“Cepat keluar kau, Jalang! Jangan kau kira kami tak berani mendobrak pintu!”Pria kekar di depan pintu unit apartemennya Vivi itu berteriak sambil kembali menggedor-gedor pintu tersebut.Tentu saja, orang-orang yang menghuni unit-unit apartemen di kiri dan kanan unitnya Vivi, bahkan di satu lorong itu, sudah tahu apa yang terjadi. Tapi mereka tak berani melakukan apa pun.Si pria kekar itu tidak sendiri. Bersamanya ada dua pria kekar lain, satu membawa alat bor dan satu lagi membawa gergaji mesin.Sebelumnya mereka telah melumpuhkan satpam-satpam yang bertugas di depan.“Cepat keluar, Wanita Sialan! Tak usah berharap akan ada yang datang untuk menolongmu! Kalau kau tak juga keluar dalam satu menit, akan kami hancurkan pintumu ini!” ancam pria yang sama.Di dalam unit, Vivi berlindung di dalam kamar mandi sambil memegangi lututnya yang gemetaran.Bukan hanya lututnya yang gemetaran, tapi seluruh tubuhnya.Gigi-giginya bahkan bergemeretak, seolah-olah dia sedang sangat kedinginan.“M-M-
Si pria kekar yang dipanggil Bos itu muntah darah. Kedua matanya seperti akan terloncat dari tempatnya.Setelah itu, Morgan menendangnya hingga tubuhnya terlempar beberapa belas meter dan sempat berguling-guling di lorong sebelum akhirnya berhenti.Dia tak bergerak lagi. Tapi dia belum mati. Morgan sengaja membiarkan pria itu hidup untuk menanyainya nanti.Sekarang, Morgan mengarahkan matanya ke pintu unit apartemennya Vivi.Dia ketuk pintu itu dua kali, memastikan kalau ketukannya cukup pelan tapi akan terdengar oleh Vivi yang diduganya sedang bersembunyi ketakutan.“Bukalah. Semua sudah kuatasi. Sekarang kau aman,” kata Morgan lantang.Sejenak kemudian dia mendengar bebunyian dari dalam. Tapi sebelum pintu di hadapannya itu terbuka, yang duluan terbuka malah pintu unit apartemen di samping kiri unitnya Vivi.Morgan menoleh, mendapati seorang wanita sedang mengintip dengan wajah ketakutan di balik pintu.Mata wanita itu membulat saat melihat sosok Martin yang tergeletak bersimbah dar
Di tempat pembuangan sampah, di pinggiran Kota HK, menjelang pagi.Morgan berdiri bersandar di mobilnya, sambil mengarahkan kamera ponselnya ke empat orang yang sedang mengangkut sampah-sampah ke truk.Ya, mereka adalah Martin dan ketiga pria kekar suruhannya itu.“Ayo kerja lebih cepat! Itu pun kalau kalian mau cepat-cepat pulang,” ucap Morgan, terkekeh.Inilah hukuman yang tadi diputuskan oleh Vivi. Morgan sendiri merekam aktivitas mereka ini atas inisiatifnya sendiri. Dengan begini dia bisa lebih menekan mereka untuk tidak lagi berulah di kemudian hari.Sadar kalau Morgan sedang merekam apa yang tengah dilakukannya, Martin mendengus kesal dan melirik Morgan sebentar.Hanya itu yang berani dia lakukan. Lebih dari itu, dia malah bisa mendapatkan hukuman tambahan; bisa jadi sesuatu yang lebih memalukan dan menjijikkan lagi.Ini saja sudah benar-benar memalukan dan menjijikkan baginya. Dia, seorang pria terhormat yang merupakan anggota Dewan Komisaris Rumah Sakit P, harus memunguti pla
Morgan baru saja memasuki lobi Rumah Sakit P. Tadi dia langsung meluncur ke situ setelah menelepon Agnes, memastikan seperti apa situasi ibu mertuanya saat ini.‘Kenapa jadi begini? Apa aku salah telah mempercepat pemulihannya?’ pikir Morgan, sambil menuju ke ruang rawat inapnya Melisa.Ibu mertuanya itu memang siuman pagi ini sesuai perkiraannya. Tapi, berseberangan dengan kondisi fisiknya yang membaik dengan cepat, kondisi psikisnya sepertinya masih sangat buruk.Morgan memang seorang tabib jenius yang bisa menyembuhkan nyaris semua penyakit fisik. Tapi, jika sudah bicara soal penyakit psikis, itu beda lagi.Dia bukan orang yang profesional di bidang itu.Morgan membuka pintu ruang rawat inapnya Melisa, mendapati Melisa terbaring tenang dengan mata terpejam.Agnes duduk di samping Melisa dan terlihat khawatir. Seorang perawat juga berada di situ. Dia mengangguk hormat kepada Morgan.“Bagaimana kondisi Mama? Apa yang sebenarnya terjadi tadi?” tanya Morgan, menutupi pintu berjalan men
Orang-orang di kantin terkejut dengan apa yang dilakukan Morgan.Morgan sendiri sama. Baru saja tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Dia seakan-akan kehilangan kontrol atas tubuhnya sendiri.Dan sementara dia menyadari hal itu, tubuhnya kembali bergerak dengan sendirinya.Kali ini, dia ambil kursi-kursi yang terpasang pada meja tadi dan membantingnya ke lantai.Kaki kursi-kursi itu patah. Orang-orang berteriak histeris, menjauh dari Morgan yang mengamuk.Ini kali pertama Morgan mengalami sesuatu seperti ini. Dia masih sadar, sepenuhnya menyadari apa dilakukannya, tapi yang melakukan hal itu bukanlah dirinya melainkan sosok lain yang telah mengambil alih tubuhnya.Ini tak bisa dibiarkan. Sebelum si pengambil alih tubuhnya itu berbuat lebih jauh, Morgan harus melakukan sesuatu.Dan yang terpikirkan olehnya adalah membangkitkan energi murninya. Untunglah dia masih bisa melakukan itu sebab dia masih bisa menarik-embuskan napas seperti biasanya.Seiring bangkit dan menyebarnya energi murni
Suara itu terdengar berat. Morgan tak bisa melihat apa pun, termasuk siapa yang bicara.Saat ini dia seperti tengah berada di sebuah tempat yang terpisah dari ruang dan waktu. Hanya ada hitam yang pekat. Itu saja.Ini kali pertama Morgan terjebak dalam situasi seperti ini, tapi dia tidak panik.Dia menarik napas panjang, membangkitkan energi murninya dan menyebarkannya ke seluruh tubuhnya, bersiap jika ada serangan mendadak atau yang semacamnya.Dia menduga, apa yang tengah terjadi padanya ini ada hubungannya dengan kejadian di kantin tadi.Pelakunya pasti orang yang sama.“Aku akui kau cukup hebat. Biasanya seseorang akan butuh waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk bisa lepas dari hipnosisku, tapi kau melakukannya dalam hitungan detik saja.”“Tapi kali ini, kupastikan kau akan terjebak di sini untuk waktu yang lama. Dan sementara kau terjebak di sini, tubuhmu berada dalam kendaliku dan aku akan melakukan apa pun yang kumau.”Suara berat itu terdengar lagi. Morgan menoleh dan bal
Henry terhenyak dan refleks meloncat ke kanan.Pandangannya sendiri terarah ke sebelah kirinya, di mana Morgan, menantu sampahnya itu, sedang berdiri dan tersenyum angkuh.Di depan Morgan, berdiri membelakanginya, ada si ahli hipnosis yang disewa Henry untuk menyingkirkan Morgan.Tangan kanan Morgan menyentuh pundak si ahli hipnosis."K-kau... kenapa aku bisa ada di sini? Apa maksudnya ini!"Henry panik. Dia telah menggelontorkan 500 juta untuk menyewa si ahli hipnosis ini. Bahkan dia mendatangkannya khusus dari luar provinsi dan mengganti ongkos pesawatnya. Mestinya saat ini dia sedang menghipnosis Morgan dan menghabisinya. Kenapa jadi seperti ini?"Kenapa diam saja? Ayo bilang padanya apa yang harus kau bilang," kata Morgan kepada si ahli hipnosis.Si ahli hipnosis menghela napas. Dia tampak gugup dan takut.Kemudian dia menatap Henry. Kali ini yang terpancar dari matanya adalah amarah. Amarah yang sangat kuat."Uang 500 juta yang sudah kaubayarkan itu akan kutransfer balik. Akan k
Morgan menatap Livia dengan jengah. Kenapa dia harus melihat wanita menyebalkan ini lagi?"Mau apa kau ke sini, Livia?" tanya Morgan ketus."Hah? Justru aku yang harusnya menanyakan itu padamu. Sedang apa kau di sini? Kalau aku sih jelas, mau menengok Agnes dan ibu mertuaku," kata Livia.Morgan ingat, hubungan Agnes dengan Livia mulai membaik sejak insiden terakhir di mana dia menyelamatkan mereka berdua.Tapi, tetap saja, dia tak bisa tak membenci Livia. Livia selalu saja membuatnya kesal meskipun dia telah berkali-kali menolongnya."Pasien bernama Melisa masih di ruang rawat inap yang sama kan, ya? Dia sudah bisa dikunjungi?" tanya Livia sembari mendekat ke meja resepsionis, mengabaikan Morgan yang menatapnya tajam.Baru juga si resepsionis akan menjawab, Morgan menjawabnya terlebih dulu."Sebaiknya kau pulang saja, Livia. Sudah ada aku yang menemani Agnes. Dia tak butuh kau atau siapa pun lagi."Livia langsung menatap Morgan sambil sedikit memelototinya."Heh, kau pikir kau siapa s