"Mas, jangan begitu! Gak baik ngomong pisah," mohon Lusi langsung memasang wajah sedih. "Oke, aku mohon maaf kalo niat baik aku gak berkenan di hati kamu," ucapnya kemudian. Haris tidak menggubris. Pria berlalu meninggalkan Lusi. Arahnya tertuju pada meja makan. "Livia dan Leon gak pernah merayakan ulang tahun dari kecil, apa aku salah kalo mau buat acara untuk Livia?" tanya Lusi terus mengikuti langkah sang suami. Lagi-lagi Haris tidak menyahut. Pria itu lebih memilih untuk membuka tudung saji. Ada rawon, telur asin, dan sayur kacang panjang sebagai hidangan makan malam. "Mas, jangan diam saja, jawab dong!" seru Lusi sembari memegang lengannya Haris. "Bisa diam gak!" sentak Haris kesal. Matanya menatap Lusi dengan tajam. "Tahu gak kamu? Berjam-jam aku menahan lapar untuk mengurusi Al sendiri. Jadi tolong, jangan ganggu aku dulu," mohonnya serius. Kali ini Lusi menutup mulut. Wanita itu memperhatikan Haris yang mulai menyiduk nasi dan lauk. Sang suami perlahan mulai menyuap nasi
"Ayo kita ke rumah sakit!" ajak Haris pada Lusi dengan dingin. "Iya." Lusi langsung mengangguk semangat. Perempuan itu lekas menyusul langkah lebar-lebar Haris. Lusi agak menggerutu karena sang suami tidak menunggunya. Sementara dirinya susah bergerak cepat sebab mengenakan sepatu dengan hak sepuluh centimeter. Di dalam mobil pun Haris enggan berdekatan dengan Lusi. Laki-laki itu memilih untuk duduk mendampingi Pak Nono. Sedangkan Lusi di jok belakangnya. Beberapa kali pertanyaan dari Lusi pun Haris abaikan. Dirinya hanya mau berbicara dengan sang sopir. Tiba di rumah sakit Haris pun tetap tidak memedulikan sang istri. Dirinya tetap melangkah panjang-panjang. Meninggalkan Lusi yang harus terseok-seok mengikuti derap jalannya. Hingga akhirnya Haris tiba di kamar inap sang putra. Sebelum pulang pria itu sudah memilihkan kamar yang terbaik untuk Alsaki. Suster Eva benar, ketika Haris dan Lusi masuk bayi mereka tengah menangis. Mungkin karena terlalu lama menangis suara Alsaki sampa
Armando menutup panggilannya. Dia lantas melempar begitu saja iPhone pemberian dari Lusi. Benar saat ini hidupnya sudah ditanggung oleh istrinya Haris tersebut. Masih ingat betul dua setengah tahun yang lalu, hidup Armando masih cukup susah. Meski menyandang gelar sarjana fisioterapi, tapi saat itu dirinya belum mendapatkan pekerjaan yang mentereng hingga akhirnya nasib mempertemukan Armando dengan keluarga Haris. Termasuk Lusi, perempuan yang menjadi patner in crime-nya. Masih jelas dalam ingatan ketika tengah bingung karena belum bayar kos-kosan, Arman mendapat kabar baik. Bos di klinik tempatnya bekerja memberi tahu jika tenaganya dibutuhkan oleh istri seorang pengusaha. Setelah membaca kartu nama yang diberikan oleh owner tempatnya bekerja, Arman segera meluncur ke alamat yang tertera. Alamat rumah Haris tentunya. Dia yang kala itu belum punya kendaraan roda empat datang ke rumah Haris dengan menaiki sepeda motor biasa. Orang pertama yang membukakan pintu untuk laki-laki itu ad
Lusi mencondongkan tubuhnya. Sangat dekat dengan wajahnya Arman. Tak heran pemuda itu berpikir jika Lusi akan mencium bibirnya. "Tolong bantu aku mendepak Ibu Miranti dari rumah," bisik Lusi dengan suara manja. Arman sendiri tercekat mendengarnya. "Kenapa kamu ingin mendepak dia? Bu Ranti orang baik kan?" Tanpa sepengetahuan Lusi, Arman buru-buru mengambil ponselnya di saku celana. Menit berikutnya pemuda itu mulai merekam pembicaraannya. Tentu Lusi tidak melihat karena posisinya sama-sama duduk. "Kamu ingin jadi orang kaya gak?" tanya Lusi sembari mengelus pipi Arman. "Terus apa hubungannya dengan Ibu Ranti?" tanya Arman heran. "Jadikan aku nyonya Haris maka aku jamin hidupmu enak, Man."Arman menatap Lusi lekat. "Aku gak nyangka gadis semanis kamu punya hati yang busuk ini, Lus." "Dengar Arman, meski nanti aku akan menjadi miliknya Pak Haris, tapi hati ini mau aku serahkan hanya untuk kamu," janji Lusi palsu. "Termasuk tubuhmu?" tantang Arman serius. Di tempatnya Lusi terpa
Enam bulan sudah Arman menjalani hari-harinya di penjara. Dua kali saja Lusi mengunjunginya. Setelah itu dirinya menghilang. Begitu juga dengan uang bulanan yang ia janjikan pada Arman. Sebagai seorang pria, Arman tentu murka karena merasa tertipu. Namun, saat itu dirinya sedang tidak berdaya. Sehingga dia hanya bisa pasrah pada keadaan. Arman benar-benar menjalani masa hukumannya. Dia juga berusaha berperilaku baik. Sehingga dirinya mendapatkan remisi setengah bulan masa tahanan. Akhirnya setelah lima bulan setengah mendekam di penjara, Arman bisa menghirup udara bebas. Dia sengaja tidak langsung menemui Lusi. Pria itu memilih waktu yang tepat karena saat itu Lusi memblokir semua akses. Butuh waktu satu minggu lamanya bagi Arman untuk memantau perempuan itu. Hingga akhirnya laki-laki itu memberanikan diri untuk menemui Lusi. Tentunya Arman sudah menelisik semua. Dia melihat Haris sudah pergi ke kantor bersama sopirnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika Arman memgetuk pintu, Lu
Lusi sendiri benar-benar berganti pakaian. Namun, otak perempuan itu terus berputar. Tentu dia tidak mau menyerahkan tubuhnya pada Arman secara cuma-cuma. Karena memang di dasar hatinya tidak ada rasa cinta untuk pria itu. Hingga akhirnya manik perempuan itu tertuju pada kotak obat di bufet kamar. Lusi buru-buru membuka kotak obat tersebut. Satu strip tablet obat tidur dia ambil. Haris memang selalu menyediakan obat tidur. Semenjak berpisah dengan Miranti dan Abrina, pria itu terlampau sulit untuk memejamkan mata. Sehingga memerlukan obat tersebut setiap malam. Lusi yang merasa sudah di atas angin lekas memasukan obat tersebut ke tas tangannya. Dirinya lantas merias wajah. Setelah merasa cantik baru dia keluar untuk menemui Arman. Tiga bulan setelah resmi menjadi Nyonya Haris, Lusi meminta diberikan mobil. Dengan berbagai alasan dia mampu meyakinkan suaminya untuk memberi kendaraan tersebut. Sehingga perempuan itu leluasa pergi ke manapun tanpa diikuti oleh Pak Nono. Lusi pun mel
Lusi terkapar di ranjang. Pergumulan panasnya dengan Arman membuatnya lemas. Pria itu menggaulinya dengan cukup brutal. Sebagai wanita muda tentu Lusi merasa puas dengan permainannya Arman. Namun, lama-lama dia merasa jengah karena Arman terlampau kuat di ranjang. Berbeda dengan Haris yang memang usianya di atas mereka. Sementara itu Arman tersenyum puas melihat Lusi terkulai di ranjang. Dia memang sengaja melakukan itu. Karena ada satu ide cemerlang yang melintas di otaknya. "Otak kamu itu licik banget, Lus," ujar Arman sembari memainkan rambut panjang Lusi yang terpejam. Selain karena kelelahan efek obat tidur yang ia minum pun sudah bekerja."Jadi aku harus lebih ekstra menjerat kamu. Biar kamu gak bisa berkutik di hadapan aku," lanjut Arman dengan seringai miring. Tangan pria itu lantas meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping ranjang. Arman pun mulai menyalakan kamera. Tanpa buang waktu dia segera membuat video saat mencumbui Lusi. Bibir Arman tersungging ketika mel
Lusi pun menyerah. Akhirnya dia pasrah saja dijadikan ATM berjalan serta budak pemuasnya Arman. Bahkan perempuan itu pernah hamil anaknya Arman. Namun, segera ia gugurkan. Arman sendiri tidak peduli. Baginya yang terpenting hidupnya sudah terjamin. Di sepuluh bulan pernikahan, Haris pernah akan mengajukan cerai. Alasannya adalah Lusi tidak kunjung memberinya anak laki-laki. Hingga akhirnya Lusi meminta pada Arman untuk sementara waktu jangan dulu menganggu. Arman setuju dengan bersyarat. Pria itu minta dibelikan sebuah mobil. Lusi pun mengabulkan keinginan Arman. Dia membelikan laki-laki itu mobil Pajero putih yang beberapa waktu lalu diserempet oleh Haris. Hubungan Arman dan Lusi benar-benar tidak tercium oleh Haris. Karena Lusi cukup rapi menyembunyikannya. Dia selalu memberikan uang cash pada Arman. Begitu juga untuk uang cicilan mobilnya Arman. Tepat setahun menikah, akhirnya Lusi hamil kembali. Dan itu anaknya Haris yang bernama Alsaki. Perempuan itu kembali berhubungan deng
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar