"Argghhh!"Leon dan Lusi mengerang bersamaan. Leon sendiri harus merasakan sakit di kaki karena tertindih badan motor. Sementara Lusi yang membonceng terpental satu meter dari motor. "Sa-sakiiit!" erang Lusi dengan berlinang air mata. "To-tolooong!" teriak Leon meminta bantuan. Karena dia sendiri juga merasakan sakit yang luar biasa menimpa kakinya. Leon melihat ada beberapa warga yang bergerak mendekat. Mereka ada yang langsung mengangkat motor baru Leon dan segera mengevakuasi Pemuda tersebut. Ada juga yang menolong Lusi. Keduanya dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Tidak di tengah jalan seperti itu. Lusi dan Leon di bawah pohon tepi jalan. Salah Seorang warga yang menolong bekas menghubungi pihak ambulans. "Ya ampun kenapa di pahaku ada darah?" Lusi yang memang mengenakan midi dress cukup panik saat menyaksikan ada darah mengalir dari pangkal pahanya. "Oh tidak tidak! Bagaimana nasib anakku?" rengeknya ketakutan. "Sabar ya, Mbak, ambulans sedang dalam perjalanan ke sini,"
Tidak terasa mobil Haris telah memasuki parkiran rumah sakit. Pria itu lekas ke luar dari mobil usai menepikan kendaraannya dengan rapi. Langkahnya cukup terburu saat menuju ke rumah sakit. Hingga akhirnya tibalah Haris di depan ruang UGD. Pada bapak yang menunggu, dia mengenalkan diri sebagai suami dari Lusi. Sepuluh menit menunggu pintu ruangan pun terbuka. "Keluarga pasien yang bernama Ibu Lusi?" tanya seorang dokter pada Haris dan si bapak. "Iya, saya suaminya, Dok," balas Haris sigap lekas bangkit dari duduknya. "Mari ikut saya sebentar," ajak dokter perempuan itu ramah. Harus mengangguk. Laki-laki itu mengikuti langkah Bu dokter menuju ruang kerjanya. Dirinya duduk begitu dipersilahkan oleh si pemilik ruangan. "Begini Pak ....""Saya Haris, Dok," sahut Haris memperkenalkan diri. "Oke, Pak Haris. Kami butuh persetujuan dari Anda untuk melakukan tindakan." Dokter sudah memegang berkas."Memang apa yang terjadi dengan Haris, Dok?" tanya Haris kian khawatir. "Kondisi pasien
"Pak Haris!"Pak Nono dengan sigap menangkap tubuh sang bos. Sehingga Haris tidak sampai terjatuh ke lantai."Dok, bagaimana ini?" tanya Pak Nono sembari mendekap tubuh Haris."Sebentar, Pak." Perawat yang menyahut.Perempuan berseragam putih itu kembali memasuki ruang operasi. Tidak sampai lima menit dirinya ke luar dengan mendorong sebuah brankar. Tanpa disuruh Pak Nono dibantu suster menaikan badan Haris ke atas ranjang tersebut."Kita bawa ke ruang tempat adik Ibu Lusi dirawat yuk, Pak," ajak suster selanjutnya."Iya." Pak Nono pun mengangguk patuh.Pria itu ikut mendorong brankarnya Haris. Setelah menyusuri koridor tibalah mereka di sebuah kamar kelas VIP. Ketika masuk tampak ada Leon di ranjang. Pemuda itu terlihat tengah terlelap. Ada beberapa perban yang menghiasi wajah, tangan, dan kakinya.Setelah ditempatkan di samping ranjangnya Leon, perawat itu mulai menangani Haris. Suster tersebut menaruh kaki Haris pada sebuah bantal. Hal itu berguna untuk mengembalikan aliran darah k
"Eits tidak boleh!"Abrina pun langsung menghindar kala tangan Lusi hendak mengambil bayi dari dalam gendongannya."Abrina! Apa-apaan kamu?" Dalam mimpinya Lusi menghardik dengan geram.Abrina tersenyum miring. "Papah ninggalin Mamah karena fitnah kejam dari kamu. Dan aku akan membalas sakit hati Mamah dengan melemparkan dia ke sungai sana!" ancamnya serius."Abrina, jangan!" jerit Lusi ketakutan saat melihat Abrina mencengkeram bayinya di atas tembok pembatas jembatan. "Tolong jangan lakukan itu," mohonnya sedih."Gak usah memohon-mohon begitu!" sentak Abrina lantang. Suaranya yang menggelegar membuat anaknya Lusi menangis. "Ingat gak saat kamu menghasut papah untuk mengusir mamahku.""Iya, Bina, saya minta maaf--""Gak ada maaf," sela Abrina tegas, "dan sekarang lihatlah pembalasanku!"Gadis itu pun melempar bayi yang masih merah ke itu ke sungai sana."Tidaaak!" Lusi menjerit histeris."Bu Lusi ... Bu Lusi kenapa?"Lusi membuka matanya. Orang yang pertama kali dia lihat adalah sust
"Bi Sarti benar." Haris berbicara sendiri, "ini gak adil untuk Abrina. Dia juga anakku, sudah sepantasnya dia menikmati apa yang aku punya," gumamnya sadar diri. "Pak Nono!" panggil Haris kemudian. Pak Nono yang sedang mengobrol dengan istrinya cukup terkejut. Suami istri itu saling berpandangan. Keduanya takut akan mendapatkan teguran dari Haris. "Ayo ikut saya," ajak Haris kalem. Ketakutan di hati Pak Nono sirna melihat ekspresi Haris yang tenang. "Eh iya, Pak." Pria itu pun mengangguk. Haris mendahului langkah. Pak Nono pun membuntuti di belakang. Kedua laki-laki dewasa itu menaiki tangga. Mereka menuju lantai atas yang sepi dari orang. "Pak Nono, tolong ambil semua jenis makanan yang ada. Bawa dan kasih kan untuk Abrina," suruh Haris begitu tiba di lantai atas. Pak Nono tercekat. "Maksudnya?" tanyanya sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Tadi saya mendengar obrolan kalian," kata Haris jujur, "dan sebenarnya saya juga merasa cukup bersalah," ungkapnya sendu.
Miranti menatap uang tersebut penuh dilema. "Jujur saat ini saya memang sangat membutuhkan uang, Pak Nono. Tapi ini duit bukan hak saya, karena saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Mas Haris.""Tapi Bu Ranti kan ibunya Non Abrina.""Benar, sayangnya dia gak menerima dan saya gak berhak untuk memaksanya," jawab Miranti bijak. Pak Nono mendesah kecewa. "Baiklah kalo begitu saya permisi ya, Bu," pamitnya kemudian. "Kalo Mas Haris nanya kenapa Abrina gak mau menerima, bilang saja dia masih ngambek.""Iya, Bu."Miranti mengantar mantan sopirnya sampai ke depan. Wanita itu masuk ke rumah lagi setelah mobil Pak Nono hilang dari pandangan. Langkahnya langsung tertuju pada kamar Abrina. Gadis itu Tambak termenung dengan pandangan tertuju pada ke luar jendela. "Mamah gak pernah mengajari kamu untuk bersikap pendendam, Bina," ujar Miranti begitu duduk di samping putrinya. Abrina menoleh. "Selama ini aku selalu mematuhi nasihat Mamah, tapi plis untuk kali ini biarkan aku dengan jalanku,
"Gimana Abrina? Ada yang mau disampaikan pada Pak Gibran?" tanya Livia saat melihat Abrina justru termenung. "Nama kamu Abrina kan? Temannya Gavin?" tanyanya bersikap profesional. Abrina hanya mengangguk pelan. "Jadi apa yang mau kamu sampaikan pada Pak Gibran," ulang Livia. "Tidak ada." Kali ini Abrina menggeleng, "kalo begitu saya permisi," pamitnya kemudian. Gadis itu melangkah meninggalkan lobi kantornya Gibran. Abrina menyusuri jalan. Seperti biasa tangannya membawa kantong plastik berisi boks untuk donat jualannya. Meski hari ini jualannya habis, entah mengapa Abrina merasa tidak begitu bahagia. Gadis itu sedikit kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Gibran. Padahal dia sudah menggantungkan harapannya pada pemuda itu. Abrina ingin bekerja pada Gibran. Abrina menghentikan angkot yang melintas. Gadis itu menaiki kendaraan tersebut. Kebetulan sedikit sepi, sehingga dia masih kebagian tempat duduk. Hanya saja selama dalam perjalanan, pikiran Abrina melayang entah kemana. Ot
Semantara itu sobat kental Gavin yang bernama Eza tercengang melihat kelakuan Leon. Dia dan ketiga temannya lekas berlari menolong Abrina. "Bi, elu gak papa?" tanya Eza peduli. Abrina tidak menjawab. Gadis itu hanya bisa terisak sembari menatap donat-donatnya yang sudah kotor. "Leon emang sembarangan, maksudnya dia apa sih?" ujar Eza ikutan kesal. Sedangkan ketiga temannya memunguti donat-donatnya milik Abrina. "Nah itu Leon!" tunjuk teman Eza begitu melihat Leon ke luar dari arah toilet, "Leon!" panggilnya. Leon mendengar namanya dipandang. Namun, dia berpura-pura tidak mendengarnya. Pemuda itu menjauh tanpa mengindahkan panggilan itu. Namun Eza segera berlari mencegatnya. "Lu jadi orang jahat banget, ya!" kecamatan Eza gemas. "Udah nabrak Bina sampai jatuh dan barang dagangannya tumpah main selonong aja. "Boro-boro tanggung jawab bayar, minta maaf pun enggak.""Waduh gue gak sengaja, Za," dalih Leon cuek, "tadi gue lagi kebelet banget buang air.""Alah alesan!""Serius, Za," b
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar