Carl. Dia seperti dibayang-bayangi kematiannya sendiri. "Cepat katakan di lantai berapa ruangan Ethan Weiss!" bentak Morgan. "Lantai 11," jawab Carl cepat. Morgan pun menarik tangannya dan berdiri. Sebenarnya bisa saja dia menendang Carl, toh pria itu pantas mendapatkannya.Tapi, saat ini fokusnya bukan itu. Dia pun melangkahi Carl yang terbaring menelungkup itu, meninggalkan Carl di ruangannya. ... Di lantai 11, di ruangan Presdir Weistermann Group. "Apa kau bilang? Dia menghajarmu?"[Betul, Tuan Ethan. Mohon Anda berhati-hati. Dia orang yang berbahaya.]Ethan tahu Morgan orang yang kuat. Sekilas melihatnya saja dia bisa memastikan itu. Dan bukan hanya kuat, Morgan
Morgan mengemudikan mobilnya di belakang mobil limosin milik Ethan Weiss. Dia mengikuti ke mana limosin itu menuju.Sejak bertolak dari kantor pusat Weistermann Group tadi, dia terus bertanya-tanya apa yang kira-kira direncanakan Ethan Weiss kini.Tapi dia sempat mencoba menguping isi percakapan Ethan dengan Bram yang meneleponnya.Siapa pun yang dimaksudnya tadi dengan "mereka", orang-orang itu telah diminta Ethan menuju ke rumahnya.Bisa jadi ini ada kaitannya dengan apa yang akan dilakukan Morgan.Mereka kini mulai memasuki area kediaman Keluarga Weiss yang sangat luas. Pintu gerbangnya saja begitu tinggi, seakan-akan ini adalah benteng atau kastil.Morgan melajukan mobilnya dengan pelan, mengekor si limosin ke mana pun ia melaju.Ketika akhirnya mereka berhenti, Ethan Weiss turun terlebih dahulu dari limosinnya, barulah Morgan ikut turun."Jonathan ada di kamarnya. Kau ikut aku ke sana," kata Ethan Weiss.Morgan mengangguk. Dia mengunci mobil dan berjalan menaiki anak-anak tangga.
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat