"90 persen? Kau gila! Itu sama saja aku menyerahkan kerajaan bisnisku padamu!" protes Ethan. "Tawaranku hanya itu. Kalau kau tak mau, aku akan melakukan apa pun yang kumau kepada kau dan anakmu. Toh kau sendiri yang duluan mengingkari janji!" balas Morgan, kembali melangkah maju. "Tunggu, tunggu! Yang barusan itu di luar rencanaku.""Dan kau berharap aku percaya? Kau pikir aku cukup bodoh untuk percaya bahwa ketiga ninja barusan itu datang begitu saja tanpa arahan darimu?!"Ethan terdiam. Apa yang dikatakan Morgan itu benar. Bagaimanapun dia yang memberi arahan agar ketiga pembunuh bayaran itu masuk ke kamarnya Jonathan. Itu karena dia salah menduga. Dia kira apa yang dilakukan Morgan terhadap Jonathan tadi hanya akan membuat kondisi kaki anaknya itu memburuk. Dia tak mengira kalau hasilnya justru sebaliknya. Lalu sekarang apa yang harus dia lakukan? Morgan jelas-jelas bilang kalau minta maaf saja tidak cukup. Dan dia bukan orang yang bisa dia beli dengan uang. Ethan kehabisan i
Setengah berlari, Agnes menyusuri salah satu lorong di lantai dasar Rumah Sakit P.Setibanya dia di lorong menuju ke ruang IGD, dia melihat tiga anggota keluarganya duduk menunggu dengan raut muka cemas.“Bagaimana Mama? Dia masih di dalam?” tanya Agnes setelah cukup dekat dengan mereka.“Masih,” jawab Livia yang langsung berdiri.Agnes melirik sebentar ke arah Robert dan Riana, tapi dia putuskan untuk menghampiri Livia.“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Agnes panik.“Duduklah dulu,” kata Livia, menaruh kedua tangannya di lengan Agnes dan membantunya duduk di sampingnya.Riana sempat melirik ke arah Agnes tapi langsung memalingkan muka saat Agnes balas meliriknya.Adapun Robert, sementara itu, tatapannya tertuju ke lantai di hadapannya. Dia tak pernah melihat kakak sulungnya itu semuram ini.“Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku!” Agnes mendesak Livia.Livia menarik napas sekali, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Agnes sembari menggunakan tangan kanannya untuk menutupi geraka
Henry langsung meluncur ke rumah sakit setelah dikabari Riana kalau Melisa akan menjalani transfusi darah, dan Agnes menawarkan diri untuk menjadi pendonor.Hanya dalam waktu setengah jam, dia sudah tiba di rumah sakit, langsung mencari tahu di mana transfusi darah itu akan dilakukan.Statusnya sebagai kepala keluarga di Keluarga Wistara memudahkannya. Dia pun dipandu seorang perawat untuk menuju ke ruangan yang dimaksud. Si perawat mengira Henry hanya ingin melihat istrinya, memastikan transfusi darah berlangsung dengan baik.Tapi ketika Henry dan si perawat sudah berada di depan ruang transfusi darah, Henry mulai menunjukkan gelagat mencurigakan.Yang terpancar dari matanya bukan kecemasan tetapi amarah. Dia bahkan mendengus dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.Si perawat semakin curiga saat Henry menyingkirkan dirinya dari hadapannya dan membuka pintu. Dan baru saja, dengan suara keras, Henry meminta agar transfusi darah dihentikan.‘Apa maksudnya ini?’ begitu si perawat bertanya-t
Henry terkejut dengan apa yang didengarnya.Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin menantu sampahnya yang tak berguna itu adalah pemilik rumah sakit ini?“Apa yang barusan Anda bilang, Direktur? Dia pemilik baru rumah sakit ini?” tanya Henry sembari menunjuk kasar ke Morgan."Benar, Pak Henry. Tuan Morgan adalah pemilik baru Rumah Sakit P. Beliau baru saja membeli rumah sakit dari pemilik sebelumnya. Dan saya minta tolong agar Pak Henry menjaga sikap Bapak," jawab Vivi, menegaskan posisi dan keberpihakannya.Henry menatap Vivi dengan bingung. Apakah ini sungguhan? Tidakkah dia sedang bermimpi?"Kau bisa meninggalkan kami berdua di sini, Vivi," kata Morgan sambil menatap Vivi.Gesturnya kasual. Cara bicaranya juga. Dan dia memanggil Direktur Rumah Sakit P dengan nama panggilan yang juga kasual, menandakan berapa akrabnya mereka berdua.Tentu saja Henry semakin tak mengerti. Dia semakin tak bisa memercayai apa yang dilihatnya dan didengarnya."Baik, Tuan Morgan. Kalau begitu saya permisi
Untuk kali pertama dalam hidupnya, Henry benar-benar ketakutan saat menatap Morgan.Sosok yang berada di hadapannya ini seperti malaikat maut, bukan menantu sampahnya yang tak berguna itu.“Seret dia keluar!” perintah Morgan.Kedua satpam itu pun lanjut menyeret Henry di sepanjang lorong. Kali ini, Henry tak memberikan perlawanan. Apa yang baru saja dialaminya itu membuatnya terguncang.Setelah beberapa belas langkah, Henry dan kedua satpam itu menghilang dari pandangan Morgan.Morgan menghela napas. Dia sadar, barusan dia kelewat emosi, sampai-sampai aura Dewa Perang-nya menyeruak dari tubuhnya tanpa dia niatkan.“Tuan Morgan, terkait transfusi darah itu…” Vivi mencoba memastikan keputusan Morgan.“Lanjutkan saja. Aku yang akan bertanggung jawab kalau nanti terjadi apa-apa. Pastikan saja transfusi darah berjalan baik,” kata Morgan.“Baik, Tuan Morgan. Apakah Anda ingin melihat mereka?”Yang dimaksud Vivi adalah Agnes dan Melisa. Morgan berpikir sebentar, kemudian menggeleng.“Nanti s
Morgan sedang berada di ruang kerjanya Vivi saat Agnes tiba-tiba meneleponnya.Dering ponselnya itu membuat dia yang tengah bicara seketika terdiam. Saat itu dia sedang berhadapan, secara virtual, dengan Dewan Komisaris Rumah Sakit P.“Sebentar. Saya angkat dulu panggilan ini,” kata Morgan, mengabaikan raut muka Dewan Komisaris yang kesal.Sudah sejak lama sejak Agnes menghubunginya. Dia curiga ada sesuatu hal buruk menimpa istrinya itu.[Halo, Morgan. Kau bisa datang ke Rumah Sakit P? Ada yang ingin kubicarakan denganmu.]Morgan terdiam sebentar. Saat ini dia memang berada di Rumah Sakit P. Tapi, dia tidak bisa menuju ke ruang rawat inap Agnes saat ini juga.“Oke. Aku akan tiba di sana dalam setengah jam,” kata Morgan akhirnya.[Oke. Terima kasih. Aku tunggu.]Agnes mengakhiri panggilan. Apa pun itu yang ingin dibicarakan Agnes dengannya, tampaknya dia harus mengatakannya langsung di hadapan Morgan.Itu artinya dia harus cepat-cepat menyelesaikan urusannya dengan Dewan Komisaris.“Ok
Morgan menatap mata Agnes dalam-dalam. Apakah ini saatnya? Haruskah dia ungkapkan semuanya kepada istrinya ini?Dia bisa melihat dengan jelas dari mata istrinya, betapa inginnya wanita itu mendengar penjelasan dari Morgan atas semua hal membingungkan yang selama ini dilihat dan dialaminya.Dan mengingat hubungan mereka baru saja membaik, Morgan khawatir, jika dia tak memenuhi keinginan istrinya ini, hubungan mereka akan kembali memburuk.Itu pernah terjadi tempo hari, dan Morgan tak ingin terjebak di situasi serupa.Tapi, di sisi lain, saat ini, bersama mereka ada juga Livia.Morgan menatap Livia dengan jengkel. Dia masih ingat betapa menyebalkannya Livia saat dia berupaya menyelamatkannya malam itu.Agnes mungkin pantas mengetahui jati diri Morgan yang sesungguhnya, tapi Livia tidak.Morgan tak sudi membeberkan semua itu di depan Livia!“Akan kujelaskan semuanya nanti setelah kau pulih. Sekarang, kau fokus saja pada pemulihanmu. Istirahatlah. Nanti akan kuingatkan para nakes di sini
“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!”Si polisi wanita memberontak, menendan Morgan di perutnya hingga Morgan mundur beberapa langkah.Morgan sedikit terdistraksi oleh apa yang dilihatnya barusan. Kini, dia melihat si polisi wanita itu berdiri sambil susah-payah menutupi buah dadanya yang tadi terekspos itu.“Kau! Kau membuat seragamku jadi seperti ini! Jagnan harap kau bisa pergi begitu saja!” gertak si polisi wanita.Morgan menatap sepasang mata wanita itu, mendapati kesungguhan dan dedikasi yang tinggi.Tampaknya dia polisi yang jujur. Dia hanya menjalankan tugas sesuai apa yang diperintahkan padanya.“Aku tak punya banyak waktu. Ayo kita selesaikan urusan kita dengan cepat. Apa yang kau mau dariku?” tanya Morgan.“Sialan! Setelah apa yang kau lakukan padaku, masih berani kau bertanya seperti itu?! Kau harus ikut aku ke kantor polisi!” balas si polisi wanita.“Tak bisa. Aku tak bisa melakukannya,” kata Morgan, menggelengkan kepala. “Aku akan bertanggung jawab atas kesalahanku, tap