Share

5. Adiknya Lusi

Author: Yenika Koesrini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Bina, bangun, Bina!"

 

Suara lembut mengalun di telinga Abrina. Sayangnya gadis itu masih saja terlelap. Sepertinya itu efek dari obat yang diminumnya usai makan siang. 

 

"Bina, bangun, Bin!" 

 

Gadis berwajah manis itu menepuk-nepuk pipi Abrina. Namun, mata Abrina tidak juga lekas terbuka. Sehingga dirinya terpaksa mengguncang tubuh sang kawan. 

 

Merasakan guncangan perlahan Abrina membuka mata. Sesosok gadis manis langsung melemparkan senyum manis untuknya. 

 

"A-Anggini?" sapa Abrina seraya mengerjapkan mata. 

 

Anggini tersenyum lembut. Gadis itu memang cukup peduli dan perhatian pada temannya. Tanpa diminta tolong Anggini lekas membantu abrina yang kesusahan untuk bangun dari tidurnya. Dirinya juga memasangkan bantal pada sandaran brangkarnya Abrina. 

 

"Kamu sudah lama di sini?" tanya Abrina dengan suara yang agak parau. 

 

Maklum gadis itu terlelap cukup lama. Dari habis makan siang sampai jam tiga sore ini. Hampir tiga jam sendiri. 

 

"Gak baru juga lima belas menit," balas Anggini yang kemudian duduk santai di tepi ranjang, "tadi aku nonton TV, tapi gak ada acara yang bagus. Karena bosan makanya aku bangunin kamu, maaf ya udah ganggu tidur kamu," ucapnya kemudian. 

 

Abrina tersenyum simpul. "Nggak apa-apa, aku justru berterima kasih kamu udah mau dateng ke sini."

 

"Kita kan sahabat," balas Anggini manis. Bahkan dia langsung merengkuh Abrina ke dalam pelukannya. Hal tersebut membuat hati Abrina menjadi hangat. 

 

"Kamu sudah mau satu minggu nggak masuk sekolah," ujar Anggini begitu melepas pelukan,  "udah gitu empat hari ini, nomor kamu nggak bisa dihubungi, makanya aku khawatir banget sama kamu, Bi," lanjutnya serius. 

 

Abrina menghela napasnya dalam-dalam. "Hape aku udah dijual dari empat hari yang lalu," tuturnya sedih. 

 

"Oh pantesan," sahut Anggini iba, "buat biaya sakitnya ibu kamu, ya?"

 

Abrina mengangguk lemah. 

 

"Terus tadi pagi kamu hubungi nomor aku pake hapenya siapa?" tanya Anggini ingin tahu. 

 

Abrina menatap Anggini lekat. Hanya dialah sahabat terbaiknya. Jadi tidak ada salahnya dirinya bercerita tentang masalah yang tengah di hadapi pada sang kawan. 

 

Maka bertuturlah Abrina mengenai sakit ibunya. Permasalahannya dengan sang ayah kemarin. Serta ide nakalnya dengan berpura-pura menabrakkan diri ke mobil Gibran demi bisa mendapatkan bantuan. 

 

"Astaga, Bina. Kamu sampai nekat begini," sahut Anggini tidak habis pikir, "terus kondisi kamu bagaimana?" tanyanya cukup khawatir. 

 

Bibir Abrina menipis. "Alhamdulillah cuma lecet-lecet biasa. Kata dokter besok sudah boleh pulang."

 

"Syukurlah kalau begitu." Anggini bernapas lega, "terus bagaimana dengan orang yang nabrak kamu?"

 

"Bukan nabrak, tapi aku yang sengaja menabrakkan diri," ralat Abrina sembari tersenyum. 

 

"Ya apapun itu, bagaimana perlakuan orang itu?"

 

"Alhamdulillah orangnya baik banget, Nggi," jawab Abrina dengan raut bahagia, "lihat aku dipilihkan kamar VIP ini. Kak Gibran juga berjanji akan membiayai perawatan Ibu aku."

 

"Kak Gibran?" Mata Anggini menyipit. 

 

"Iya, orang yang mobilnya aku tabrak," sahut Abrina dengan cengiran, "dia orangnya baik dan juga ganteng." Saat memuji pipi Abrina terlihat merona. 

 

"Tapi, entah kenapa aku merasa kayak pernah ketemu sebelumnya dengan Kak Gibran ini," lanjutnya serius. 

 

Anggini menanggapi dengan senyuman. "Emang benar sih di mana-mana yang namanya Gibran pasti orangnya baik dan juga ganteng," ujarnya masih terus tersenyum,  "aku juga punya kenalan seorang yang namanya Gibran. Orangnya juga baik dan ganteng."

 

Abrina dan Anggini saling berpandangan. Tanpa aba-aba mereka tergelak. Kedua remaja itu pun saling berpelukan. 

 

Abrina melepas pelukan saat melihat pintu kamar terbuka. Sosok Gibran muncul diikuti oleh Pak Min. Herannya Anggini justru terlihat syok melihat siapa yang datang. 

 

"Eh ada Anggi," sapa Pak Min di belakang Gibran. 

 

"Jadi kamu ya temannya Abrina?" tanya Gibran dengan tenang. 

 

"Eh iya, Kak," sahut Anggini dengan wajah yang semringah. Gadis itu tidak menyangka jika sosok Gibran kenalannya adalah orang yang sudah menolong Abrina. 

 

"Wah dunia memang selebar daun kelor," celetuk Pak Min bercanda, "di rumah Mas Gibran sering ketemu Anggi, eh di sini ketemu lagi."

 

Abrina yang masih bingung kenapa Anggini bisa kenal dengan Gibran dan Pak Min lekas mencolek lengan gadis itu. Lewat tatapan matanya dia mau Anggini bercerita. 

 

"Jadi Kak Gibran ini kakak kandungnya Gavin, Bi," tutur Anggini seraya melirik Gibran, "dan kamu tahu sendiri kan kalau ibu aku kerja cuci gosok di rumahnya Gavin."

 

"Oh jadi Abrina temannya Gavin juga?" tanya Gibran memastikan. 

 

Abrina hanya mengangguk pelan. Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Baginya sangat tidak masuk di akal jika Gavin adalah adiknya Gibran. 

 

Karakter mereka sangat berseberangan. Gibran berperangai tenang dan berwibawa. Sedangkan Gavin ramai dan urakan. Dia bahkan ketua geng anak-anak urakan di sekolah. 

 

Abrina sendiri sangat tidak menyukai Gavin sebagai teman satu kelas. Baginya Gavin sangat usil padanya. Sering sekali dirinya dikerjai oleh anak itu dan gengnya. 

 

Namun, menurut Anggini, Gavin berlaku seperti itu pada Abrina karena pemuda itu naksir. Menurut Anggini lagi, Gavin sengaja menarik perhatian Abrina dengan cara-cara usil. Terlebih selama ini cuma Abrina yang tidak peduli dengan Gavin, si bintang sekolah. 

 

"Tapi wajah Kak Gibran dan Gavin memang sangat mirip sih," aku Abrina dalam hati. "Pantesan aku kayak merasa kenal karena beberapa kali emang Kak Gibran pernah datang ke sekolah," batinnya seraya terus memperhatikan Gibran. 

 

"Tahu begini Kakak telpon Gavin buat jenguk kamu, Abrina," ujar Gibran kalem. 

 

"Eh gak usah, Kak," larang Abrina cepat. 

 

"Kenapa?" Mata teduh Gibran langsung menyipit. 

 

"Eum gak papa," jawab Abrina kikuk. 

 

"Kalian teman satu kelas kan?" tanya Gibran memastikan. 

 

"Iya, Kak." Abrina mengangguk pelan. 

 

"Jadi gini, Bina." Gibran menatap Abrina dengan serius, "tadi siang Kakak sudah ke rumah sakit tempat ibu kamu dirawat. Kakak sudah membayar semua biaya perawatan ibu kamu dan kakak juga sudah ngasih tahu kondisi kamu saat ini."

 

"Terima kasih banyak, Kak," ucap Abrina tulus. Matanya berkaca-kaca karena terharu bahagia. 

 

"Sama-sama." Gibran menyahut datar, "kondisi ibu kamu sudah perlahan pulih. Sedangkan kamu baru boleh pulang besok."

 

Abrina, Anggini, dan Pak Min mendengarkan dengan seksama. 

 

"Bukannya kakak nggak mau jagain kamu di sini, tapi kakak masih ada banyak pekerjaan di kantor," tutur Gibran dengan muka serius, "makanya kakak ada ide mau nyuruh Gavin buat jagain kamu. Daripada dia gak ada kerjaan."

 

"Gak usah, Kak," tolak Abrina cepat. 

 

"Kenapa, Abrina?" tanya Gibran heran. "Kakak gak tega ninggalin kamu sendirian. Pak Min sendiri juga udah capek kerja dari pagi gak bisa jaga kamu."

 

"Eum aku biar jaga perawat saja," pinta Abrina serius, "lagian gak baik seorang gadis dan pemuda ada di satu kamar tanpa ada orang lain. Aku takut ada fitnah, Kak," kilahnya memberi alasan. 

 

Gibran mengangguk paham. Dia lantas menatap Anggini. "Anggi, kamu lagi gak sibuk banget kan?" tanyanya kemudian. 

 

"Enggak, Kak." Anggini menggeleng pelan. 

 

"Kalau begitu kamu mau kan bermalam di sini buat nemenin Abrina teman kamu?"

 

Anggini meringis kecil. "Mau, Kak."

 

Gibran menarik napas lega. "Syukurlah, tapi kakak tetap akan menyuruh Gavin buat ikut jaga," putusnya tegas. 

 

Abrina pun tidak bisa mengelak. Gadis itu hanya terdiam saat mendengar Gibran menelepon seseorang yang ia yakini adalah Gavin. Benar saja setengah jam dari kepergian Gibran dan Pak Min, pemuda yang bernama Gavin pun datang. 

 

Dengan gayanya yang kelihatan tengil di mata Abrina, Gavin mendekati gadis itu. "Gue pikir cewek mana yang mesti gue jaga. Ternyata si cupu ini," ujarnya dengan seringai miring. 

 

Abrina dan Anggini hanya saling berpandangan. Keduanya memang enggan berhubungan dengan Gavin. Ketua geng sekolah yang sangat suka bikin sensasi. 

 

"Bisa-bisanya lu kenal abang gue, Bi?" tanya Gavin dengan tengil. Dia lantas menatap Anggini dengan tajam, "atau lu yang udah ngenalin abang gue ke dia?" tebaknya kemudian. 

 

"Enggak," bantah Anggini cepat, "emang Kak Gibran gak cerita tadi kenapa dia bisa kenal dengan Bina?"

 

"Abang gue cuma bilang kalo kemarin malam dia habis nabrak seorang cewek."

 

"Nah Abrina ini orangnya," sahut Anggini sembari menunjuk Abrina. 

 

"Udah ya, aku mau istirahat," pamit Abrina enggan melayani Gavin yang usil. 

 

Remaja itu kembali merebahkan badan. Dia tidur membelakangi teman-temannya. Meski belum mengantuk dirinya pura-pura kembali terlelap. 

 

Hingga akhirnya Abrina kembali tertidur sungguhan. Gadis baru terbangun saat hari sudah berganti gelap. Ketika dia mengedarkan pandangan, tampak Gavin tengah serius memandangi layar televisi. Namun, tidak ada bayangan Anggini. 

 

"Vin," panggil Abrina hati-hati. 

 

Gavin sontak berpaling ke arah ranjang Abrina. "Apa?"

 

"Mana Anggi?"

 

"Oh udah gue suruh balik tadi."

 

"Kok malah disuruh balik sih?" protes Abrina keberatan. 

 

"Ya gue kasihan liat dia bengong gak ada kerjaan. Sementara di rumah kan dia bisa bantu emaknya."

 

Abrina cemberut karena tidak bisa lagi memprotes. 

 

"Lu butuh apa?" tanya Gavin peduli. 

 

"Gak ada," sahut Abrina datar. 

 

Meski mendapatkan penolakan dari Abrina, tapi Gavin tetap bersikap peduli pada gadis itu. Beberapa kali dirinya membantu Abrina ke kamar kecil. Serta mengupaskan buahnya. 

 

Sejujurnya Abrina dapat merasakan perhatian pemuda itu. Hingga kata-kata Anggini yang selalu bilang kalau Gavin naksir sama dia kembali terngiang. 

Perhatian Gavin kian terlihat saat keesokan harinya pemuda itu memutuskan untuk membolos sekolah demi bisa menjaga Abrina. 

 

"Gue akan jaga elu sampai elu pulang dari sini," ujar Gavin ketika diusir halus oleh Abrina. 

 

Abrina tidak bisa berbuat banyak. Gadis itu hanya bisa berdoa semoga Gibran segera datang. Karena siang ini dirinya sudah diperbolehkan untuk pulang. 

 

Pukul satu siang orang yang dinanti Abrina pun datang. Seperti biasa Gibran tidak hadir sendiri. Namun, bukan Pak Min yang menemaninya melainkan seorang perempuan muda sepantaran. 

 

"Halo kakak ipar," sapa Gavin pada gadis yang digandeng oleh Gibran.

 

Sang gadis dengan mata berhias maskara itu pun hanya tergelak mendengar sapaan Gavin. 

 

"Abrina, kenalkan ini teman sekaligus personal asisten kakak," ujar Gibran mengenalkan gadis yang ia bawa. 

 

"Halo senang berkenalan dengan kamu," sapa gadis itu seraya mengulurkan tangan, "nama saya Livia."

 

Abrina menatap gadis tinggi semampai itu. Wajahnya cewek itu sangat mirip dengan wanita yang ia benci. Lusi. 

 

Yuk kira-kira apa hubungan Livia dengan Gibran ya? 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mat Yudi
sangat mengesankan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   6. Pertemuan Miranti dan Haris

    Sesungguhnya Abrina tidak sudi bersalaman dengan Livia yang ia ketahui sebagai adiknya Lusi. Namun, gadis itu tidak mau mengumbar masalah pribadinya di hadapan Gibran dan Gavin. Karena itulah dirinya lebih berpura-pura tidak mengenali Livia. Sama halnya dengan Livia. Gadis itu pun sebenarnya tahu jika remaja yang ada di hadapannya adalah anak dari suami kakaknya. Karena foto Abrina masih terpajang di ruang tamu Haris. Bahkan kemarin Haris cukup marah ke Lusi karena sudah lancang menyuruh Livia menempati kamar pribadinya Abrina. Sampai saat ini Haris masih berharap Abrina akan pulang. Kendati gadis itu sudah bersumpah untuk tidak lagi menginjakkan kakinya di rumah masa kecilnya. "Abrina." Abrina menyebut namanya dengan lirih. Dia yang enggan bersentuhan kulit dengan Livia hanya menempelkan telapak tangannya sebentar. "Gimana kamu sudah siap untuk pulang?" tanya Gibran usai Abrina dan Livia bersalaman. Abrina hanya mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba semangatnya menurun saat tahu

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   7. Kenangan Miranti

    "Gak usah fitnah, ya!" Melihat ibunya diberlakukan tidak adil, Abrina maju sebagai garda terdepan. "Jelas-jelas kamu yang sengaja menabrak mamahku, pake fitnah orang segala," ujarnya dengan mata yang menatap tajam pada Lusi. "Aduh pusing deh kepalaku kalo harus berhubungan dengan anak pembangkang," keluh Lusi sambil memijit pelipis. Dia sengaja memamerkan cincin berlian di jari manis dan gelang emas yang menghiasi lengannya. "Lihat ibunya jatuh bukannya ditolong malah menyalahkan orang lain," sindirnya dengan senyum yang mengejek. Abrina lekas berpaling pada sang ibu. Tangannya terulur untuk membantu Miranti berdiri. "Ayo, Bi, kita pulang saja," ajak Miranti tanpa mau menatap wajah Haris dan juga Lusi. Bukan karena dia takut sama mereka. Namun, dia tidak mau luka hatinya yang mulai mengering kembali terusik jika melihat wajah mereka. Masih ingat betul betapa kedua orang itu cukup menyakiti hatinya. "Gak, Mah, aku gak mau pergi sebelum perempuan ini minta maaf sama Mamah karena ud

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   8. (Dulu) Lusi Si Gembel

    Dua tahun yang lalu. Siang itu Miranti tengah sibuk membuat menu makan malam. Dia berkutat di dapur dibantu oleh Bi Sarti. Meski mempunyai tenaga asisten rumah tangga, tapi perempuan itu lebih suka membuat menu makanan sendiri. Terlebih anak dan suaminya memang menyukai masakan olahannya. Bahkan setiap jam makan siang, Miranti akan selalu mengunjungi kantor Haris untuk mengantarkan makanan. Sang suami lebih suka makan makanan buatan sang istri ketimbang jajan di luar. Selain lebih hemat juga lebih higienis tentunya. Haris sendiri adalah seorang pengusaha ayam pedaging. Dia memperternak ribuan ayam pedaging. Lalu menyalurkannya ke resto-resto yang mengolah daging ayam seperti gerai ayam geprek, ayam bakar, ayam penyet dan lain sebagainya. "Aduuuh!" Miranti yang tengah menumis sayur tiba-tiba mengeluh. Bi Sarti yang tengah mengupas bumbu langsung menoleh. "Ibu kenapa?" tanyanya peduli. Miranti tidak langsung menyahut. Perempuan itu hanya meringis sembari meremas perutnya yang tera

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   9. Iri Hati

    "Pekerjaan?" Alis Miranti bertemu. "Benar, Bu, saya sangat butuh pekerjaan," balas Lusi langsung memasang wajah yang menghiba, "saya adalah tulang punggung untuk adik-adik saya," tuturnya terus berlagak sedih. "Orang tua saya sudah gak ada dan saya yang harus menghidupi biaya kedua adik saya," lanjut gadis itu sambil memohon. Untuk menarik simpati Miranti, Lusi berpura-pura menangis. "Saat ini saya sedang butuh uang yang cukup banyak untuk biaya wisuda adik perempuan saya. Belum lagi adik laki-laki saya yang bungsu juga sebentar lagi akan masuk SMA. Pastinya saya memerlukan banyak uang untuk biaya pendaftarannya," bebernya sambil terisak. Miranti yang berhati lembut iba mendengarnya. "Saya ini cuma seorang ibu rumah tangga yang lebih bisa ngasih solusi apa-apa buat kamu," ungkapnya jujur. Mendengar penuturan Miranti, Lusi mengeraskan isak tangisnya. Membuat Miranti, Abrina, dan Pak Nono tidak tega melihatnya. "Begini Mbak ....""Nama saya Lusi." Tangan Lusi langsung terulur. "A

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   10. Lomba Menyanyi

    Sudah lebih dari tiga minggu pasca jatuhnya Miranti dari tangga. Perempuan itu masih belum mampu berjalan. Sehari-harinya hanya bisa duduk di kursi roda. Miranti sendiri tidak hanya patah tulang. Menurut dokter yang menangani perempuan itu juga mengalami trauma pada tulang belakangnya. Makanya perlu waktu lama untuk sembuh. Di lain pihak Lusi yang jahat justru menganti obat-obatan yang dokter berikan dengan vitamin biasa. Hal tersebut kian memperparah kondisi Miranti. Sehingga sakit wanita itu tidak kunjung sembuh. "Mah, Pah, aku ditunjuk sama wali kelasuntuk mewakili sekolah pada perlombaan tarik suara," ujar Abrina suatu malam saat sedang makan bersama.Haris dan Miranti sontak saling melempar pandang. Keduanya tampak begitu senang mendengarnya. "Oh ya?" sahut keduanya pun serempak. "Iya nih, lomba nyanyi tingkat nasional. Karena pesertanya dari beberapa sekolah SMP di Indonesia," tutur Abrina semringah. "Wahhh selamat ya, Sayang," ucap Miranti seraya mengelus rambut panjang

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   11. Kegundahan Hati Abrina

    Abrina menatap lekat banner di hadapannya. Gadis itu tentu tergiur dengan hadiah yang ditawarkan. Untuk saat ini uang sepuluh juta tentu sangat berarti untuk kehidupannya bersama sang Ibu.Belum lagi salah satu jurinya adalah seorang produser musik. Jadi besar kemungkinan jika pemenangnya bisa ditawari masuk ke dapur rekaman. Lalu masuk ke industri musik dan menjadi penyanyi profesional seperti impian Abrina selama ini."Tapi, Mah, biaya pendaftarannya lumayan mahal," keluh Abrina sedikit memanyunkan mulutnya, "lima ratus ribu sendiri.""Gak papa, Bina. Kan kalo kamu menang kans kamu meraih cita-cita menjadi penyanyi jadi terbuka lebar," sahut Miranti terus mendukung. "Lagian kamu kan habis dapat rezeki dari Gibran lima juta itu. Masih sisa banyak kok, Bi.""Benar sih, tapi uangnya mau buat bayar kontrakan rumah kita, Mah," tutur Abrina terus merasa dilema, "ingat kita sudah nunggak sampai tiga bulan, Mah."Miranti membingkai wajah sang putri. "Uangnya masih sisa banyak, Nak," tuturny

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   12. Rencana Leon

    Keesokan harinya Abrina memutuskan untuk mengikuti saran dari Anggini. Terlebih sang ibu juga mendukungnya. Gadis itu kembali berangkat ke sekolah.Kehadiran Abrina di sekolah diabaikan oleh teman-temannya. Karena memang dia tidak mempunyai banyak teman. Terlebih semenjak ibunya jatuh miskin kian membuatnya dijauhi kawan.Hanya Anggini yang tampak senang melihat kehadiran Abrina. Sama satu orang lagi. Dia tak lain dan tak bukan adalah Gavin.Pemuda yang memang sudah menaruh rasa pada Abrina dari semenjak satu kelas itu lekas mendekati bangku sang gadis. Seperti biasa dia diikuti oleh kedua anak buahnya.Sama satu pemuda lagi. Dilihat dari parasnya, Abrina merasa asing. Sepertinya cowok itu murid baru di sini."Masih ingat masuk sekolah lu?" sindir Gavin begitu mendekat. Dia yang usil lekas menarik ikatan rambut Abrina.Abrina yang enggan menanggapi Gavin hanya membuang muka."Oh iya kata Anggi lu mau pindah, ya? Kok gak jadi? Kangen berantem sama gue, ya?" ledek Gavin tampak percaya d

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   13. Cokelat Dari Leon

    Pukul setengah dua siang bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak bersorak gembira. Mereka lekas membenahi mejanya dan bersiap pulang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Abrina dan juga Anggini. Keduanya berbenah lantas melangkah beriringan ke luar kelas. Kalau dulu Abrina masih ada kesibukan sehabis pulang sekolah yakni mengikuti les dan bimbel. Sekarang tidak. Gadis itu akan memilih langsung pulang. Seperti biasa naik bus sudah menjadi langganannya selama satu tahun ini. Berdesak-desakan di dalam bus sudah menjadi makanannya sehari-hari. Berbeda dengan Gavin dan gengnya. Seperti biasa pulang sekolah mereka gunakan untuk main basket, futsal, game, nonton, atau sekedar nongkrong di warung. Gavin anak brokenhome juga sama seperti Abrina. Pemuda itu sudah merasakan sakitnya perpisahan orang tuanya dari waktu SD. Abrina masih beruntung karena kedua orang tuanya merebutkan hak asuhnya. Gavin tidak. Orang tua Gavin dan Gibran sudah menikah dan punya keluarga masing-masing. Ibu mereka per

Latest chapter

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   127. Jadian

    Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   126. Akhir Hidup Arman

    "Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   125. Tidak Selamat

    "Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   124. Kena Tembak

    DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   123. Perjuangan Haris

    "Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   122. Uang Tebusan

    "Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   121. Tante Mona

    Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   120. Menculik Miranti

    Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   119. Rencana Arman

    "Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar

DMCA.com Protection Status