Home / Romansa / SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI / 3. Pesta Di Rumah Haris

Share

3. Pesta Di Rumah Haris

Author: Yenika Koesrini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pemuda yang mukanya sedikit basah itu melangkah mendekati ranjangnya Abrina. Bibirnya mengembangkan senyuman yang lembut. Lesung pipit kian menambah kesan manis. 

 

"Bagaimana kondisi kamu, Dek?" Pemuda itu mengulangi pertanyaannya. 

 

"Eum, aku ... tubuh aku sakit semua," balas Abrina lemah. 

 

Pemuda di hadapan menipiskan bibir mendengar kejujuran Abrina. "Kamu pingsan semalaman," tuturnya tenang. 

 

Abrina terdiam. Gadis itu menunduk. Tiba-tiba saja dia menyadari pakaiannya telah berganti dari hoodie dan celana jeans menjadi piyama. 

 

"Tadinya saya mau menghubungi keluarga kamu, tapi setelah diperiksa kamu tidak membawa identitas." Pemuda itu berbicara lagi. 

 

"Tentu saja, umurku kan belum genap tujuh belas tahun. Jadi belum punya KTP," sahut Abrina. Namun, hal itu hanya terucap di hati. 

 

"Kamu juga tidak membawa hape, jadinya saya dan supir saya Pak Min bingung harus menghubungi siapa," lanjut pemuda itu dengan serius. 

 

Abrina menghela napas. Rasa sesak kembali menyergap dada. Tiga bulan pasca ke luar dari rumah sang ayah, dirinya terpaksa menganti iPhone-nya menjadi ponsel android biasa. Itu semua agar dia bisa membayar ongkos kendaraan. Karena letak rumah kontrakan cukup jauh dari sekolah. 

 

Mirisnya, tiga hari yang lalu Abrina terpaksa menjual ponselnya demi bisa membayar DP biaya perawatan ibunya. Kini uang hasil jualan ponsel tersebut tinggal sembilan puluh ribu. 

 

"Saya hanya menemukan ini." 

 

Pemuda itu berkata seraya mengeluarkan uang sembilan puluh ribu milik Abrina dari saku kemeja putihnya. Dia lantas menaruhnya di atas nakas. 

 

"Kamu sudah semalaman di rumah sakit ini. Saya takut orang tua kamu nyariin, jadi apa ada nomor keluarga kamu yang bisa dihubungi?" tanya pemuda berwajah tenang itu kemudian. 

 

"Eum ...." Abrina dilanda bimbang. 

 

Saat ini tidak ada orang yang bisa dihubungi. Ibunya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Abrina tidak mau menghubunginya. Gadis itu tidak ingin menambah beban pikiran ibunya yang tengah sakit. 

 

"Ada gak, Dek?" tanya pemuda itu lagi. 

 

Abrina pun menggeleng pelan. 

 

"Gak ada?" Pemuda dengan hidung bangir itu menyipitkan mata, "maaf sebelumnya, apa kamu sudah gak punya orang tua?" tanyanya hati-hati. 

 

"Saya ada ibu, Kak," sahut Abrina pelan. 

 

"Bisa kakak minta nomor hapenya?" izin pemuda itu sopan. 

 

Abrina menatap pemuda itu lamat-lamat. "Sepertinya kakak ini orang baik," tebaknya dalam hati, "keknya gak ada salahnya kalo aku minta bantuan sama dia."

 

"Saat ini ibu aku lagi dirawat di rumah sakit, Kak," tutur Abrina kemudian. 

 

"Sakit apa?" tanya pemuda itu kalem. 

 

"Ibu aku kena demam berdarah." Abrina menunduk untuk menyembunyikan rasa sedihnya, "pengobatan ibu aku akan dihentikan jika aku gak bisa bayar biaya perawatannya, Kak. Dan gak ada orang yang bisa aku mintai bantuan." Air mata gadis itu menitik saat bercerita. 

 

"Memang di rumah sakit mana Ibu kamu dirawat?" tanya pemuda itu lagi. 

 

"Di rumah sakit Ibunda."

 

"Sebagai permintaan maaf karena sopir kakak udah menabrak kamu, kakak akan bantu seluruh biaya perawatan ibu kamu."

 

Abrina langsung menatap pemuda teduh nan menawan itu dengan hati yang terharu. "Te-terima kasih banyak, Kak," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. 

 

Tiba-tiba Abrina lekas bangun dari rebahannya. Namun, dia kembali mendesis saat merasakan sakit. Beruntung pemuda itu cukup perhatian. Dia langsung membantu Abrina untuk duduk dan memasang bantal untuk sandaran gadis itu. 

 

"Nama saya Abrina." Tanpa ragu gadis itu mengulurkan tangan. "Saya janji, kalo saya ada uang saya akan ganti seluruh uang yang nanti akan kakak keluarkan."

 

"Kamu bisa panggil kakak dengan nama Kak Gibran," balas pemuda itu seraya menjabat tangan Abrina. Cuma sebentar karena dia langsung menarik uluran tangannya. "Seperti yang sudah kakak bilang, kakak akan biayain perawatan ibu kami sebagai permintaan maaf. Jadi gak perlu kamu ganti."

 

"Tapi, Kak--"

 

"Sudah gak perlu dipikirkan, sekarang katakan siapa nama Ibu kamu dan dirawat di kamar apa?"

 

"Ibu aku namanya Miranti. Saat ini Ibu dirawat di kamar Anggrek."

 

"Oke, akan saya ingat-ingat," sahut Gibran sambil manggut-manggut. 

 

Ketika dia akan berbicara lagi, pintu kamar terbuka. Masuk seorang dokter dengan perawat. Keduanya melemparkan senyum ramah pada Gibran dan juga Abrina. 

 

Setelah berbincang sebentar dokter pun mulai memeriksa Abrina. Pria berkaca mata itu memeriksa denyut jantung, tensi darah, dan juga luka Abrina. Di belakang sang perawat mencatat obat apa saja yang dokter itu sampaikan. 

 

Tidak sampai sepuluh menit kedua petugas medis itu pun pamit undur diri. Mereka akan melanjutkan tugasnya untuk memeriksa pasien di kamar yang lain. Lima menit dari kepergian keduanya, datang petugas mengantarkan sarapan untuk Abrina. 

 

"Sini kakak suapi," ujar Gibran saat mengambil rangsum tersebut. 

 

"Gak usah Kak, aku bisa makan sendiri," tolak Abrina canggung. 

 

"Gak papa," sahut Gibran tenang. Dia dengan santainya duduk di tepi ranjangnya Abrina. "Kakak tahu tangan kamu masih sakit saat digerakan."

 

Abrina diam tidak bisa lagi mengelak. 

 

"Ayuk, aaa!"

 

Mau tidak mau Abrina pun membuka mulut. Meski kikuk dirinya perlahan mengunyah nasi berkuah sup tersebut. Karena sejujurnya perutnya pun memang sudah sangat kelaparan. Maklum dia belum makan lagi dari siang kemarin. 

 

Pada suapan keempat pintu kamar terbuka lagi. Seorang pria paruh baya masuk dengan membawa dua tas kertas di tangan. Abrina ingat jika laki-laki itu adalah sopirnya Gibran. 

 

"Mas Gibran ini saya bawakan baju ganti," ujar pria dengan rambut yang mulai memutih itu sembari menaruh tas-tasnya di meja set sofa. Gibran memang sengaja memilihkan kamar VIP untuk Abrina. 

 

"Terima kasih." Gibran langsung bangkit, "Pak Min tolong suapi Abrina," suruhnya seraya menyerahkan piring stainless yang ia pegang pada sang sopir. 

 

Setelah itu dirinya mengambil salah satu tas tersebut. Gibran pun kembali masuk ke kamar mandi untuk berganti baju. Karena dia sudah mandi saat Abrina masih terlelap. 

 

"Mas Gibran yang jaga kamu semalaman, Neng," ujar Pak Min memberi tahu. Si depannya Abrina menanggapinya dengan senyuman kecil. 

 

"Kalo boleh tahu Kak Gibran kuliah atau sudah bekerja, Pak?" tanya Abrina memberanikan diri. 

 

Pak Min tersenyum. "Dia sudah bekerja. Masih muda begitu Mas Gibran sudah punya usaha sendiri. Punya gerai ayam geprek dan tempat karaoke."

 

Abrina mengangguk. Mendadak ada rasa kagum pada pemuda yang ia sangka masih kuliah itu. 

 

Ketika Pak Min akan berbicara lagi Gibran sudah keluar dari dalam kamar mandi. Pemuda itu terlihat lebih segar dengan kemeja putih bersih dan celana slim fit hitam. 

 

"Pak Min, mana kunci mobilnya? Biar saya bawa mobil sendiri. Pak Minta di sini saja jaga Abrina," pinta Gibran begitu mendekat. 

 

"Gak usah, Kak," cegah Abrina cepat, "saya biar dijaga sama suster aja di sini."

 

"Beneran kamu sendirian gak papa?" tanya Gibran memastikan. 

 

"Gak papa," sahut Abrina pelan, "kalo boleh saya pinjam hapenya buat hubungi teman saya," pintanya sedikit malu. 

 

Tanpa banyak bicara, Gibran merogoh celananya. Dia lantas menyodorkan ponsel berlogo apel kegigit pada Abrina. 

 

Abrina pun lekas menghubungi nomornya Anggini. Beruntung sang kawan lansung menerima panggilan darinya. Tidak mau berlama-lama, Abrina lekas menceritakan kondisinya. Gadis itu meminta sang kawan untuk menjenguk usai pulang sekolah. 

 

"Terima kasih," ucap Abrina begitu mengembalikan ponsel pada sang pemilik. 

 

"Yakin kamu gak papa sendirian?" tanya Gibran sebelum beranjak pergi. 

 

"Iya, gak papa."

 

"Ya sudah kami pergi dulu, ya. Kalo kamu butuh apa-apa, pencet saja tombol call nurse itu," suruh Gibran seraya menunjuk tombol di atas headboard kasur Abrina. 

 

"Iya."

 

Gibran menipiskan bibir. Dia lantas melangkah pergi diikuti oleh Pak Min. Abrina sendiri menatap kepergian mereka dengan hati yang terharu. 

 

"Terima kasih banyak ya Allah, Engkau telah menurunkan dewa penolong untuk aku," ucapnya seraya menengadahkan tangan. 

 

***

 

Sementara itu semenjak kedatangan Abrina, hati Haris menjadi gelisah. Tidak dapat dipungkiri pria itu sangat menyayangi sang putri. Di palung terdalam hatinya pun merasa iba mendengar kabar sang mantan istri. 

 

Namun, apalah daya. Saat ini Haris tengah dibutakan oleh cintanya Lusi. Terlebih wanita itu tengah mengandung darah dagingnya yang berjenis kelamin laki-laki. Putra yang sangat ia nanti-nanti. 

 

Seharian Haris tidak semangat bekerja. Pria itu memutuskan untuk pulang cepat dari kantornya. Sepanjang perjalanan pikirannya terus tertuju pada Abrina dan Miranti. 

 

Hingga tidak terasa sampailah Haris di rumahnya. Pria baru sadar dari renungannya saat diberi tahu oleh sang sopir. Ketika turun dari mobil, kening Haris dibuat berkerut. Pasalnya dia mendengar dentuman musik yang cukup keras dari dalam rumah. 

 

Tanpa berpikir panjang, pria itu lekas memasuki rumah. Haris dibuat terkejut saat mendapati ada banyak orang yang tengah bergoyang mengikuti alunan musik. Mata Haris dibuat terbelalak melihat sang istri yang tengah hamil besar tanpak tengah bergoyang bersama seorang pemuda. 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mat Yudi
mantap sangat bijak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   4. Rencana Lusi

    "Lusiii!" Haris berteriak di tepi pintu. Sayang hingar bingar musik membuat suaranya tenggelam. Pria itu menarik napas untuk meredam gejolak amarah. Dia melangkah menuju keberadaan sang istri yang masih meliuk bersama seorang pemuda yang tidak jelas wajahnya. Maklum pemuda tinggi itu berdiri membelakangi Haris. "Lusiii!" bentak Haris seraya menarik tangan sang istri yang sedang diangkat ke atas. "Eh Mas Haris sudah pulang?" sahut Lusi begitu melihat wajah sang suami yang marah. "Kamu apa-apaan buat acara beginian, hah?" tegur Haris dengan suara yang keras. Lusi tersenyum. Wanita yang hari itu mengenakan dress tanpa lengan menghadap ke tempat meja DJ. Dengan kedipan matanya dia memberi kode agar musik dimatikan. Pria di meja DJ itu pun mengangguk paham. Tidak sampai satu menit, hingar bingar musik pun berhenti. Beberapa orang yang tidak sadar dengan kedatangan Haris sontak mengeluh. Namun, begitu tahu si pemilik rumah sudah pulang mereka pun terdiam maklum. Kebanyakan yang datan

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   5. Adiknya Lusi

    "Bina, bangun, Bina!"Suara lembut mengalun di telinga Abrina. Sayangnya gadis itu masih saja terlelap. Sepertinya itu efek dari obat yang diminumnya usai makan siang. "Bina, bangun, Bin!" Gadis berwajah manis itu menepuk-nepuk pipi Abrina. Namun, mata Abrina tidak juga lekas terbuka. Sehingga dirinya terpaksa mengguncang tubuh sang kawan. Merasakan guncangan perlahan Abrina membuka mata. Sesosok gadis manis langsung melemparkan senyum manis untuknya. "A-Anggini?" sapa Abrina seraya mengerjapkan mata. Anggini tersenyum lembut. Gadis itu memang cukup peduli dan perhatian pada temannya. Tanpa diminta tolong Anggini lekas membantu abrina yang kesusahan untuk bangun dari tidurnya. Dirinya juga memasangkan bantal pada sandaran brangkarnya Abrina. "Kamu sudah lama di sini?" tanya Abrina dengan suara yang agak parau. Maklum gadis itu terlelap cukup lama. Dari habis makan siang sampai jam tiga sore ini. Hampir tiga jam sendiri. "Gak baru juga lima belas menit," balas Anggini yang kemu

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   6. Pertemuan Miranti dan Haris

    Sesungguhnya Abrina tidak sudi bersalaman dengan Livia yang ia ketahui sebagai adiknya Lusi. Namun, gadis itu tidak mau mengumbar masalah pribadinya di hadapan Gibran dan Gavin. Karena itulah dirinya lebih berpura-pura tidak mengenali Livia. Sama halnya dengan Livia. Gadis itu pun sebenarnya tahu jika remaja yang ada di hadapannya adalah anak dari suami kakaknya. Karena foto Abrina masih terpajang di ruang tamu Haris. Bahkan kemarin Haris cukup marah ke Lusi karena sudah lancang menyuruh Livia menempati kamar pribadinya Abrina. Sampai saat ini Haris masih berharap Abrina akan pulang. Kendati gadis itu sudah bersumpah untuk tidak lagi menginjakkan kakinya di rumah masa kecilnya. "Abrina." Abrina menyebut namanya dengan lirih. Dia yang enggan bersentuhan kulit dengan Livia hanya menempelkan telapak tangannya sebentar. "Gimana kamu sudah siap untuk pulang?" tanya Gibran usai Abrina dan Livia bersalaman. Abrina hanya mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba semangatnya menurun saat tahu

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   7. Kenangan Miranti

    "Gak usah fitnah, ya!" Melihat ibunya diberlakukan tidak adil, Abrina maju sebagai garda terdepan. "Jelas-jelas kamu yang sengaja menabrak mamahku, pake fitnah orang segala," ujarnya dengan mata yang menatap tajam pada Lusi. "Aduh pusing deh kepalaku kalo harus berhubungan dengan anak pembangkang," keluh Lusi sambil memijit pelipis. Dia sengaja memamerkan cincin berlian di jari manis dan gelang emas yang menghiasi lengannya. "Lihat ibunya jatuh bukannya ditolong malah menyalahkan orang lain," sindirnya dengan senyum yang mengejek. Abrina lekas berpaling pada sang ibu. Tangannya terulur untuk membantu Miranti berdiri. "Ayo, Bi, kita pulang saja," ajak Miranti tanpa mau menatap wajah Haris dan juga Lusi. Bukan karena dia takut sama mereka. Namun, dia tidak mau luka hatinya yang mulai mengering kembali terusik jika melihat wajah mereka. Masih ingat betul betapa kedua orang itu cukup menyakiti hatinya. "Gak, Mah, aku gak mau pergi sebelum perempuan ini minta maaf sama Mamah karena ud

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   8. (Dulu) Lusi Si Gembel

    Dua tahun yang lalu. Siang itu Miranti tengah sibuk membuat menu makan malam. Dia berkutat di dapur dibantu oleh Bi Sarti. Meski mempunyai tenaga asisten rumah tangga, tapi perempuan itu lebih suka membuat menu makanan sendiri. Terlebih anak dan suaminya memang menyukai masakan olahannya. Bahkan setiap jam makan siang, Miranti akan selalu mengunjungi kantor Haris untuk mengantarkan makanan. Sang suami lebih suka makan makanan buatan sang istri ketimbang jajan di luar. Selain lebih hemat juga lebih higienis tentunya. Haris sendiri adalah seorang pengusaha ayam pedaging. Dia memperternak ribuan ayam pedaging. Lalu menyalurkannya ke resto-resto yang mengolah daging ayam seperti gerai ayam geprek, ayam bakar, ayam penyet dan lain sebagainya. "Aduuuh!" Miranti yang tengah menumis sayur tiba-tiba mengeluh. Bi Sarti yang tengah mengupas bumbu langsung menoleh. "Ibu kenapa?" tanyanya peduli. Miranti tidak langsung menyahut. Perempuan itu hanya meringis sembari meremas perutnya yang tera

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   9. Iri Hati

    "Pekerjaan?" Alis Miranti bertemu. "Benar, Bu, saya sangat butuh pekerjaan," balas Lusi langsung memasang wajah yang menghiba, "saya adalah tulang punggung untuk adik-adik saya," tuturnya terus berlagak sedih. "Orang tua saya sudah gak ada dan saya yang harus menghidupi biaya kedua adik saya," lanjut gadis itu sambil memohon. Untuk menarik simpati Miranti, Lusi berpura-pura menangis. "Saat ini saya sedang butuh uang yang cukup banyak untuk biaya wisuda adik perempuan saya. Belum lagi adik laki-laki saya yang bungsu juga sebentar lagi akan masuk SMA. Pastinya saya memerlukan banyak uang untuk biaya pendaftarannya," bebernya sambil terisak. Miranti yang berhati lembut iba mendengarnya. "Saya ini cuma seorang ibu rumah tangga yang lebih bisa ngasih solusi apa-apa buat kamu," ungkapnya jujur. Mendengar penuturan Miranti, Lusi mengeraskan isak tangisnya. Membuat Miranti, Abrina, dan Pak Nono tidak tega melihatnya. "Begini Mbak ....""Nama saya Lusi." Tangan Lusi langsung terulur. "A

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   10. Lomba Menyanyi

    Sudah lebih dari tiga minggu pasca jatuhnya Miranti dari tangga. Perempuan itu masih belum mampu berjalan. Sehari-harinya hanya bisa duduk di kursi roda. Miranti sendiri tidak hanya patah tulang. Menurut dokter yang menangani perempuan itu juga mengalami trauma pada tulang belakangnya. Makanya perlu waktu lama untuk sembuh. Di lain pihak Lusi yang jahat justru menganti obat-obatan yang dokter berikan dengan vitamin biasa. Hal tersebut kian memperparah kondisi Miranti. Sehingga sakit wanita itu tidak kunjung sembuh. "Mah, Pah, aku ditunjuk sama wali kelasuntuk mewakili sekolah pada perlombaan tarik suara," ujar Abrina suatu malam saat sedang makan bersama.Haris dan Miranti sontak saling melempar pandang. Keduanya tampak begitu senang mendengarnya. "Oh ya?" sahut keduanya pun serempak. "Iya nih, lomba nyanyi tingkat nasional. Karena pesertanya dari beberapa sekolah SMP di Indonesia," tutur Abrina semringah. "Wahhh selamat ya, Sayang," ucap Miranti seraya mengelus rambut panjang

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   11. Kegundahan Hati Abrina

    Abrina menatap lekat banner di hadapannya. Gadis itu tentu tergiur dengan hadiah yang ditawarkan. Untuk saat ini uang sepuluh juta tentu sangat berarti untuk kehidupannya bersama sang Ibu.Belum lagi salah satu jurinya adalah seorang produser musik. Jadi besar kemungkinan jika pemenangnya bisa ditawari masuk ke dapur rekaman. Lalu masuk ke industri musik dan menjadi penyanyi profesional seperti impian Abrina selama ini."Tapi, Mah, biaya pendaftarannya lumayan mahal," keluh Abrina sedikit memanyunkan mulutnya, "lima ratus ribu sendiri.""Gak papa, Bina. Kan kalo kamu menang kans kamu meraih cita-cita menjadi penyanyi jadi terbuka lebar," sahut Miranti terus mendukung. "Lagian kamu kan habis dapat rezeki dari Gibran lima juta itu. Masih sisa banyak kok, Bi.""Benar sih, tapi uangnya mau buat bayar kontrakan rumah kita, Mah," tutur Abrina terus merasa dilema, "ingat kita sudah nunggak sampai tiga bulan, Mah."Miranti membingkai wajah sang putri. "Uangnya masih sisa banyak, Nak," tuturny

Latest chapter

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   127. Jadian

    Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   126. Akhir Hidup Arman

    "Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   125. Tidak Selamat

    "Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   124. Kena Tembak

    DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   123. Perjuangan Haris

    "Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   122. Uang Tebusan

    "Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   121. Tante Mona

    Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   120. Menculik Miranti

    Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   119. Rencana Arman

    "Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar

DMCA.com Protection Status