“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!”Si polisi wanita memberontak, menendan Morgan di perutnya hingga Morgan mundur beberapa langkah.Morgan sedikit terdistraksi oleh apa yang dilihatnya barusan. Kini, dia melihat si polisi wanita itu berdiri sambil susah-payah menutupi buah dadanya yang tadi terekspos itu.“Kau! Kau membuat seragamku jadi seperti ini! Jagnan harap kau bisa pergi begitu saja!” gertak si polisi wanita.Morgan menatap sepasang mata wanita itu, mendapati kesungguhan dan dedikasi yang tinggi.Tampaknya dia polisi yang jujur. Dia hanya menjalankan tugas sesuai apa yang diperintahkan padanya.“Aku tak punya banyak waktu. Ayo kita selesaikan urusan kita dengan cepat. Apa yang kau mau dariku?” tanya Morgan.“Sialan! Setelah apa yang kau lakukan padaku, masih berani kau bertanya seperti itu?! Kau harus ikut aku ke kantor polisi!” balas si polisi wanita.“Tak bisa. Aku tak bisa melakukannya,” kata Morgan, menggelengkan kepala. “Aku akan bertanggung jawab atas kesalahanku, tap
Wanita yang baru saja bicara itu mengenakan cheongsam berwarna merah cerah dengan motif bunga-bunga. Dia mengipasi-ngipasi leher putihnya yang terbilang panjang.“Kalau kalian datang ke sini untuk membuat keributan, sayang sekali, aku harus meminta kalian pergi. Dan ketika aku bilang ‘aku meminta kalian pergi’, itu artinya kalian bisa mati kalau kalian tak melakukannya,” kata wanita itu.Kris menoleh menatap Morgan, sedangkan Morgan hanya membalasnya dengan lirikan.Dia tahu, dia tak boleh segegabah di luar. Tapi dia tak mungkin juga menuruti permintaan wanita ber-cheongsam merah itu. Dia harus bertemu Gaby malam ini juga.“Kami tidak datang untuk membuat keributan. Kami hanya ingin bertemu seseorang. Kami tahu dia bekerja di sini,” kata Morgan.Wanita ber-cheongsam merah itu berhenti mengipas-ngipasi lehernya. Dia lalu melangkah maju, memosisikan dirinya di depan kedua pria yang tengah menodongkan senjata itu, tepat di tengah-tengah mereka.“Kau bilang kau dan temanmu ini tidak datan
“Berapa yang kau mau? Berapa yang kau minta agar Gaby bisa berhenti bekerja di kelab malammu ini?” tanya Morgan.“Oh, sekarang mau pakai cara itu? Kau yakin tak akan menyesal?” tantang Nyonya Lim.“Sebutkan saja. Aku beri kau uangnya malam ini juga,” balas Morgan.Nyonya Lim mendengus kesal. Dia tak yakin Morgan punya cukup uang untuk memenuhi permintaannya kalaupun dia mengutarakannya.Dari penampilan Morgan yang biasa, dia bahkan belum tentu punya uang dua puluh juta di rekening tabungannya.“Dua miliar! Aku minta uang kompensasi dua miliar kalau kalian mau membawa pergi salah satu hostess terpopulerku!” kata Nyonya Lim akhirnya.Dia tersenyum angkuh setelah mengatakannya, memberi Morgan tatapan meremehkan.Dia yakin uang sebanyak itu terlalu gila untuk orang seperti Morgan. Jika memang Morgan mau mencoba menekannya dengan uang, dia akan tunjukkan betapa kuatnya dia dan betapa tak berdayanya pria itu.Namun, Morgan tak sedikit pun terkejut mendengar angka dua miliar. Dia masih santa
“Allina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” tanya Morgan, lantang. “Menunggumu, tentu saja,” jawab Allina. Dia berjalan dengan langkah-langkah manja, meliuk-liuk seperti wanita penghibur di panggung kelab malam. Tapi Morgan tak terkesan. Dia kembali bertanya, “Bagaimana kau bisa masuk?” Langkah Allina terhenti. Dia menaruh kedua tangannya di pinggang, menatap Morgan sambil berpose layaknya model iklan. “Kau meremehkan aku, Morgan. Bagaimanapun, aku dulu pernah berkarier di militer. Memasuki rumah orang bukan hal yang sulit bagiku,” kata Allina. “Kau sudah ada di dalam sejak lama?” tanya Morgan lagi. “Begitulah,” jawab Allina. Allina telah menunggu Morgan di dalam rumah setidaknya tiga jam. Tadi saat dia tiba di rumah ini, dia sempat mengetuk-ngetuk pintu sambil memanggil-manggil Morgan, tapi karena tak ada juga balasan, dia pun membuka paksa pintu dan masuk. Awalnya dia kira Morgan sedang lelap tertidur sehingga dia langsung naik ke lantai dua. Dan perlahan, dengan sangat hati-
Setelah Morgan menurunkan jendela mobilnya itu, Allina menarik retsleting jaket lateksnya ke bawah dan menarik tangan Morgan, menyelusupkannya ke balik branya.Itu dilakukan Allina dengan sanat cepat, sampai-sampai Morgan tak sempat menghindar. Kini telapak tangannya kembali bersentuhan dengan buah dadanya Allina. Bahkan dia bisa merasakan puting buah dada kiri Allina yang mulai mengeras.“Sekarang kita hanya berdua. Dan dini hari seperti ini, tak akan ada orang yang datang untuk berlatih,” kata Allina, mengedipkan matanya dengan nakal.Morgan mendengus kesal. Dia sudah berjanji untuk tidak lagi terperosok ke lubang yang sama. Dia pun menarik tangannya dan cepat-cepat menaikkan kembali jendela.Dia tak boleh berada di situ lebih lama lagi. Lebih cepat dia pergi, lebih baik.Morgan melajukan mobilnya meski Allina masih bertahan di posisinya. Allina kemudian melontarkan caci maki dan rutukan kepada Morgan, tapi Morgan tak peduli.Dia tinggalkan pusat pelatihannya Allina itu. Sempat dia
“Sudah kuduga! Instingku memang tak pernah salah! Kau ini orang bejat! Tak pantas orang sepertimu menjadi pemilik rumah sakit ini!”Martin mengatakannya sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah Morgan, merekam apa yang sedang dilakukan Morgan pada pasien.“Luar biasa! Bahkan setelah aku merekammu seperti ini pun, kau masih saja melecehkan pasien! Bisa-bisanya orang bejat sepertimu menjadi pemilik rumah sakit ini!” hardiknya lagi.Memang, saat ini, Morgan masih menempelkan telapak tangannya di dada Melisa. Dia melakukan itu karena proses pengobatan belum selesai.Tapi dia sadar, dia harus memikirkan apa yang dikatakan Martin barusan. Martin tentu tidak akan berhenti di tahap merekam apa yang tengah dilakukannya ini. Dia bisa saja memviralkan video rekamannya itu dan menyudutkan Morgan sebagai seorang pelaku pelecehan seksual terhadap pasien di Rumah Sakit P.Itu sama sekali bukan hal baik. Akan sangat merepotkan jika Martin diberi kesempatan untuk melakukannya.“Mampus kau! Akan kuk
“Cepat keluar kau, Jalang! Jangan kau kira kami tak berani mendobrak pintu!”Pria kekar di depan pintu unit apartemennya Vivi itu berteriak sambil kembali menggedor-gedor pintu tersebut.Tentu saja, orang-orang yang menghuni unit-unit apartemen di kiri dan kanan unitnya Vivi, bahkan di satu lorong itu, sudah tahu apa yang terjadi. Tapi mereka tak berani melakukan apa pun.Si pria kekar itu tidak sendiri. Bersamanya ada dua pria kekar lain, satu membawa alat bor dan satu lagi membawa gergaji mesin.Sebelumnya mereka telah melumpuhkan satpam-satpam yang bertugas di depan.“Cepat keluar, Wanita Sialan! Tak usah berharap akan ada yang datang untuk menolongmu! Kalau kau tak juga keluar dalam satu menit, akan kami hancurkan pintumu ini!” ancam pria yang sama.Di dalam unit, Vivi berlindung di dalam kamar mandi sambil memegangi lututnya yang gemetaran.Bukan hanya lututnya yang gemetaran, tapi seluruh tubuhnya.Gigi-giginya bahkan bergemeretak, seolah-olah dia sedang sangat kedinginan.“M-M-
Si pria kekar yang dipanggil Bos itu muntah darah. Kedua matanya seperti akan terloncat dari tempatnya.Setelah itu, Morgan menendangnya hingga tubuhnya terlempar beberapa belas meter dan sempat berguling-guling di lorong sebelum akhirnya berhenti.Dia tak bergerak lagi. Tapi dia belum mati. Morgan sengaja membiarkan pria itu hidup untuk menanyainya nanti.Sekarang, Morgan mengarahkan matanya ke pintu unit apartemennya Vivi.Dia ketuk pintu itu dua kali, memastikan kalau ketukannya cukup pelan tapi akan terdengar oleh Vivi yang diduganya sedang bersembunyi ketakutan.“Bukalah. Semua sudah kuatasi. Sekarang kau aman,” kata Morgan lantang.Sejenak kemudian dia mendengar bebunyian dari dalam. Tapi sebelum pintu di hadapannya itu terbuka, yang duluan terbuka malah pintu unit apartemen di samping kiri unitnya Vivi.Morgan menoleh, mendapati seorang wanita sedang mengintip dengan wajah ketakutan di balik pintu.Mata wanita itu membulat saat melihat sosok Martin yang tergeletak bersimbah dar