Abrina menatap lekat banner di hadapannya. Gadis itu tentu tergiur dengan hadiah yang ditawarkan. Untuk saat ini uang sepuluh juta tentu sangat berarti untuk kehidupannya bersama sang Ibu.Belum lagi salah satu jurinya adalah seorang produser musik. Jadi besar kemungkinan jika pemenangnya bisa ditawari masuk ke dapur rekaman. Lalu masuk ke industri musik dan menjadi penyanyi profesional seperti impian Abrina selama ini."Tapi, Mah, biaya pendaftarannya lumayan mahal," keluh Abrina sedikit memanyunkan mulutnya, "lima ratus ribu sendiri.""Gak papa, Bina. Kan kalo kamu menang kans kamu meraih cita-cita menjadi penyanyi jadi terbuka lebar," sahut Miranti terus mendukung. "Lagian kamu kan habis dapat rezeki dari Gibran lima juta itu. Masih sisa banyak kok, Bi.""Benar sih, tapi uangnya mau buat bayar kontrakan rumah kita, Mah," tutur Abrina terus merasa dilema, "ingat kita sudah nunggak sampai tiga bulan, Mah."Miranti membingkai wajah sang putri. "Uangnya masih sisa banyak, Nak," tuturny
Keesokan harinya Abrina memutuskan untuk mengikuti saran dari Anggini. Terlebih sang ibu juga mendukungnya. Gadis itu kembali berangkat ke sekolah.Kehadiran Abrina di sekolah diabaikan oleh teman-temannya. Karena memang dia tidak mempunyai banyak teman. Terlebih semenjak ibunya jatuh miskin kian membuatnya dijauhi kawan.Hanya Anggini yang tampak senang melihat kehadiran Abrina. Sama satu orang lagi. Dia tak lain dan tak bukan adalah Gavin.Pemuda yang memang sudah menaruh rasa pada Abrina dari semenjak satu kelas itu lekas mendekati bangku sang gadis. Seperti biasa dia diikuti oleh kedua anak buahnya.Sama satu pemuda lagi. Dilihat dari parasnya, Abrina merasa asing. Sepertinya cowok itu murid baru di sini."Masih ingat masuk sekolah lu?" sindir Gavin begitu mendekat. Dia yang usil lekas menarik ikatan rambut Abrina.Abrina yang enggan menanggapi Gavin hanya membuang muka."Oh iya kata Anggi lu mau pindah, ya? Kok gak jadi? Kangen berantem sama gue, ya?" ledek Gavin tampak percaya d
Pukul setengah dua siang bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak bersorak gembira. Mereka lekas membenahi mejanya dan bersiap pulang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Abrina dan juga Anggini. Keduanya berbenah lantas melangkah beriringan ke luar kelas. Kalau dulu Abrina masih ada kesibukan sehabis pulang sekolah yakni mengikuti les dan bimbel. Sekarang tidak. Gadis itu akan memilih langsung pulang. Seperti biasa naik bus sudah menjadi langganannya selama satu tahun ini. Berdesak-desakan di dalam bus sudah menjadi makanannya sehari-hari. Berbeda dengan Gavin dan gengnya. Seperti biasa pulang sekolah mereka gunakan untuk main basket, futsal, game, nonton, atau sekedar nongkrong di warung. Gavin anak brokenhome juga sama seperti Abrina. Pemuda itu sudah merasakan sakitnya perpisahan orang tuanya dari waktu SD. Abrina masih beruntung karena kedua orang tuanya merebutkan hak asuhnya. Gavin tidak. Orang tua Gavin dan Gibran sudah menikah dan punya keluarga masing-masing. Ibu mereka per
"Terima kasih." Abrina pun menerima cokelat tersebut. "Ayo makan biar kamu rileks," suruh Leon mempersilakan. "Waduh ada yang lagi nikung elu dari belakang nih, Vin," celetuk salah seorang kawannya Gavin begitu melihat perhatian Leon pada Abrina. Leon yang langsung peka dengan sindiran itu langsung tersenyum simpul. "Enggak lah, Jo. Gue mana mau nikung sahabat sendiri," elaknya santai. "Tadi nggak sengaja aja beli coklat dua batang. Satu udah dimakan, satu lagi gue kasih buat Abrina," kilahnya dusta. "Ya udah yuk aku ke belakang panggung, ya," pamit Abrina sembari mengunyah cokelat dari Leon. "Semangat ya, Bi, aku yakin kamu menang," support Anggini sambil mengepalkan tangannya ke atas. "Aamiin." Abrina menyahut. Gadis itu lantas meninggalkan teman-temannya. Abrina melangkah menuju backstage. Dirinya menghabiskan cokelat pemberian dari Leon, lantas membuang bungkusnya ke tempat sampah. Di belakang panggung Abrina berkumpul dengan peserta yang lain. Total ada lima belas peserta
"Argghhh!"Leon dan Lusi mengerang bersamaan. Leon sendiri harus merasakan sakit di kaki karena tertindih badan motor. Sementara Lusi yang membonceng terpental satu meter dari motor. "Sa-sakiiit!" erang Lusi dengan berlinang air mata. "To-tolooong!" teriak Leon meminta bantuan. Karena dia sendiri juga merasakan sakit yang luar biasa menimpa kakinya. Leon melihat ada beberapa warga yang bergerak mendekat. Mereka ada yang langsung mengangkat motor baru Leon dan segera mengevakuasi Pemuda tersebut. Ada juga yang menolong Lusi. Keduanya dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Tidak di tengah jalan seperti itu. Lusi dan Leon di bawah pohon tepi jalan. Salah Seorang warga yang menolong bekas menghubungi pihak ambulans. "Ya ampun kenapa di pahaku ada darah?" Lusi yang memang mengenakan midi dress cukup panik saat menyaksikan ada darah mengalir dari pangkal pahanya. "Oh tidak tidak! Bagaimana nasib anakku?" rengeknya ketakutan. "Sabar ya, Mbak, ambulans sedang dalam perjalanan ke sini,"
Tidak terasa mobil Haris telah memasuki parkiran rumah sakit. Pria itu lekas ke luar dari mobil usai menepikan kendaraannya dengan rapi. Langkahnya cukup terburu saat menuju ke rumah sakit. Hingga akhirnya tibalah Haris di depan ruang UGD. Pada bapak yang menunggu, dia mengenalkan diri sebagai suami dari Lusi. Sepuluh menit menunggu pintu ruangan pun terbuka. "Keluarga pasien yang bernama Ibu Lusi?" tanya seorang dokter pada Haris dan si bapak. "Iya, saya suaminya, Dok," balas Haris sigap lekas bangkit dari duduknya. "Mari ikut saya sebentar," ajak dokter perempuan itu ramah. Harus mengangguk. Laki-laki itu mengikuti langkah Bu dokter menuju ruang kerjanya. Dirinya duduk begitu dipersilahkan oleh si pemilik ruangan. "Begini Pak ....""Saya Haris, Dok," sahut Haris memperkenalkan diri. "Oke, Pak Haris. Kami butuh persetujuan dari Anda untuk melakukan tindakan." Dokter sudah memegang berkas."Memang apa yang terjadi dengan Haris, Dok?" tanya Haris kian khawatir. "Kondisi pasien
"Pak Haris!"Pak Nono dengan sigap menangkap tubuh sang bos. Sehingga Haris tidak sampai terjatuh ke lantai."Dok, bagaimana ini?" tanya Pak Nono sembari mendekap tubuh Haris."Sebentar, Pak." Perawat yang menyahut.Perempuan berseragam putih itu kembali memasuki ruang operasi. Tidak sampai lima menit dirinya ke luar dengan mendorong sebuah brankar. Tanpa disuruh Pak Nono dibantu suster menaikan badan Haris ke atas ranjang tersebut."Kita bawa ke ruang tempat adik Ibu Lusi dirawat yuk, Pak," ajak suster selanjutnya."Iya." Pak Nono pun mengangguk patuh.Pria itu ikut mendorong brankarnya Haris. Setelah menyusuri koridor tibalah mereka di sebuah kamar kelas VIP. Ketika masuk tampak ada Leon di ranjang. Pemuda itu terlihat tengah terlelap. Ada beberapa perban yang menghiasi wajah, tangan, dan kakinya.Setelah ditempatkan di samping ranjangnya Leon, perawat itu mulai menangani Haris. Suster tersebut menaruh kaki Haris pada sebuah bantal. Hal itu berguna untuk mengembalikan aliran darah k
"Eits tidak boleh!"Abrina pun langsung menghindar kala tangan Lusi hendak mengambil bayi dari dalam gendongannya."Abrina! Apa-apaan kamu?" Dalam mimpinya Lusi menghardik dengan geram.Abrina tersenyum miring. "Papah ninggalin Mamah karena fitnah kejam dari kamu. Dan aku akan membalas sakit hati Mamah dengan melemparkan dia ke sungai sana!" ancamnya serius."Abrina, jangan!" jerit Lusi ketakutan saat melihat Abrina mencengkeram bayinya di atas tembok pembatas jembatan. "Tolong jangan lakukan itu," mohonnya sedih."Gak usah memohon-mohon begitu!" sentak Abrina lantang. Suaranya yang menggelegar membuat anaknya Lusi menangis. "Ingat gak saat kamu menghasut papah untuk mengusir mamahku.""Iya, Bina, saya minta maaf--""Gak ada maaf," sela Abrina tegas, "dan sekarang lihatlah pembalasanku!"Gadis itu pun melempar bayi yang masih merah ke itu ke sungai sana."Tidaaak!" Lusi menjerit histeris."Bu Lusi ... Bu Lusi kenapa?"Lusi membuka matanya. Orang yang pertama kali dia lihat adalah sust
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar