Semua Bab SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI: Bab 41 - Bab 50

128 Bab

41. Kemarahan Gavin

Malu, sedih, dan marah bercampur jadi satu. Abrina tidak kuasa mengangkat wajah. Dirinya lebih memilih untuk menyembunyikan parasnya yang masih penuh dengan krim pada dadanya Gibran. Gibran sendiri tidak mempermasalahkan jasnya menjadi kotor. Dia membiarkan Abrina nyaman menangis di dadanya. Sementara itu dirinya terus meninggalkan tempat pesta. Gibran menuju kamarnya. Pak Haris menyuruh kedua anaknya untuk bermalam saja di hotel yang ia sewa. Hal tersebut memudahkan Gibran untuk menolong Abrina. Tiba di depan pintu kamarnya, Gibran menurunkan Abrina dengan hati-hati. Pemuda itu menyuruh sang gadis untuk masuk. Abrina pun lekas mencari kamar mandi begitu masuk. Gadis itu harus membersihkan parasnya yang cemong karena krim kue. Di luar, Gibran bergegas mengambil ponselnya. Dia harus menghubung Mona. Istri kedua ayahnya. "Ya, Gibran, ada apa?" tanya Tante Mona lembut. Perempuan yang malam itu tampak lux dengan kalung mutiara pink tersebut memilih menepi agar bisa mendengar suara G
Baca selengkapnya

42. Pengakuan Haris

Tanpa menunggu waktu lagi pemuda itu lekas meninggalkan Kakak dan temannya. Mata segera mencari keberadaan Leon. Akhirnya setelah mencari ke sana sini Gavin mendapatkan Leon. Pemuda itu sedang ngobrol asyik dengan kedua kakaknya, Lusi dan Livia. "Gue ada perlu sama lu," ujar Gavin langsung menarik tangan Leon. "Eh!" Leon cukup terkaget tiba-tiba langsung ditarik tangannya oleh Gavin. "Mau ke mana sih, Vin?" protesnya seraya melepas cengkraman tangan Gavin pada lengannya. Gavin tidak membalas. Dia terus saja menyeret Leon ke luar dari ballroom. Pemuda itu membawa Leon ke tempat yang sedikit sepi dan mepet tembok. "Apa sih, Vin?" kata Leon saat Gavin menyentakan tangannya. "Lu mau coba main-main sama gue?" kejar Gavin dengan tatapan sengit. "Maksud lu apa sih?" Leon sebenarnya paham alasan Gavin marah, tapi berlagak polos. "Kenapa elu kirim Abrina baju pantai? Sedangkan baju dari gue lu kirim ke rumahnya Anggini? Kenapa hah?" cecar Gavin sembari menarik ujung bajunya Leon. "Kata
Baca selengkapnya

43. Sakit Hati Haris

"Abrina, tolong jangan buat papah malu, Nak," mohon Haris dengan air mata yang berkaca-kaca."Iya, Abrina. Masa sama papahnya sendiri gak mau ngaku. Durhaka nanti lho," timpal MC berdasi kupu-kupu ikut membela Haris."Tapi, saya gak mengenal Bapak ini, Kak," balas Abrina dengan menaikan dagunya, "kalo benar dia papah saya, kenapa tadi pas saya kejatuhan kue dan diketawain semua orang dia diam saja? Kenapa justru orang lain yang menolong?"Haris menelan ludahnya mendengar nada menggebu dari pertanyaan Abrina.Sementara Abrina justru menatap Haris dengan tenang."Papah saya sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu--""Abrina!" Kali ini Haris sampai menghardik mendengar pernyataan sang anak, "ingat nama kamu itu Abrina Harisanti Putri yang artinya kamu anak dari Haris dan Miranti. Asal kamu tahu saya yang memberikan nama itu karena saya adalah papahnya kamu," tuturnya sambil menunjuk dada sendiri.Para hadirin menyimak perdebatan antara ayah dan anak tersebut dengan serius. Kebanyakan d
Baca selengkapnya

44. Alsaki Sakit

"Makan, gue laper," balas Gavin tanpa menatap Abrina."Aduh, Vin, aku pengen balik nih," keluh Abrina tidak senang."Udah dibilang gue laper. Di pesta tadi belum makan, lu juga belum makan kan?" tebak Gavin sambil melirik, "dan inget gue itu bos lu. Jadi gak bisa lu nolak gue."Omongan andalan Gavin ampuh membungkam mulut Abrina. Gadis itu hanya bisa mendesah. Karena memang dirinya sudah sangat ingin pulang.Mobil Gavin berhenti di sebuah restoran. Ini kedua kalinya pemuda itu mengajak Abrina makan steik. Seperti biasa Gavin memilih daging kualitas satu."Kenapa cuma dilihatin doang? Ini mahal lho, Bi," tegur Gavin begitu melihat Abrina mendiami makanannya."Aku gak lapar," sahut Abrina datar.Gavin melanjutkan makannya. Dia hafal wataknya Abrina yang keras kepala. Makanya dirinya enggan jika harus memaksa gadis itu untuk makan."Lu marah sama gue?" tanya Gavin saat santapannya mulai tandas.Abrina tidak punya Gadis itu lebih suka memalingkan wajahnya ke arah lain."Jawab gue, Bina!"
Baca selengkapnya

45. Jantung Alsaki

"Sus, kenapa Al diam saja?" tanya Haris mulai heran.Matanya sesekali melirik sang putra yang berada di buaian suster. Namun, dirinya harus tetap fokus pada jalanan. Panik membuat Haris membawa mobil sendiri.Suster sendiri hanya menggeleng bingung. Perempuan muda itu mencoba menggoyang tubuh mungil Alsaki. Namun, bayi mungil empat bulan itu tetap diam.Haris yang panik langsung meletakkan telunjuknya di tepi hidungnya Alsaki. Bayi itu masih bernapas hanya saja lemah. Hal tersebut tentu membuat hati Haris tidak karuan.Pria itu menambah kecepatan mobilnya. Haris tidak mau hal buruk menimpa sang putra. Apapun akan dia lakukan untuk kesembuhan Alsaki. Termasuk mengebut di jalanan.Jalanan yang padat kendaraan membuat Haris harus pintar-pintar menyalip mobil-mobil di depannya. Ketika tengah membalap tiba-tiba dari arah berlawanan melintas sebuah truk yang cukup besar.Haris tentu kaget melihatnya. Namun, pria itu harus bertindak cepat jika ingin selamat. Akhirnya dia memilih untuk bantin
Baca selengkapnya

46

Ketika Bu dokter akan menjawab seorang perawat masuk. Gadis berseragam serba putih itu menyerahkan hasil foto rontgen pada Bu dokter. Bu Dokter sendiri justru memberikannya pada Haris begitu sang perawat berlalu."Kalo ditanya apakah itu sangat berbahaya, saya jawab cukup berbahaya," tutur Bu dokter kemudian, "karena jantung bocor ini Adik Al jadi susah bernapas, sering batuk, bibir lidah dan kuku jadi kebiruan, mudah lelah menyusu dan kurang berselera makan. Pastinya itu akan membuat Adik Al susah naik berat badannya dan pertumbuhannya akan terganggu."Haris diam untuk menyimak penuturan Bu dokter. "Lalu apa yang mesti dilakukan untuk menolong Alsaki?" tanyanya serius."Kami akan melakukan tindakan operasi Patching yaitu menambal katup jantung yang bocor dengan tambalan dari jaringan tubuh atau jaringan buatan."Haris mengangguk. "Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya, Dok," pintanya kemudian.Bu dokter dengan name tag Nadia itu mengangguk. "Insya Allah kami semua akan melaku
Baca selengkapnya

47. Kemarahan Haris

"Mas, jangan begitu! Gak baik ngomong pisah," mohon Lusi langsung memasang wajah sedih. "Oke, aku mohon maaf kalo niat baik aku gak berkenan di hati kamu," ucapnya kemudian. Haris tidak menggubris. Pria berlalu meninggalkan Lusi. Arahnya tertuju pada meja makan. "Livia dan Leon gak pernah merayakan ulang tahun dari kecil, apa aku salah kalo mau buat acara untuk Livia?" tanya Lusi terus mengikuti langkah sang suami. Lagi-lagi Haris tidak menyahut. Pria itu lebih memilih untuk membuka tudung saji. Ada rawon, telur asin, dan sayur kacang panjang sebagai hidangan makan malam. "Mas, jangan diam saja, jawab dong!" seru Lusi sembari memegang lengannya Haris. "Bisa diam gak!" sentak Haris kesal. Matanya menatap Lusi dengan tajam. "Tahu gak kamu? Berjam-jam aku menahan lapar untuk mengurusi Al sendiri. Jadi tolong, jangan ganggu aku dulu," mohonnya serius. Kali ini Lusi menutup mulut. Wanita itu memperhatikan Haris yang mulai menyiduk nasi dan lauk. Sang suami perlahan mulai menyuap nasi
Baca selengkapnya

48. Kecurigaan Haris

"Ayo kita ke rumah sakit!" ajak Haris pada Lusi dengan dingin. "Iya." Lusi langsung mengangguk semangat. Perempuan itu lekas menyusul langkah lebar-lebar Haris. Lusi agak menggerutu karena sang suami tidak menunggunya. Sementara dirinya susah bergerak cepat sebab mengenakan sepatu dengan hak sepuluh centimeter. Di dalam mobil pun Haris enggan berdekatan dengan Lusi. Laki-laki itu memilih untuk duduk mendampingi Pak Nono. Sedangkan Lusi di jok belakangnya. Beberapa kali pertanyaan dari Lusi pun Haris abaikan. Dirinya hanya mau berbicara dengan sang sopir. Tiba di rumah sakit Haris pun tetap tidak memedulikan sang istri. Dirinya tetap melangkah panjang-panjang. Meninggalkan Lusi yang harus terseok-seok mengikuti derap jalannya. Hingga akhirnya Haris tiba di kamar inap sang putra. Sebelum pulang pria itu sudah memilihkan kamar yang terbaik untuk Alsaki. Suster Eva benar, ketika Haris dan Lusi masuk bayi mereka tengah menangis. Mungkin karena terlalu lama menangis suara Alsaki sampa
Baca selengkapnya

49. Armando

Armando menutup panggilannya. Dia lantas melempar begitu saja iPhone pemberian dari Lusi. Benar saat ini hidupnya sudah ditanggung oleh istrinya Haris tersebut. Masih ingat betul dua setengah tahun yang lalu, hidup Armando masih cukup susah. Meski menyandang gelar sarjana fisioterapi, tapi saat itu dirinya belum mendapatkan pekerjaan yang mentereng hingga akhirnya nasib mempertemukan Armando dengan keluarga Haris. Termasuk Lusi, perempuan yang menjadi patner in crime-nya. Masih jelas dalam ingatan ketika tengah bingung karena belum bayar kos-kosan, Arman mendapat kabar baik. Bos di klinik tempatnya bekerja memberi tahu jika tenaganya dibutuhkan oleh istri seorang pengusaha. Setelah membaca kartu nama yang diberikan oleh owner tempatnya bekerja, Arman segera meluncur ke alamat yang tertera. Alamat rumah Haris tentunya. Dia yang kala itu belum punya kendaraan roda empat datang ke rumah Haris dengan menaiki sepeda motor biasa. Orang pertama yang membukakan pintu untuk laki-laki itu ad
Baca selengkapnya

50. Patner In Crime

Lusi mencondongkan tubuhnya. Sangat dekat dengan wajahnya Arman. Tak heran pemuda itu berpikir jika Lusi akan mencium bibirnya. "Tolong bantu aku mendepak Ibu Miranti dari rumah," bisik Lusi dengan suara manja. Arman sendiri tercekat mendengarnya. "Kenapa kamu ingin mendepak dia? Bu Ranti orang baik kan?" Tanpa sepengetahuan Lusi, Arman buru-buru mengambil ponselnya di saku celana. Menit berikutnya pemuda itu mulai merekam pembicaraannya. Tentu Lusi tidak melihat karena posisinya sama-sama duduk. "Kamu ingin jadi orang kaya gak?" tanya Lusi sembari mengelus pipi Arman. "Terus apa hubungannya dengan Ibu Ranti?" tanya Arman heran. "Jadikan aku nyonya Haris maka aku jamin hidupmu enak, Man."Arman menatap Lusi lekat. "Aku gak nyangka gadis semanis kamu punya hati yang busuk ini, Lus." "Dengar Arman, meski nanti aku akan menjadi miliknya Pak Haris, tapi hati ini mau aku serahkan hanya untuk kamu," janji Lusi palsu. "Termasuk tubuhmu?" tantang Arman serius. Di tempatnya Lusi terpa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
13
DMCA.com Protection Status