"Terima kasih." Abrina pun menerima cokelat tersebut. "Ayo makan biar kamu rileks," suruh Leon mempersilakan. "Waduh ada yang lagi nikung elu dari belakang nih, Vin," celetuk salah seorang kawannya Gavin begitu melihat perhatian Leon pada Abrina. Leon yang langsung peka dengan sindiran itu langsung tersenyum simpul. "Enggak lah, Jo. Gue mana mau nikung sahabat sendiri," elaknya santai. "Tadi nggak sengaja aja beli coklat dua batang. Satu udah dimakan, satu lagi gue kasih buat Abrina," kilahnya dusta. "Ya udah yuk aku ke belakang panggung, ya," pamit Abrina sembari mengunyah cokelat dari Leon. "Semangat ya, Bi, aku yakin kamu menang," support Anggini sambil mengepalkan tangannya ke atas. "Aamiin." Abrina menyahut. Gadis itu lantas meninggalkan teman-temannya. Abrina melangkah menuju backstage. Dirinya menghabiskan cokelat pemberian dari Leon, lantas membuang bungkusnya ke tempat sampah. Di belakang panggung Abrina berkumpul dengan peserta yang lain. Total ada lima belas peserta
"Argghhh!"Leon dan Lusi mengerang bersamaan. Leon sendiri harus merasakan sakit di kaki karena tertindih badan motor. Sementara Lusi yang membonceng terpental satu meter dari motor. "Sa-sakiiit!" erang Lusi dengan berlinang air mata. "To-tolooong!" teriak Leon meminta bantuan. Karena dia sendiri juga merasakan sakit yang luar biasa menimpa kakinya. Leon melihat ada beberapa warga yang bergerak mendekat. Mereka ada yang langsung mengangkat motor baru Leon dan segera mengevakuasi Pemuda tersebut. Ada juga yang menolong Lusi. Keduanya dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Tidak di tengah jalan seperti itu. Lusi dan Leon di bawah pohon tepi jalan. Salah Seorang warga yang menolong bekas menghubungi pihak ambulans. "Ya ampun kenapa di pahaku ada darah?" Lusi yang memang mengenakan midi dress cukup panik saat menyaksikan ada darah mengalir dari pangkal pahanya. "Oh tidak tidak! Bagaimana nasib anakku?" rengeknya ketakutan. "Sabar ya, Mbak, ambulans sedang dalam perjalanan ke sini,"
Tidak terasa mobil Haris telah memasuki parkiran rumah sakit. Pria itu lekas ke luar dari mobil usai menepikan kendaraannya dengan rapi. Langkahnya cukup terburu saat menuju ke rumah sakit. Hingga akhirnya tibalah Haris di depan ruang UGD. Pada bapak yang menunggu, dia mengenalkan diri sebagai suami dari Lusi. Sepuluh menit menunggu pintu ruangan pun terbuka. "Keluarga pasien yang bernama Ibu Lusi?" tanya seorang dokter pada Haris dan si bapak. "Iya, saya suaminya, Dok," balas Haris sigap lekas bangkit dari duduknya. "Mari ikut saya sebentar," ajak dokter perempuan itu ramah. Harus mengangguk. Laki-laki itu mengikuti langkah Bu dokter menuju ruang kerjanya. Dirinya duduk begitu dipersilahkan oleh si pemilik ruangan. "Begini Pak ....""Saya Haris, Dok," sahut Haris memperkenalkan diri. "Oke, Pak Haris. Kami butuh persetujuan dari Anda untuk melakukan tindakan." Dokter sudah memegang berkas."Memang apa yang terjadi dengan Haris, Dok?" tanya Haris kian khawatir. "Kondisi pasien
"Pak Haris!"Pak Nono dengan sigap menangkap tubuh sang bos. Sehingga Haris tidak sampai terjatuh ke lantai."Dok, bagaimana ini?" tanya Pak Nono sembari mendekap tubuh Haris."Sebentar, Pak." Perawat yang menyahut.Perempuan berseragam putih itu kembali memasuki ruang operasi. Tidak sampai lima menit dirinya ke luar dengan mendorong sebuah brankar. Tanpa disuruh Pak Nono dibantu suster menaikan badan Haris ke atas ranjang tersebut."Kita bawa ke ruang tempat adik Ibu Lusi dirawat yuk, Pak," ajak suster selanjutnya."Iya." Pak Nono pun mengangguk patuh.Pria itu ikut mendorong brankarnya Haris. Setelah menyusuri koridor tibalah mereka di sebuah kamar kelas VIP. Ketika masuk tampak ada Leon di ranjang. Pemuda itu terlihat tengah terlelap. Ada beberapa perban yang menghiasi wajah, tangan, dan kakinya.Setelah ditempatkan di samping ranjangnya Leon, perawat itu mulai menangani Haris. Suster tersebut menaruh kaki Haris pada sebuah bantal. Hal itu berguna untuk mengembalikan aliran darah k
"Eits tidak boleh!"Abrina pun langsung menghindar kala tangan Lusi hendak mengambil bayi dari dalam gendongannya."Abrina! Apa-apaan kamu?" Dalam mimpinya Lusi menghardik dengan geram.Abrina tersenyum miring. "Papah ninggalin Mamah karena fitnah kejam dari kamu. Dan aku akan membalas sakit hati Mamah dengan melemparkan dia ke sungai sana!" ancamnya serius."Abrina, jangan!" jerit Lusi ketakutan saat melihat Abrina mencengkeram bayinya di atas tembok pembatas jembatan. "Tolong jangan lakukan itu," mohonnya sedih."Gak usah memohon-mohon begitu!" sentak Abrina lantang. Suaranya yang menggelegar membuat anaknya Lusi menangis. "Ingat gak saat kamu menghasut papah untuk mengusir mamahku.""Iya, Bina, saya minta maaf--""Gak ada maaf," sela Abrina tegas, "dan sekarang lihatlah pembalasanku!"Gadis itu pun melempar bayi yang masih merah ke itu ke sungai sana."Tidaaak!" Lusi menjerit histeris."Bu Lusi ... Bu Lusi kenapa?"Lusi membuka matanya. Orang yang pertama kali dia lihat adalah sust
"Bi Sarti benar." Haris berbicara sendiri, "ini gak adil untuk Abrina. Dia juga anakku, sudah sepantasnya dia menikmati apa yang aku punya," gumamnya sadar diri. "Pak Nono!" panggil Haris kemudian. Pak Nono yang sedang mengobrol dengan istrinya cukup terkejut. Suami istri itu saling berpandangan. Keduanya takut akan mendapatkan teguran dari Haris. "Ayo ikut saya," ajak Haris kalem. Ketakutan di hati Pak Nono sirna melihat ekspresi Haris yang tenang. "Eh iya, Pak." Pria itu pun mengangguk. Haris mendahului langkah. Pak Nono pun membuntuti di belakang. Kedua laki-laki dewasa itu menaiki tangga. Mereka menuju lantai atas yang sepi dari orang. "Pak Nono, tolong ambil semua jenis makanan yang ada. Bawa dan kasih kan untuk Abrina," suruh Haris begitu tiba di lantai atas. Pak Nono tercekat. "Maksudnya?" tanyanya sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Tadi saya mendengar obrolan kalian," kata Haris jujur, "dan sebenarnya saya juga merasa cukup bersalah," ungkapnya sendu.
Miranti menatap uang tersebut penuh dilema. "Jujur saat ini saya memang sangat membutuhkan uang, Pak Nono. Tapi ini duit bukan hak saya, karena saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Mas Haris.""Tapi Bu Ranti kan ibunya Non Abrina.""Benar, sayangnya dia gak menerima dan saya gak berhak untuk memaksanya," jawab Miranti bijak. Pak Nono mendesah kecewa. "Baiklah kalo begitu saya permisi ya, Bu," pamitnya kemudian. "Kalo Mas Haris nanya kenapa Abrina gak mau menerima, bilang saja dia masih ngambek.""Iya, Bu."Miranti mengantar mantan sopirnya sampai ke depan. Wanita itu masuk ke rumah lagi setelah mobil Pak Nono hilang dari pandangan. Langkahnya langsung tertuju pada kamar Abrina. Gadis itu Tambak termenung dengan pandangan tertuju pada ke luar jendela. "Mamah gak pernah mengajari kamu untuk bersikap pendendam, Bina," ujar Miranti begitu duduk di samping putrinya. Abrina menoleh. "Selama ini aku selalu mematuhi nasihat Mamah, tapi plis untuk kali ini biarkan aku dengan jalanku,
"Gimana Abrina? Ada yang mau disampaikan pada Pak Gibran?" tanya Livia saat melihat Abrina justru termenung. "Nama kamu Abrina kan? Temannya Gavin?" tanyanya bersikap profesional. Abrina hanya mengangguk pelan. "Jadi apa yang mau kamu sampaikan pada Pak Gibran," ulang Livia. "Tidak ada." Kali ini Abrina menggeleng, "kalo begitu saya permisi," pamitnya kemudian. Gadis itu melangkah meninggalkan lobi kantornya Gibran. Abrina menyusuri jalan. Seperti biasa tangannya membawa kantong plastik berisi boks untuk donat jualannya. Meski hari ini jualannya habis, entah mengapa Abrina merasa tidak begitu bahagia. Gadis itu sedikit kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Gibran. Padahal dia sudah menggantungkan harapannya pada pemuda itu. Abrina ingin bekerja pada Gibran. Abrina menghentikan angkot yang melintas. Gadis itu menaiki kendaraan tersebut. Kebetulan sedikit sepi, sehingga dia masih kebagian tempat duduk. Hanya saja selama dalam perjalanan, pikiran Abrina melayang entah kemana. Ot