Di ruang rawat inapnya Melisa, Morgan menunggu kembalinya Agnes dengan cemas.Tadi dia terpaksa membiarkan Agnes turun sebab kata istrinya itu ada urusan darurat mengenai proyek yang harus dibahasnya dengan sekretarisnya Felisia.Adit khawatir Livia kembali bertingkah dan mengganggu Agnes. Tapi sejauh ini, belum ada kabar buruk apa pun istrinya itu.Morgan tadi memang meminta Agnes untuk cepat-cepat menghubunginya jika terjadi apa-apa di bawah.Terdengar langkah-langkah kaki. Morgan langsung menoleh ke pintu.Sekejap kemudian, pintu itu terbuka; Agnes muncul di baliknya dan masuk.“Kau baik-baik saja, Sayangku?” tanya Morgan sambil menghampiri istrinya.Agnes menatap Morgan heran, berkata, “Aku baik-baik saja. Kenapa kau sekhawatir ini? Aku kan hanya turun ke bawah sebentar.”“Emm, tidak apa-apa. Aku lega kau baik-baik saja,” tanggap Morgan.Morgan memang tak mengatakan apa pun soal kedatangan Livia dan ulah yang dibuatnya tadi.“Jadi, bagaimana? Ada masalah soal proyek?” tanya Morgan
“Apa katamu? Kau pemilik rumah sakit ini?” tanya Agnes.“Iya. Aku pemilik baru rumah sakit ini,” jawab Morgan.Agnes menatap Morgan tak percaya, sementara bunyi alarm itu masih terdengar nyaring.“Kau jangan bercanda, Morgan. Ini bukan waktu yang tepat untuk membual,” kata Agnes, ketus.Jelas sekali Agnes tak memercayai apa yang dikatakan Morgan. Dan itu wajar. Jika memang Morgan adalah pemilik baru rumah sakit ini, itu berarti Morgan punya cukup banyak uang untuk membeli rumah sakit ini dari pemilik sebelumnya.Lantas kenapa selama ini dia berpura-pura miskin, jika memang dia punya uang sebanyak itu?Bagi Agnes, itu sungguh tak masuk akal.“Aku tidak membual, Agnes. Aku mengatakan yang sebenarnya. Saat ini, akulah pemilik Rumah Sakit P. Itulah kenapa barusan aku memerintahkan direktur rumah sakit untuk menangani kekacauan yang saat ini sedang terjadi,” kata Morgan.Agnes mendengus. Bukannya teryakinkan oleh penjelasan Morgan tersebut, dia justru jadi jengah.Agnes sungguh berharap Mo
Morgan tak tahu siapa orang-orang ini, tapi satu hal cukup jelas: mereka berbahaya.Kedua satpam di pos menatap mereka dengan tegang. Salah satunya mencoba mengangkat gagang telepon pelan-pelan.Dor!“Ah!”Satu tembakan mengenai bahu si satpam, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk, bersandar di dinding dalam pos.“Jangan macam-macam! Cepat lepaskan dia sebelum aku kehilangan kesabaranku!” kata pria itu lagi, yang barusan menembak.Morgan ingin cepat-cepat menghentikan pendarahan si satpam, tapi dia khawatir, jika dia tiba-tiba bergerak si pria berambut kuning-emas itu akan menembaknya.Masih mending jika dia yang ditembak. Bagaimana kalau si satpam yang satu lagi?Itu akan sangat merepotkan. Untuk sementara, sampai dia menemukan celah untuk membalikkan keadaan, Morgan harus menahan diri dan melakukan apa yang diminta si rambut kuning-emas.“Lepaskan dia,” ujar Morgan kepada si satpam yang satunya lagi.Sorot mata si satpam memancarkan kecemasan. Morgan mengangguk, men
Jamal dan orang-orang itu tercengang sampai kehabisan kata-kata.Pemukul bisbol itu jelas-jelas benda yang keras, tapi patah semudah itu saat dihantamkan ke kepala Morgan?Apa ini lelucon? Apa mereka sedang mengambil adegan untuk sebuah film?Gark!Sementara Jamal dan orang-orang itu belum pulih dari ketercengangannya, Morgan melepaskan ikatan-ikatan yang mengekangnya ke kursi kayu itu, dengan mudah.Setelah itu dia berdiri dan melepaskan juga borgol plastik yang mengikat kedua tangannya, juga dengan mudah.Di hadapan orang-orang itu, Morgan sudah sepeti seorang ahli sulap yang tenah melakukan pertunjukkan.Dan raut mukanya dingin, begitu juga sorot matanya.“K-k-kau…. A-a-apa yang…”Bugh!Belum juga Jamal menyelesaikan ucapannya, Morgan sudah menghantamkan tinjunya ke perut Jamal, membuat pria itu langsung muntah darah, dan pingsan.Tubuh Jamal ambruk menyisakan bunyi yang kuat. Mafia-mafia lain, termasuk si pria berambut kuning-emas yang mereka panggil Bos, sampai refleks mundur sat
‘Sekarang apa lagi?’Itulah yang diucapkan Morgan dalam hati saat melihat si polisi wanita menodongkan pistol padanya.Ya, dia memang telah berjanji kepada si polisi wanita kalau dia akan menyelesaikan urusannya tempo hari itu. Tapi bukankah dia telah memberikan nomor kontaknya kepada wanita ini?Kalau tujuan akhirnya adalah membuat Morgan mempertanggungjawabkan pelanggaran lalu-lintas yang dilakukannya itu, si polwan ini bisa meneleponnya atau memintanya baik-baik.Tak perlu sampai menodongkan pistol seperti ini.“Balik badan dan angkat tanganmu!”Si polwan mengatakannya dengan mata membulat. Morgan menghela napas dan memasang muka malas, tapi dilakukannya juga apa yang diminta si polwan.Saat ini, ketika dia berada di lingkungan rumah sakit, hal terbaik adalah menghindari konflik yang tak perlu.Masih sambil menodongkan senjata, si polwan berjalan mendekati Morgan.Setelah jarak mereka cukup dekat, si polwan memasukkan kembali pistolnya dan mengeluarkan borgol, memaksa Morgan menaru
Si polwan menatap Sang Komandan penuh heran. Apa maksudnya ini? Kenapa tiba-tiba dia diminta melepaskan Borgol di tangan Morgan?“Tapi, Komandan…”“Apa harus aku sendiri yang melepaskan borgol keparat ini, hah?!”Si polwan terhenyak. Respons Sang Komandan ini benar-benar di luar dugaannya. Tadinya dia pikir justru dia akan mendapat pujian atau setidaknya apresiasi.Apakah dia telah melakukan kesalahan?Masih dengan muka memancarkan kebingungan, dia melakukan apa yang diminta atasannya itu.Dilepaskannya borgol plastik yang mengikat kedua tangan Morgan dengan kencang.Setelah borgol itu terlepas, Morgan menarik kedua tangannya ke depan, mengamati pergelangan tangannya.“Maafkan anak buah saya ini. Dia orang baru. Dia belum tahu siapa yang dia hadapi,” kata Sang Komandan.Meski dia tak membungkuk saat mengatakannya, nada bicaranya yang penuh hormat menunjukkan betapa tingginya status Morgan.Ini membuat si polwan tambah bingung. Siapa sebenarnya orang yang baru saja ditangkapnya ini?“O
“Jawab, Morgan! Kenapa kau setega itu pada Livia? Memangnya dia salah apa?” desak Agnes.Morgan menyadari kehadiran si perawat dan dia tak nyaman obrolannya dengan istrinya ini diketahui wanita itu. Dia juga tak ingin sampai membuat ibu mertuanya terbangun.Diambilnya tangan Agnes, ditariknya istrinya itu keluar. Dia masih terus membawa Agnes sampai mereka berada di ruang tunggu yang agak jauh dari situ.“Lepaskan aku!” Agnes protes.Morgan pun melepaskan tangan Agnes. Kini dia menatap istrinya itu lekat-lekat.“Apa yang dikatakan Livia padamu? Apa tadi dia sempat masuk ke ruang rawat inapnya Mama?” tanya Morgan.Agnes kesal sebab Morgan tak langsung menjawab, malah mengajukan pertanyaan. Tapi dia lihat, raut muka Morgan menunjukkan keseriusan.“Tadi Livia meneleponku. Dia bilang kau melecehkannya saat dia bermaksud menjengukku. Kau mengusirnya sambil melecehkannya!” kata Agnes.“Melecehkannya? Melecehkannya bagaimana?” Morgan tak percaya apa yang dia dengar. Tampaknya istrinya Joseph
Saat Morgan berdiri di teras depan, dia lihat, di pintu gerbang yang jauh itu ada api yang berkobar.Baru saja dia hendak menuruni anak-anak tangga, Imran muncul dari garasi dan berlari begitu cepat ke arah pintu gerbang.Bukan hanya cepat, Imran juga tampaknya membawa senjata.“Kau tetap di dalam. Jaga istriku dan ibu mertuaku,” kata Morgan saat mendapati Gaby ikut-ikutan keluar.Gaby mengangguk dan kembali masuk dan menutup pintu, barangkali juga menguncinya.Morgan menuruni anak-anak tangga dengan cepat. Mobilnya sudah dimasukkan oleh Imran ke garasi. Dia pun berlari seperti halnya Imran tadi. Tapi, dia tak membawa senjata apa pun.Semakin dekat dia ke pintu gerbang di mana Donald berjaga, Morgan mulai mendengar suara-suara orang berkelahi.Imran agaknya sudah tiba lebih dulu. Dia harap kedua tentara itu tidak kenapa-kenapa dan bisa mengatasi serangan-serangan dengan baik.Morgan sendiri membangkitkan energi murninya, bersiap untuk melakukan konfrontasi langsung dengan orang-orang