Abrina menatap Eza. Gadis itu seolah ingin meminta masukan dari pemuda itu."Apa yang membuat elu ragu, Bi?" tanya Eza seakan bisa membaca isi pikiran Abrina.Tidak enak dengan sang manajer, Abrina berbisik, "pemandu lagu kan imejnya jelek, Za," tuturnya jujur.Eza menarik napas panjang. "Ingat tujuan awal kenapa elu mau mencari pekerjaan. Elu mau bantu mamah lu kan biar dia gak kerja lagi? Biar dia gak kecapean lagi?"Abrina mengangguk lemah."Udah lu gak usah denger apa kata orang, yang penting niat lu baik, Bi," pesan Eza serius, "lu kerja aja yang bener. Kumpulin gajian sama bonus yang lu dapat buat modal usaha Mamah lu. Kalau usaha rumah lu udah berkembang, lu bisa kok cabut dari sini."Abrina mencerna kalimat yang diucapkan oleh Eza. Pemuda itu ada benarnya. Semua tergantung pada niatnya. Dan niat Abrina adalah demi bisa mengurangi beban sang ibu."Baiklah aku mau," putus Abrina kemudian.Eza dan sang manager tersenyum senang mendengar keputusan Abrina.Abrina kembali menatap Pa
Bibir Lusi seketika terangkat."Keren kan kabar yang aku kasih?" tanya Leon bangga, "so aku minta bonus dari Mbak ya," pintanya sembari menaikan satu alis."Buat Abrina menderita di tempat kerjanya, baru akan Mbak kasih kamu hadiah," janji Lusi serius."Pajero ya, Mbak," pinta Leon sambil menyengir."Eh gak usah ngelunjak ya! Itu motor yang kemarin aja belum pernah kamu pakai ke sekolah."Leon bangkit dari duduknya. "Males ah pake motor, apalagi yang udah pernah masuk ke bengkel," tuturnya sambil lalu."Hu sombong!" kecam Lusi. Namun, hatinya masih berbunga mendengar kabar dari sang adik. "Okeh ... Mas Haris harus liat kalo anaknya bisa juga jadi nakal."Malam harinya Lusi mendekati suaminya yang tengah mengerjakan pekerjaannya yang belum rampung di kantor. Dia menggunakan bekas kamarnya bersama Miranti untuk tempat kerjanya.Awalnya Lusi bertanya basa-basi. Hingga akhirnya perempuan itu menanyakan tentang kerja sama antara Haris dengan Gibran."Belum ada kesepakatan. Kata Livi, Gibr
Abrina tercengang. Dia tidak menyangka jika tamu yang akan dia layani malam ini adalah Haris ayah kandungnya. Ada rasa sedih dan rindu yang menyergap jiwa. Sebagai anak yang dulu kerap disayang oleh sang ayah, ingin sekali Abrina memeluk tubuh pria yang duduk di sofa minimalis berwarna merah tersebut. Namun, bila teringat betapa laki-laki tersebut yang telah membuat ibunya sedih, rasa rindu berubah menjadi benci. Abrina memejam sekejap. Dia tengah meyakinkan diri jika laki-laki yang juga tengah memandangnya bukanlah orang yang pantas dihormati. Akhirnya gadis itu mengangkat sedikit dagunya. Abrina harus tampil percaya diri di depan Haris. Gadis itu lantas menyalami beberapa tamu yang notabene adalah teman bisnisnya Haris. Dia melempar senyum manis pada dua orang laki-laki yang usianya memang sepantar Haris. Sementara itu Harus masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Abrina putri baiknya yang selalu tampil sopan dan elegan kali ini tampak begitu menyentak hatinya. Di ruang
Pria itu sudah habis kesabaran melihat sang anak berjoget-joget di hadapannya bersama kawan-kawannya. Abrina sendiri lekas berhenti. Begitu juga dengan kedua temannya Haris. Haris bangun dan segera mendekati Abrina. "Cukup buat papah malu, Bina!" ujarnya dengan suara yang bergetar. Rasa marah dan sedih bermuara di dalam hatinya saat ini. "Hah?" Kedua teman Haris saling berpandangan karena heran. Begitu juga dengan Ira yang hanya bisa melongo bingung. "Beneran dia anak kamu?" cecar si kacamata tidak percaya. Haris mengabaikan pertanyaan temannya. Matanya terus memindai sang putri. "Ayo kita balik sekarang!" ajaknya lekas menarik lengan Abrina. "Tolong lepaskan tangan saya," pinta Abrina dengan tatapan datar. Bukannya melepas pegangan, Haris justru mencengkeram lengan Abrina. "Kamu menolak pemberian uang dari papah dan memilih pekerjaan hina seperti ini?" tanyanya dengan dada yang turun naik menahan gejolak emosi. "Maaf, ini pekerjaan halal. Anda tidak bisa merendahkan sesuka hat
Abrina melangkah menjauhi Haris dan Pak manajer. Gadis itu terburu menuju ruang ganti. Dibukanya loker tempat dia menyimpan barang-barang. Tanpa berpikir panjang, Abrina mengganti pakaian dinasnya dengan baju sopan yang ia bawa. "Lho, Bi, kamu mau ke mana?" tanya Ira begitu Abrina ke luar dari fitting room. Abrina hanya menggeleng. Gadis itu kembali membuka lokernya. Sedangkan Ira bergerak mendekati. "Bener tadi Om Haris itu Papahnya kamu?" tanya Ira cukup selidik. "Bukan," sahut Abrina usai mengunci pintu loker. "Kamu jangan bohong, Bi," ujar Ira ingin tahu. Abrina tidak menyahut. Gadis itu memilih pergi. "Kamu mau ke mana?" teriak Ira mengulang pertanyaan. Di depan pintu Abrina berhenti. "Bilangin ke Pak manajer aku pulang.""Tapi, Bi ...." Ira tidak meneruskan kata-katanya karena Abrina terburu meraih gagang pintu. Dirinya terus menderapkan langkah. Beberapa sapaan dari pelayan atau temannya hanya ia tanggapi dengan anggukan. Abrina terus melangkah hingga tiba di luar But
Sekali lagi Abrina dibuat terpana mendengarnya. "Kenapa Kak Gibran baik banget sama aku?" tanyanya begitu sang manajer berlalu. Gibran tersenyum. "Karena aku gak punya adik perempuan," jawabnya kalem. Seketika bunga-bunga yang beberapa menit lalu bermekaran di hati Abrina kembali kuncup. Namun, gadis itu berusaha mengabaikan perasaan kacaunya. Apalagi Gibran begitu perhatian padanya. Usai makan malam, pemuda itu mengajaknya bermain di Timezone. Abrina yang sudah lama tidak bermain tentu saja langsung setuju. Gadis itu begitu menikmati permainan. Beberapa kali dia dibuat cemberut tatkala Gibran berhasil mengalahkannya. "Gimana udah gak sedih lagi?" tanya Gibran begitu mereka selesai bertanding bola keranjang. Abrina mengangguk cepat. Tangannya mengibas-ibaskan tangan. Banyak bermain membuatnya gerah dan sedikit berkeringat. Gibran sendiri lekas merogoh kantong celananya. "Buat kamu," tuturnya seraya menyodorkan selembar sapu tangan berwarna krem. Sebagai seorang gadis lagi-lagi
Gavin dan Gibran baru saja sampai di tanah air kemarin malam. Satu hari beristirahat dirinya memutuskan untuk berangkat ke sekolah. Terlebih sudah mau dua minggu dirinya absen. Itu dikarenakan ibu dan adiknya yang beda ayah mengalami kecelakaan di Singapura. Keadaan keduanya cukup parah. Ibunya bahkan harus menjalani operasi. Karena mengalami trauma yang parah pada tulang belakangnya. Sehingga untuk saat ini ibunya Gavin belum bisa berjalan lagi. Itulah sebab Gibran dan Gavin tertahan lama di Singapura. Sebenarnya baik Gibran maupun Gavin sudah ingin pulang dari seminggu di sana. Gibran dengan segudang pekerjaan, sedangkan Gavin yang sangat merindukan teman-temannya. Terutama dia kangen ingin menjahili Abrina. Pagi ini Gavin bangun pagi. Dia sedang bersiap berangkat ke sekolah. Semenjak neneknya meninggal Gavin hanya hidup berdua saja dengan Gibran. Sayangnya sang kakak memutuskan untuk tinggal di apartemen yang letaknya dekat dengan kantornya. Saat ini Gavin hanya tinggal berdua
"Cukup!"Abrina dan Si kumis menoleh. Gavin menatap si kumis dengan emosi. Tanpa berpikir panjang dia langsung mengarahkan tinjuannya pada wajah pria tersebut. Mendapatkan dua tonjokan pada hidung dan mulut, bibir si kumis pecah mengeluarkan darah. Belum puas dengan tonjokannya, Gavin menendang perut si kumis. Cukup keras sehingga pria tersebut harus tersungkur karenanya. Gavin justru kembali melancarkan serangan. Dia menendang perut gendut laki-laki tersebut. Sehingga si kumis mesti mengerang merasakan sakit. Sementara beberapa pelayan yang melihat lekas turun untuk memanggil Pak manajer. "Jangan lagi lo gangguin ceweknya gue!" sentak Gavin seraya menarik lengan Abrina ke belakang tubuhnya. Pemuda itu kembali mendaratkan tendangan pada kaki si kumis. Setelah itu langsung menyeret Abrina pergi. Keduanya menuruni anak tangga dengan langkah yang cukup cepat. "Bina, ngapain lu ada di sini?" tanya Gavin begitu mereka ada di lantai bawah. "Ini ngapain juga pake celana sependek ini, k
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar