"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Mas, tahu gak bedanya kamu dengan jam dua belas?"Kening Haris berkerut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Lusi. Wanita yang baru dinikahinya dua puluh bulan lalu. "Tau gak, Mas?" tanya perempuan berusia dua puluh enam tahun itu dengan nada yang manja. "Eum apa, ya? Gak tau tuh," sahut pria yang usianya lebih tua empat belas tahun dari istrinya itu menggeleng. Wanita yang tengah hamil besar itu meringis centil. "Mau tahu jawabannya gak?""Iya dong," jawab Haris seraya menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Pria itu tengah menikmati nikmatnya makan malam bersama sang istri baru. Lagi Lusi meringis centil. "Jam dua belas itu kesiangan, kalo kamu kesayangan," tuturnya seraya mencubit pipi pria yang duduk di sampingnya. Haris terkekeh. Istri barunya memang selalu membuatnya senang. Berbeda dengan istri lamanya yang selalu sakit-sakitan. Baginya Miranti memang selalu merepotkan. "Ahhh kenapa aku mesti keingat dia terus?" gumam pria yang masih terlihat gagah tersebut. "
Abrina terus melangkah kendati tetesan air hujan perlahan menyirami tubuhnya. Angin yang bertiup membuat hawa menjadi dingin. Beruntung gadis itu mengenakan hoodie. Namun, tetap saja pakaian agak tebal itu tidak mampu mengusir rasa dingin. Malam disertai hujan membuat angkutan umum jarang yang lewat. Abrina sudah mulai merasa kedinginan. Gadis itu akhirnya berlari demi bisa menghindari tetesan hujan. Dirinya lantas memasuki sebuah minimarket yang buka dua puluh empat jam. Baju dan celana Abrina sebagian basah. Wajar jika kini dia mulai kedinginan. Gadis itu ingin membeli satu cup kopi panas untuk menghangatkan tubuh seperti yang lain. Namun, saat merogoh kantung celana jeansnya, niat itu ia urungkan. "Ck! Tinggal seratus ribu doang," keluh Abrina nelangsa. Pasalnya gadis itu sudah tidak punya tabungan lagi. Begitu juga dengan sang ibu. Karena sewaktu ke luar dari rumah Haris, perempuan itu tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Terlebih Miranti memang tidak mendapatkan haknya. Saa
Pemuda yang mukanya sedikit basah itu melangkah mendekati ranjangnya Abrina. Bibirnya mengembangkan senyuman yang lembut. Lesung pipit kian menambah kesan manis. "Bagaimana kondisi kamu, Dek?" Pemuda itu mengulangi pertanyaannya. "Eum, aku ... tubuh aku sakit semua," balas Abrina lemah. Pemuda di hadapan menipiskan bibir mendengar kejujuran Abrina. "Kamu pingsan semalaman," tuturnya tenang. Abrina terdiam. Gadis itu menunduk. Tiba-tiba saja dia menyadari pakaiannya telah berganti dari hoodie dan celana jeans menjadi piyama. "Tadinya saya mau menghubungi keluarga kamu, tapi setelah diperiksa kamu tidak membawa identitas." Pemuda itu berbicara lagi. "Tentu saja, umurku kan belum genap tujuh belas tahun. Jadi belum punya KTP," sahut Abrina. Namun, hal itu hanya terucap di hati. "Kamu juga tidak membawa hape, jadinya saya dan supir saya Pak Min bingung harus menghubungi siapa," lanjut pemuda itu dengan serius. Abrina menghela napas. Rasa sesak kembali menyergap dada. Tiga bulan pa
"Lusiii!" Haris berteriak di tepi pintu. Sayang hingar bingar musik membuat suaranya tenggelam. Pria itu menarik napas untuk meredam gejolak amarah. Dia melangkah menuju keberadaan sang istri yang masih meliuk bersama seorang pemuda yang tidak jelas wajahnya. Maklum pemuda tinggi itu berdiri membelakangi Haris. "Lusiii!" bentak Haris seraya menarik tangan sang istri yang sedang diangkat ke atas. "Eh Mas Haris sudah pulang?" sahut Lusi begitu melihat wajah sang suami yang marah. "Kamu apa-apaan buat acara beginian, hah?" tegur Haris dengan suara yang keras. Lusi tersenyum. Wanita yang hari itu mengenakan dress tanpa lengan menghadap ke tempat meja DJ. Dengan kedipan matanya dia memberi kode agar musik dimatikan. Pria di meja DJ itu pun mengangguk paham. Tidak sampai satu menit, hingar bingar musik pun berhenti. Beberapa orang yang tidak sadar dengan kedatangan Haris sontak mengeluh. Namun, begitu tahu si pemilik rumah sudah pulang mereka pun terdiam maklum. Kebanyakan yang datan
"Bina, bangun, Bina!"Suara lembut mengalun di telinga Abrina. Sayangnya gadis itu masih saja terlelap. Sepertinya itu efek dari obat yang diminumnya usai makan siang. "Bina, bangun, Bin!" Gadis berwajah manis itu menepuk-nepuk pipi Abrina. Namun, mata Abrina tidak juga lekas terbuka. Sehingga dirinya terpaksa mengguncang tubuh sang kawan. Merasakan guncangan perlahan Abrina membuka mata. Sesosok gadis manis langsung melemparkan senyum manis untuknya. "A-Anggini?" sapa Abrina seraya mengerjapkan mata. Anggini tersenyum lembut. Gadis itu memang cukup peduli dan perhatian pada temannya. Tanpa diminta tolong Anggini lekas membantu abrina yang kesusahan untuk bangun dari tidurnya. Dirinya juga memasangkan bantal pada sandaran brangkarnya Abrina. "Kamu sudah lama di sini?" tanya Abrina dengan suara yang agak parau. Maklum gadis itu terlelap cukup lama. Dari habis makan siang sampai jam tiga sore ini. Hampir tiga jam sendiri. "Gak baru juga lima belas menit," balas Anggini yang kemu
Sesungguhnya Abrina tidak sudi bersalaman dengan Livia yang ia ketahui sebagai adiknya Lusi. Namun, gadis itu tidak mau mengumbar masalah pribadinya di hadapan Gibran dan Gavin. Karena itulah dirinya lebih berpura-pura tidak mengenali Livia. Sama halnya dengan Livia. Gadis itu pun sebenarnya tahu jika remaja yang ada di hadapannya adalah anak dari suami kakaknya. Karena foto Abrina masih terpajang di ruang tamu Haris. Bahkan kemarin Haris cukup marah ke Lusi karena sudah lancang menyuruh Livia menempati kamar pribadinya Abrina. Sampai saat ini Haris masih berharap Abrina akan pulang. Kendati gadis itu sudah bersumpah untuk tidak lagi menginjakkan kakinya di rumah masa kecilnya. "Abrina." Abrina menyebut namanya dengan lirih. Dia yang enggan bersentuhan kulit dengan Livia hanya menempelkan telapak tangannya sebentar. "Gimana kamu sudah siap untuk pulang?" tanya Gibran usai Abrina dan Livia bersalaman. Abrina hanya mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba semangatnya menurun saat tahu
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar