Di tempat pembuangan sampah, di pinggiran Kota HK, menjelang pagi.Morgan berdiri bersandar di mobilnya, sambil mengarahkan kamera ponselnya ke empat orang yang sedang mengangkut sampah-sampah ke truk.Ya, mereka adalah Martin dan ketiga pria kekar suruhannya itu.“Ayo kerja lebih cepat! Itu pun kalau kalian mau cepat-cepat pulang,” ucap Morgan, terkekeh.Inilah hukuman yang tadi diputuskan oleh Vivi. Morgan sendiri merekam aktivitas mereka ini atas inisiatifnya sendiri. Dengan begini dia bisa lebih menekan mereka untuk tidak lagi berulah di kemudian hari.Sadar kalau Morgan sedang merekam apa yang tengah dilakukannya, Martin mendengus kesal dan melirik Morgan sebentar.Hanya itu yang berani dia lakukan. Lebih dari itu, dia malah bisa mendapatkan hukuman tambahan; bisa jadi sesuatu yang lebih memalukan dan menjijikkan lagi.Ini saja sudah benar-benar memalukan dan menjijikkan baginya. Dia, seorang pria terhormat yang merupakan anggota Dewan Komisaris Rumah Sakit P, harus memunguti pla
Morgan baru saja memasuki lobi Rumah Sakit P. Tadi dia langsung meluncur ke situ setelah menelepon Agnes, memastikan seperti apa situasi ibu mertuanya saat ini.‘Kenapa jadi begini? Apa aku salah telah mempercepat pemulihannya?’ pikir Morgan, sambil menuju ke ruang rawat inapnya Melisa.Ibu mertuanya itu memang siuman pagi ini sesuai perkiraannya. Tapi, berseberangan dengan kondisi fisiknya yang membaik dengan cepat, kondisi psikisnya sepertinya masih sangat buruk.Morgan memang seorang tabib jenius yang bisa menyembuhkan nyaris semua penyakit fisik. Tapi, jika sudah bicara soal penyakit psikis, itu beda lagi.Dia bukan orang yang profesional di bidang itu.Morgan membuka pintu ruang rawat inapnya Melisa, mendapati Melisa terbaring tenang dengan mata terpejam.Agnes duduk di samping Melisa dan terlihat khawatir. Seorang perawat juga berada di situ. Dia mengangguk hormat kepada Morgan.“Bagaimana kondisi Mama? Apa yang sebenarnya terjadi tadi?” tanya Morgan, menutupi pintu berjalan men
Orang-orang di kantin terkejut dengan apa yang dilakukan Morgan.Morgan sendiri sama. Baru saja tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Dia seakan-akan kehilangan kontrol atas tubuhnya sendiri.Dan sementara dia menyadari hal itu, tubuhnya kembali bergerak dengan sendirinya.Kali ini, dia ambil kursi-kursi yang terpasang pada meja tadi dan membantingnya ke lantai.Kaki kursi-kursi itu patah. Orang-orang berteriak histeris, menjauh dari Morgan yang mengamuk.Ini kali pertama Morgan mengalami sesuatu seperti ini. Dia masih sadar, sepenuhnya menyadari apa dilakukannya, tapi yang melakukan hal itu bukanlah dirinya melainkan sosok lain yang telah mengambil alih tubuhnya.Ini tak bisa dibiarkan. Sebelum si pengambil alih tubuhnya itu berbuat lebih jauh, Morgan harus melakukan sesuatu.Dan yang terpikirkan olehnya adalah membangkitkan energi murninya. Untunglah dia masih bisa melakukan itu sebab dia masih bisa menarik-embuskan napas seperti biasanya.Seiring bangkit dan menyebarnya energi murni
Suara itu terdengar berat. Morgan tak bisa melihat apa pun, termasuk siapa yang bicara.Saat ini dia seperti tengah berada di sebuah tempat yang terpisah dari ruang dan waktu. Hanya ada hitam yang pekat. Itu saja.Ini kali pertama Morgan terjebak dalam situasi seperti ini, tapi dia tidak panik.Dia menarik napas panjang, membangkitkan energi murninya dan menyebarkannya ke seluruh tubuhnya, bersiap jika ada serangan mendadak atau yang semacamnya.Dia menduga, apa yang tengah terjadi padanya ini ada hubungannya dengan kejadian di kantin tadi.Pelakunya pasti orang yang sama.“Aku akui kau cukup hebat. Biasanya seseorang akan butuh waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk bisa lepas dari hipnosisku, tapi kau melakukannya dalam hitungan detik saja.”“Tapi kali ini, kupastikan kau akan terjebak di sini untuk waktu yang lama. Dan sementara kau terjebak di sini, tubuhmu berada dalam kendaliku dan aku akan melakukan apa pun yang kumau.”Suara berat itu terdengar lagi. Morgan menoleh dan bal
Henry terhenyak dan refleks meloncat ke kanan.Pandangannya sendiri terarah ke sebelah kirinya, di mana Morgan, menantu sampahnya itu, sedang berdiri dan tersenyum angkuh.Di depan Morgan, berdiri membelakanginya, ada si ahli hipnosis yang disewa Henry untuk menyingkirkan Morgan.Tangan kanan Morgan menyentuh pundak si ahli hipnosis."K-kau... kenapa aku bisa ada di sini? Apa maksudnya ini!"Henry panik. Dia telah menggelontorkan 500 juta untuk menyewa si ahli hipnosis ini. Bahkan dia mendatangkannya khusus dari luar provinsi dan mengganti ongkos pesawatnya. Mestinya saat ini dia sedang menghipnosis Morgan dan menghabisinya. Kenapa jadi seperti ini?"Kenapa diam saja? Ayo bilang padanya apa yang harus kau bilang," kata Morgan kepada si ahli hipnosis.Si ahli hipnosis menghela napas. Dia tampak gugup dan takut.Kemudian dia menatap Henry. Kali ini yang terpancar dari matanya adalah amarah. Amarah yang sangat kuat."Uang 500 juta yang sudah kaubayarkan itu akan kutransfer balik. Akan k
Morgan menatap Livia dengan jengah. Kenapa dia harus melihat wanita menyebalkan ini lagi?"Mau apa kau ke sini, Livia?" tanya Morgan ketus."Hah? Justru aku yang harusnya menanyakan itu padamu. Sedang apa kau di sini? Kalau aku sih jelas, mau menengok Agnes dan ibu mertuaku," kata Livia.Morgan ingat, hubungan Agnes dengan Livia mulai membaik sejak insiden terakhir di mana dia menyelamatkan mereka berdua.Tapi, tetap saja, dia tak bisa tak membenci Livia. Livia selalu saja membuatnya kesal meskipun dia telah berkali-kali menolongnya."Pasien bernama Melisa masih di ruang rawat inap yang sama kan, ya? Dia sudah bisa dikunjungi?" tanya Livia sembari mendekat ke meja resepsionis, mengabaikan Morgan yang menatapnya tajam.Baru juga si resepsionis akan menjawab, Morgan menjawabnya terlebih dulu."Sebaiknya kau pulang saja, Livia. Sudah ada aku yang menemani Agnes. Dia tak butuh kau atau siapa pun lagi."Livia langsung menatap Morgan sambil sedikit memelototinya."Heh, kau pikir kau siapa s
Livia telah beberapa kali melihat si satpam yang kini mengadangnya itu, tapi ini kali pertama dia mendapati pria itu memelototinya.Meski yang barusan itu dikatakannya dengan nyaris berbisik, Livia bisa merasakan tekanan yang sedang coba diberikan si satpam kepadanya.Dan bagaimana dia merespons si satpam? Tentu saja dia marah.“Minggir kau! Harusnya orang yang barusan naik tangga itu yang kau paksa ikut denganmu keluar! Dia yang membuatku jadi marah-marah begini!”Livia, bagaimanapun, adalah anggota Keluarga Wistara yang cukup disegani itu. Dia tentu tak terima seorang satpam menekannya seperti yang baru saja dialaminya.Si satpam, sementara itu, mendengus kesal sambil menatap Livia tajam.Dia tahu siapa orang yang dimaksud wanita di hadapannya ini. Tak lain dan tak bukan, orang itu adalah pemilik baru rumah sakit tempat dia bekerja ini. Dengan kata lain, bos besarnya. Dan wanita ini memintanya mengusir bos besarnya sendiri?‘Kalau bukan bodoh, wanita ini pasti sudah tak waras!’ piki
Di ruang rawat inapnya Melisa, Morgan menunggu kembalinya Agnes dengan cemas.Tadi dia terpaksa membiarkan Agnes turun sebab kata istrinya itu ada urusan darurat mengenai proyek yang harus dibahasnya dengan sekretarisnya Felisia.Adit khawatir Livia kembali bertingkah dan mengganggu Agnes. Tapi sejauh ini, belum ada kabar buruk apa pun istrinya itu.Morgan tadi memang meminta Agnes untuk cepat-cepat menghubunginya jika terjadi apa-apa di bawah.Terdengar langkah-langkah kaki. Morgan langsung menoleh ke pintu.Sekejap kemudian, pintu itu terbuka; Agnes muncul di baliknya dan masuk.“Kau baik-baik saja, Sayangku?” tanya Morgan sambil menghampiri istrinya.Agnes menatap Morgan heran, berkata, “Aku baik-baik saja. Kenapa kau sekhawatir ini? Aku kan hanya turun ke bawah sebentar.”“Emm, tidak apa-apa. Aku lega kau baik-baik saja,” tanggap Morgan.Morgan memang tak mengatakan apa pun soal kedatangan Livia dan ulah yang dibuatnya tadi.“Jadi, bagaimana? Ada masalah soal proyek?” tanya Morgan