Morgan mengemudikan mobilnya di belakang mobil limosin milik Ethan Weiss. Dia mengikuti ke mana limosin itu menuju.Sejak bertolak dari kantor pusat Weistermann Group tadi, dia terus bertanya-tanya apa yang kira-kira direncanakan Ethan Weiss kini.Tapi dia sempat mencoba menguping isi percakapan Ethan dengan Bram yang meneleponnya.Siapa pun yang dimaksudnya tadi dengan "mereka", orang-orang itu telah diminta Ethan menuju ke rumahnya.Bisa jadi ini ada kaitannya dengan apa yang akan dilakukan Morgan.Mereka kini mulai memasuki area kediaman Keluarga Weiss yang sangat luas. Pintu gerbangnya saja begitu tinggi, seakan-akan ini adalah benteng atau kastil.Morgan melajukan mobilnya dengan pelan, mengekor si limosin ke mana pun ia melaju.Ketika akhirnya mereka berhenti, Ethan Weiss turun terlebih dahulu dari limosinnya, barulah Morgan ikut turun."Jonathan ada di kamarnya. Kau ikut aku ke sana," kata Ethan Weiss.Morgan mengangguk. Dia mengunci mobil dan berjalan menaiki anak-anak tangga.
Yang dilemparkan oleh si ninja ke arah Morgan itu adalah shuriken.Shuriken itu diarahkan tepat ke dahi Morgan, tapi Morgan berhasil menghalanginya dengan telapak tangan.Shuriken tajam itu pun menancap di punggung tangannya yang kiri. Darah dari sana menetes-netes ke lantai."Ethan Weiss, apa maksudnya ini?!" hardik Morgan sambil menoleh dan mendelik ke arah Ethan.Di hadapannya, si ninja itu kembali beraksi, kali ini mengeluarkan semacam sabit dan menebaskannya ke arah Morgan.Ninja itu telah bergerak dengan sangat cepat sehingga posisinya saat ini adalah di samping Morgan dalam jarak satu meter saja, di mana di hadapannya adalah belakang kepala Morgan.Syuuut!!Begitulah bunyi yang dihasilkan saat si sabit membelah udara untuk sampai ke kepala Morgan, tapi Morgan sempat mengelak.Sedetik kemudian Morgan sudah berbalik ke arah si ninja, menyerang si ninja dengan sebuah tendangan.Si ninja meloncat mundur. Kini dia menatap Morgan dengan kuda-kuda yang kokoh. Dia memutar-mutar sabit i
Kuroda telah mempersiapkan banyak hal sebelum meluncur ke kediamannya Ethan Weiss ini.Dari melihat bagaimana dua murid didikannya bertarung melawan Morgan semalam, dia punya beberapa catatan. Salah satunya soal kecepatan dan kekuatan Morgan.Dua hal itu akan dia antisipasi dengan kembinasi serangan beruntun yang luar biasa cepat, seperti yang baru saja diterapkannya dengan salah satu muridnya.Dan soal racun, dia pun telah mengoleskan racun yang lebih mematikan ke senjata-senjata tajam yang dia dan kedua muridnya gunakan.Peluang mereka menghabisi Morgan kini lebih besar. Dan sebab kali ini dia pun turun sendiri, dia yakin, Morgan yang tangguh itu akan bisa dikalahkan.Dan memang sepertinya itulah yang akan terjadi, hingga akhirnya Kuroda dihadapkan pada pemandangan yang tak pernah terbayangkan olehnya.Dari tubuh Morgan, sesuatu seperti api berwarna hitam berkobar-kobar dan terus membesar. Aura yang keluar dari tubuh Morgan saat ini membuat orang-orang di ruangan itu sulit sekali be
"90 persen? Kau gila! Itu sama saja aku menyerahkan kerajaan bisnisku padamu!" protes Ethan. "Tawaranku hanya itu. Kalau kau tak mau, aku akan melakukan apa pun yang kumau kepada kau dan anakmu. Toh kau sendiri yang duluan mengingkari janji!" balas Morgan, kembali melangkah maju. "Tunggu, tunggu! Yang barusan itu di luar rencanaku.""Dan kau berharap aku percaya? Kau pikir aku cukup bodoh untuk percaya bahwa ketiga ninja barusan itu datang begitu saja tanpa arahan darimu?!"Ethan terdiam. Apa yang dikatakan Morgan itu benar. Bagaimanapun dia yang memberi arahan agar ketiga pembunuh bayaran itu masuk ke kamarnya Jonathan. Itu karena dia salah menduga. Dia kira apa yang dilakukan Morgan terhadap Jonathan tadi hanya akan membuat kondisi kaki anaknya itu memburuk. Dia tak mengira kalau hasilnya justru sebaliknya. Lalu sekarang apa yang harus dia lakukan? Morgan jelas-jelas bilang kalau minta maaf saja tidak cukup. Dan dia bukan orang yang bisa dia beli dengan uang. Ethan kehabisan i
Setengah berlari, Agnes menyusuri salah satu lorong di lantai dasar Rumah Sakit P.Setibanya dia di lorong menuju ke ruang IGD, dia melihat tiga anggota keluarganya duduk menunggu dengan raut muka cemas.“Bagaimana Mama? Dia masih di dalam?” tanya Agnes setelah cukup dekat dengan mereka.“Masih,” jawab Livia yang langsung berdiri.Agnes melirik sebentar ke arah Robert dan Riana, tapi dia putuskan untuk menghampiri Livia.“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Agnes panik.“Duduklah dulu,” kata Livia, menaruh kedua tangannya di lengan Agnes dan membantunya duduk di sampingnya.Riana sempat melirik ke arah Agnes tapi langsung memalingkan muka saat Agnes balas meliriknya.Adapun Robert, sementara itu, tatapannya tertuju ke lantai di hadapannya. Dia tak pernah melihat kakak sulungnya itu semuram ini.“Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku!” Agnes mendesak Livia.Livia menarik napas sekali, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Agnes sembari menggunakan tangan kanannya untuk menutupi geraka
Henry langsung meluncur ke rumah sakit setelah dikabari Riana kalau Melisa akan menjalani transfusi darah, dan Agnes menawarkan diri untuk menjadi pendonor.Hanya dalam waktu setengah jam, dia sudah tiba di rumah sakit, langsung mencari tahu di mana transfusi darah itu akan dilakukan.Statusnya sebagai kepala keluarga di Keluarga Wistara memudahkannya. Dia pun dipandu seorang perawat untuk menuju ke ruangan yang dimaksud. Si perawat mengira Henry hanya ingin melihat istrinya, memastikan transfusi darah berlangsung dengan baik.Tapi ketika Henry dan si perawat sudah berada di depan ruang transfusi darah, Henry mulai menunjukkan gelagat mencurigakan.Yang terpancar dari matanya bukan kecemasan tetapi amarah. Dia bahkan mendengus dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.Si perawat semakin curiga saat Henry menyingkirkan dirinya dari hadapannya dan membuka pintu. Dan baru saja, dengan suara keras, Henry meminta agar transfusi darah dihentikan.‘Apa maksudnya ini?’ begitu si perawat bertanya-t
Henry terkejut dengan apa yang didengarnya.Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin menantu sampahnya yang tak berguna itu adalah pemilik rumah sakit ini?“Apa yang barusan Anda bilang, Direktur? Dia pemilik baru rumah sakit ini?” tanya Henry sembari menunjuk kasar ke Morgan."Benar, Pak Henry. Tuan Morgan adalah pemilik baru Rumah Sakit P. Beliau baru saja membeli rumah sakit dari pemilik sebelumnya. Dan saya minta tolong agar Pak Henry menjaga sikap Bapak," jawab Vivi, menegaskan posisi dan keberpihakannya.Henry menatap Vivi dengan bingung. Apakah ini sungguhan? Tidakkah dia sedang bermimpi?"Kau bisa meninggalkan kami berdua di sini, Vivi," kata Morgan sambil menatap Vivi.Gesturnya kasual. Cara bicaranya juga. Dan dia memanggil Direktur Rumah Sakit P dengan nama panggilan yang juga kasual, menandakan berapa akrabnya mereka berdua.Tentu saja Henry semakin tak mengerti. Dia semakin tak bisa memercayai apa yang dilihatnya dan didengarnya."Baik, Tuan Morgan. Kalau begitu saya permisi
Untuk kali pertama dalam hidupnya, Henry benar-benar ketakutan saat menatap Morgan.Sosok yang berada di hadapannya ini seperti malaikat maut, bukan menantu sampahnya yang tak berguna itu.“Seret dia keluar!” perintah Morgan.Kedua satpam itu pun lanjut menyeret Henry di sepanjang lorong. Kali ini, Henry tak memberikan perlawanan. Apa yang baru saja dialaminya itu membuatnya terguncang.Setelah beberapa belas langkah, Henry dan kedua satpam itu menghilang dari pandangan Morgan.Morgan menghela napas. Dia sadar, barusan dia kelewat emosi, sampai-sampai aura Dewa Perang-nya menyeruak dari tubuhnya tanpa dia niatkan.“Tuan Morgan, terkait transfusi darah itu…” Vivi mencoba memastikan keputusan Morgan.“Lanjutkan saja. Aku yang akan bertanggung jawab kalau nanti terjadi apa-apa. Pastikan saja transfusi darah berjalan baik,” kata Morgan.“Baik, Tuan Morgan. Apakah Anda ingin melihat mereka?”Yang dimaksud Vivi adalah Agnes dan Melisa. Morgan berpikir sebentar, kemudian menggeleng.“Nanti s