Share

SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI
SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI
Author: Yenika Koesrini

1. Sebuah Janji

Author: Yenika Koesrini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Mas, tahu gak bedanya kamu dengan jam dua belas?"

 

Kening Haris berkerut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Lusi. Wanita yang baru dinikahinya dua puluh bulan lalu. 

 

"Tau gak, Mas?" tanya perempuan berusia dua puluh enam tahun itu dengan nada yang manja. 

 

"Eum apa, ya? Gak tau tuh," sahut pria yang usianya lebih tua empat belas tahun dari istrinya itu menggeleng. 

 

Wanita yang tengah hamil besar itu meringis centil. "Mau tahu jawabannya gak?"

 

"Iya dong," jawab Haris seraya menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Pria itu tengah menikmati nikmatnya makan malam bersama sang istri baru. 

 

Lagi Lusi meringis centil. "Jam dua belas itu kesiangan, kalo kamu kesayangan," tuturnya seraya mencubit pipi pria yang duduk di sampingnya. 

 

Haris terkekeh. Istri barunya memang selalu membuatnya senang. Berbeda dengan istri lamanya yang selalu sakit-sakitan. Baginya Miranti memang selalu merepotkan. 

 

"Ahhh kenapa aku mesti keingat dia terus?" gumam pria yang masih terlihat gagah tersebut. 

 

"Kenapa, Mas?" tanya Lusi saat melihat suaminya bergumam sendiri. 

 

"Ahhh enggak!" 

 

Haris langsung menggeleng. Tentu dia tidak mau sang istri mengetahui isi pikirannya yang masih saja sulit melupakan sang mantan. Karena bagaimana pun juga Mirantilah yang menemaninya dari nol hingga sesukses sekarang. 

 

Di sisi lain dia juga memikirkan nasib putri semata wayangnya. Hasil dari pernikahannya dengan Miranti yang bernama Abrina. Anak gadisnya yang baru berusia enam belas tahun itu memilih untuk tinggal bersama ibunya. 

 

Remaja itu rela meninggalkan kenyamanan yang ditawarkan oleh Haris. Masih tercetak jelas betapa marahnya Abrina saat tahu Haris akan menikah lagi. Hingga tidak terasa sudah hampir satu tahun Haris tidak lagi menjumpai gadis itu. 

 

Lima bulan yang lalu Haris sengaja menyetop uang bulanan untuk sang putri. Dia sengaja melakukan hal tersebut agar Abrina mau datang ke rumah dan tinggal bersama lagi dengannya. Namun, harapannya tidak terwujud. Sang anak sama sekali tidak menghubunginya sampai sekarang. 

 

"Ada apa sih, Mas, kok bengong gitu?" tegur Lusi melihat sang suami termenung. 

 

Kembali Haris hanya bisa menggeleng. 

 

"Pasti lagi mikirin Abrina," tebak Lusi terlihat sebal.

 

Haris menarik napas dalam-dalam. 

 

"Dia itu sudah melupakan kamu, Mas." Lusi berkata lagi, "buktinya sudah hampir satu tahun gak pernah lagi menginjakkan kakinya di sini. Itu tandanya Abrina sudah gak peduli lagi sama kamu, Mas," tuturnya berusaha menghasut. 

 

"Sudah deh ngapain juga mikirin Abrina. Mending mikirin calon pewaris kamu saja nih," titah Lusi sembari memainkan bibir. 

 

Dia lantas meraih tangan sang suami dan menyuruhnya untuk mengelus perutnya yang sudah membuncit. 

 

TING TONG! 

 

"Siapa sih malam-malam bertamu?" tanya Haris begitu mendengar bell pintu berbunyi. 

 

"Biar aku yang buka saja, Mas," ujar Lusi dengan wajah yang semringah. Pasalnya perempuan itu tengah menunggu kedatangan seseorang. 

 

"Gak usah biar Mas saja. Kamu perutnya kan sudah besar--"

 

"Gak papa, Mas, biar aku saja yang buka," sela Lusi sembari bangkit dari duduknya. 

 

Perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu berlalu meninggalkan sang suami. Langkah pelannya tertuju pada pintu ruang tamu. Dengan rasa bahagia Lusi membuka daun pintu. Namun, seketika matanya membulat melihat siapa yang datang. 

 

"A-Abrina?" sapanya terlihat tidak senang. 

 

Remaja yang wajahnya memiliki kesamaan dengan Haris itu hanya menatap Lusi dengan tatapan tajam. Gadis itu tidak membalas sapaan sang ibu tiri. Dirinya memilih untuk memasuki rumah. Namun, langkahnya segera dihadang oleh Lusi. 

 

"Mau ngapain kamu?" cegah Lusi dengan memasang wajah datar. 

 

"Minggir! Saya gak ada urusan dengan kamu!" titah remaja berambut panjang itu dengan tatapan muak. 

 

"Abrina, inget gak kalo sekarang saya ini adalah nyonya di rumah ini," balas Lusi dengan seringai mengejek. 

 

"Saya gak peduli! Saya cuma ingin ketemu dengan Papah," timpal Abrina tidak kalah tegas. 

 

"Tiba-tiba pengen ketemu, bukannya dulu sok-sokan ninggalin Papah kamu--"

 

"Kamu bisa diam gak sih!" potong Abrina kesal. 

 

"Abrina?"

 

Lusi yang akan menimpali omongan anak sambungnya itu seketika menoleh begitu mendengar suara sang suami. 

 

"Kamu apa kabarnya, Bi?" tanya Haris dengan rasa rindunya. Namun, ketika tangannya hendak meraih tubuh sang putri untuk didekap, Lusi justru menarik lengannya untuk dipeluk. 

 

"Aku ada perlu sama Papah," tutur Abrina datar. 

 

"Apa, Nak?" tanya Haris menunjukan wajah antusiasnya. 

 

"Aku mau cerita, tapi gak mau ada dia." Telunjuk Abrina mengarah kepada wajahnya Lusi. 

 

"Hei ... saya ini istri Papah kamu sudah mau satu tahun. Jadi suka-suka saya dong kalo dekat-dekat dengan Mas Haris," tukas Lusi kian mengeratkan dekapan pada lengan Haris. 

 

"Ya sudah katakan apa yang ingin kamu sampaikan," pinta Haris dengan lembut pada sang putri. 

 

Abrina terlihat menarik napas panjang. "Mamah terkena demam berdarah, Pah. Sudah dua hari Mamah dirawat di rumah sakit."

 

"Terus apa hubungannya dengan suami saya?" sela Lusi cepat, "ingat ya suami saya dengan mamah kamu sudah gak ada lagi hubungan," tegasnya sambil melirik tajam pada Haris. 

 

"Pah." Abrina yang kesal kembali menunjuk Lusi sambil berdecak. 

 

"Tante Lusi benar, Papah dan Mamah kamu sudah tidak ada lagi hubungan."

 

Bibir Lusi sontak meringis puas mendengar pernyataan sang suami. Sementara Abrina dibuat tercengang karenanya. 

 

"Tapi Papah pernah sangat mencintai Mamah. Kalian sudah hidup bersama lebih dari tujuh belas tahun, Pah."

 

"Gak usah ngomongin masa lalu." Lusi langsung menimpali omongan Abrina, "kenyataannya sekarang sayalah wanita yang dicintai Papah kamu."

 

"Pah, aku butuh biaya buat bayar rumah sakitnya Mamah," tutur Abrina sejujurnya. 

 

"Papah kamu sudah gak ada kewajiban buat biayain Mamah kamu, Abrina."

 

"Diam! Saya gak bicara dengan kamu." Kesal membuat Abrina berani menyentak Lusi. 

 

"Tante Lusi benar, Bina." Lagi-lagi Haris membela sang istri, "atau gini saja, papah mau bayarin biaya rumah sakit mamahmu asal kamu tinggal bersama kami, bagaimana? Setuju kan?" tawarnya dengan meyakinkan. 

 

Di tempatnya Abrina kembali tercenung mendengarnya. Setelah terdiam hampir beberapa menit, gadis itu menganggukkan kepalanya. 

 

"Baik, aku mau tinggal dengan Papah asal Papah mau menceraikan dia!" Abrina mengajukan syarat sambil mengacungkan telunjuknya pada wajah Lusi. 

 

"Enak saja kamu ngomong!" sergah Lusi marah, "saya ini sedang mengandung pangeran mahkotanya papah kamu. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Mamah kamu," cerocosnya dengan bangga. 

 

"Diam kamu!" gertak Abrina keras. 

 

"Maaf Abrina, tapi Papah gak bisa menceraikan Tante Lusi," tegas Haris serius. 

 

"Nah kamu dengar sendiri kan?" timpal Lusi merasa di atas angin karena dibela, "sekarang mending kamu pulang sana sebelum hujan datang," usirnya begitu melihat awan yang menghitam. 

 

"Pah, aku mohon untuk sekali ini bantulah Mamah." Kali ini suara Abrina mulai memelas. 

 

"Mamah kamu yang milih jalannya untuk ke luar dari sini, jadi terima saja resikonya," sahut Lusi dengan sinisnya. 

 

"Tentu saja Mamah aku ke luar dari sini karena dia gak sudi dimadu dengan perempuan culas seperti kamu," serang Abrina kembali kesal. 

 

"Ya udah terima saja resikonya," balas Lusi kembali mengulangi omongan. 

 

Abrina mengalihkan tatapannya kembali ke sang ayah. "Pah, tolong buka hati nuranimu. Mamah ini pernah jadi separuh napasmu, Pah," mohonnya dengan menangkupkan kedua tangan. 

 

"Maaf Abrina, Papah gak bisa," putus Haris dengan berat hati. Sejujurnya dia juga merasa iba. Namun, pria itu tidak mau membuat istri barunya marah. 

 

"Pah, tolong jangan sekejam itu sama aku dan Mamah." Mata bulat Abrina mulai berkaca-kaca. 

 

"Papah gak kejam. Papah cuma mau memberikan penawaran," bantah Haris tenang, "kamu tinggal di sini, kembali menikmati semua kemewahan dan papah akan biayain mamah kamu."

 

"Gak! Aku gak mau," tolak Abrina bulat. 

 

"Ya sudah silakan kamu tinggalkan rumah ini sekarang juga!"

 

Air mata yang sedari tadi Abrina bendung akhirnya jebol juga begitu mendengar pengusiran sang ayah. Gadis itu mengangguk dengan menahan sesak. 

 

"Baik aku pergi," putus Abrina dengan suara yang bergetar menahan sakit di dada, "dan aku pastikan ini terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku di rumah ini."

 

"Ya semoga aja gak lupa dengan janjinya. Tau-tau nanti datang lagi ke sini," sahut Lusi sambil menyindir sinis. 

 

Abrina terdiam sejenak untuk menata hati sembari mengelap matanya yang basah. 

 

"Aku berjanji bahwa apapun yang akan terjadi dengan papah, aku gak pernah sudi untuk datang menjenguk."

 

"Eh kamu nyumpahin papah kamu kenapa-napa, hah?!" omel Lusi geram. 

 

Abrina menatap Lusi dengan dingin. "Perlu kamu ketahui, hukum tabur tuai itu berlaku di muka bumi ini. Kamu pernah membuat Mamah aku terusir dari rumah ini, dan aku bisa pastikan suatu saat kamu juga akan terusir dari rumah ini dengan cara yang hina!"

 

Tepat saat Abrina bersumpah, petir di langit menggelegar. Lusi sendiri sempat terperanjat mendengarnya. Namun, ketakutannya dia tutupi dengan seringai sinis. 

 

Sebelum pergi, Abrina kembali menatap ayahnya. Namun, Haris justru membuang muka. Pria itu tidak berani membalas pandangan tajam sang putri. 

 

Dan Abrina pun beranjak. Gadis itu membelah pekatnya malam. Menit berikutnya hujan pun mengiringi langkahnya. 

 

"Ke mana aku mencari pertolongan?" kesah gadis itu resah. 

 

Lanjut?

 

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g ada pembagian harta gono ginikah?? berarti mama mu bertindak menggunakan emosi dan pake otak abrina. sama dg kamu yg g bisa berpura2 menerima tawaran papa mu
goodnovel comment avatar
Dewi Sugi Harti
Wah keren nih penasaran cerita selanjutnya
goodnovel comment avatar
Mega Dewi
bagus ceritanya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   2. Seorang Pemuda

    Abrina terus melangkah kendati tetesan air hujan perlahan menyirami tubuhnya. Angin yang bertiup membuat hawa menjadi dingin. Beruntung gadis itu mengenakan hoodie. Namun, tetap saja pakaian agak tebal itu tidak mampu mengusir rasa dingin. Malam disertai hujan membuat angkutan umum jarang yang lewat. Abrina sudah mulai merasa kedinginan. Gadis itu akhirnya berlari demi bisa menghindari tetesan hujan. Dirinya lantas memasuki sebuah minimarket yang buka dua puluh empat jam. Baju dan celana Abrina sebagian basah. Wajar jika kini dia mulai kedinginan. Gadis itu ingin membeli satu cup kopi panas untuk menghangatkan tubuh seperti yang lain. Namun, saat merogoh kantung celana jeansnya, niat itu ia urungkan. "Ck! Tinggal seratus ribu doang," keluh Abrina nelangsa. Pasalnya gadis itu sudah tidak punya tabungan lagi. Begitu juga dengan sang ibu. Karena sewaktu ke luar dari rumah Haris, perempuan itu tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Terlebih Miranti memang tidak mendapatkan haknya. Saa

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   3. Pesta Di Rumah Haris

    Pemuda yang mukanya sedikit basah itu melangkah mendekati ranjangnya Abrina. Bibirnya mengembangkan senyuman yang lembut. Lesung pipit kian menambah kesan manis. "Bagaimana kondisi kamu, Dek?" Pemuda itu mengulangi pertanyaannya. "Eum, aku ... tubuh aku sakit semua," balas Abrina lemah. Pemuda di hadapan menipiskan bibir mendengar kejujuran Abrina. "Kamu pingsan semalaman," tuturnya tenang. Abrina terdiam. Gadis itu menunduk. Tiba-tiba saja dia menyadari pakaiannya telah berganti dari hoodie dan celana jeans menjadi piyama. "Tadinya saya mau menghubungi keluarga kamu, tapi setelah diperiksa kamu tidak membawa identitas." Pemuda itu berbicara lagi. "Tentu saja, umurku kan belum genap tujuh belas tahun. Jadi belum punya KTP," sahut Abrina. Namun, hal itu hanya terucap di hati. "Kamu juga tidak membawa hape, jadinya saya dan supir saya Pak Min bingung harus menghubungi siapa," lanjut pemuda itu dengan serius. Abrina menghela napas. Rasa sesak kembali menyergap dada. Tiga bulan pa

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   4. Rencana Lusi

    "Lusiii!" Haris berteriak di tepi pintu. Sayang hingar bingar musik membuat suaranya tenggelam. Pria itu menarik napas untuk meredam gejolak amarah. Dia melangkah menuju keberadaan sang istri yang masih meliuk bersama seorang pemuda yang tidak jelas wajahnya. Maklum pemuda tinggi itu berdiri membelakangi Haris. "Lusiii!" bentak Haris seraya menarik tangan sang istri yang sedang diangkat ke atas. "Eh Mas Haris sudah pulang?" sahut Lusi begitu melihat wajah sang suami yang marah. "Kamu apa-apaan buat acara beginian, hah?" tegur Haris dengan suara yang keras. Lusi tersenyum. Wanita yang hari itu mengenakan dress tanpa lengan menghadap ke tempat meja DJ. Dengan kedipan matanya dia memberi kode agar musik dimatikan. Pria di meja DJ itu pun mengangguk paham. Tidak sampai satu menit, hingar bingar musik pun berhenti. Beberapa orang yang tidak sadar dengan kedatangan Haris sontak mengeluh. Namun, begitu tahu si pemilik rumah sudah pulang mereka pun terdiam maklum. Kebanyakan yang datan

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   5. Adiknya Lusi

    "Bina, bangun, Bina!"Suara lembut mengalun di telinga Abrina. Sayangnya gadis itu masih saja terlelap. Sepertinya itu efek dari obat yang diminumnya usai makan siang. "Bina, bangun, Bin!" Gadis berwajah manis itu menepuk-nepuk pipi Abrina. Namun, mata Abrina tidak juga lekas terbuka. Sehingga dirinya terpaksa mengguncang tubuh sang kawan. Merasakan guncangan perlahan Abrina membuka mata. Sesosok gadis manis langsung melemparkan senyum manis untuknya. "A-Anggini?" sapa Abrina seraya mengerjapkan mata. Anggini tersenyum lembut. Gadis itu memang cukup peduli dan perhatian pada temannya. Tanpa diminta tolong Anggini lekas membantu abrina yang kesusahan untuk bangun dari tidurnya. Dirinya juga memasangkan bantal pada sandaran brangkarnya Abrina. "Kamu sudah lama di sini?" tanya Abrina dengan suara yang agak parau. Maklum gadis itu terlelap cukup lama. Dari habis makan siang sampai jam tiga sore ini. Hampir tiga jam sendiri. "Gak baru juga lima belas menit," balas Anggini yang kemu

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   6. Pertemuan Miranti dan Haris

    Sesungguhnya Abrina tidak sudi bersalaman dengan Livia yang ia ketahui sebagai adiknya Lusi. Namun, gadis itu tidak mau mengumbar masalah pribadinya di hadapan Gibran dan Gavin. Karena itulah dirinya lebih berpura-pura tidak mengenali Livia. Sama halnya dengan Livia. Gadis itu pun sebenarnya tahu jika remaja yang ada di hadapannya adalah anak dari suami kakaknya. Karena foto Abrina masih terpajang di ruang tamu Haris. Bahkan kemarin Haris cukup marah ke Lusi karena sudah lancang menyuruh Livia menempati kamar pribadinya Abrina. Sampai saat ini Haris masih berharap Abrina akan pulang. Kendati gadis itu sudah bersumpah untuk tidak lagi menginjakkan kakinya di rumah masa kecilnya. "Abrina." Abrina menyebut namanya dengan lirih. Dia yang enggan bersentuhan kulit dengan Livia hanya menempelkan telapak tangannya sebentar. "Gimana kamu sudah siap untuk pulang?" tanya Gibran usai Abrina dan Livia bersalaman. Abrina hanya mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba semangatnya menurun saat tahu

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   7. Kenangan Miranti

    "Gak usah fitnah, ya!" Melihat ibunya diberlakukan tidak adil, Abrina maju sebagai garda terdepan. "Jelas-jelas kamu yang sengaja menabrak mamahku, pake fitnah orang segala," ujarnya dengan mata yang menatap tajam pada Lusi. "Aduh pusing deh kepalaku kalo harus berhubungan dengan anak pembangkang," keluh Lusi sambil memijit pelipis. Dia sengaja memamerkan cincin berlian di jari manis dan gelang emas yang menghiasi lengannya. "Lihat ibunya jatuh bukannya ditolong malah menyalahkan orang lain," sindirnya dengan senyum yang mengejek. Abrina lekas berpaling pada sang ibu. Tangannya terulur untuk membantu Miranti berdiri. "Ayo, Bi, kita pulang saja," ajak Miranti tanpa mau menatap wajah Haris dan juga Lusi. Bukan karena dia takut sama mereka. Namun, dia tidak mau luka hatinya yang mulai mengering kembali terusik jika melihat wajah mereka. Masih ingat betul betapa kedua orang itu cukup menyakiti hatinya. "Gak, Mah, aku gak mau pergi sebelum perempuan ini minta maaf sama Mamah karena ud

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   8. (Dulu) Lusi Si Gembel

    Dua tahun yang lalu. Siang itu Miranti tengah sibuk membuat menu makan malam. Dia berkutat di dapur dibantu oleh Bi Sarti. Meski mempunyai tenaga asisten rumah tangga, tapi perempuan itu lebih suka membuat menu makanan sendiri. Terlebih anak dan suaminya memang menyukai masakan olahannya. Bahkan setiap jam makan siang, Miranti akan selalu mengunjungi kantor Haris untuk mengantarkan makanan. Sang suami lebih suka makan makanan buatan sang istri ketimbang jajan di luar. Selain lebih hemat juga lebih higienis tentunya. Haris sendiri adalah seorang pengusaha ayam pedaging. Dia memperternak ribuan ayam pedaging. Lalu menyalurkannya ke resto-resto yang mengolah daging ayam seperti gerai ayam geprek, ayam bakar, ayam penyet dan lain sebagainya. "Aduuuh!" Miranti yang tengah menumis sayur tiba-tiba mengeluh. Bi Sarti yang tengah mengupas bumbu langsung menoleh. "Ibu kenapa?" tanyanya peduli. Miranti tidak langsung menyahut. Perempuan itu hanya meringis sembari meremas perutnya yang tera

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   9. Iri Hati

    "Pekerjaan?" Alis Miranti bertemu. "Benar, Bu, saya sangat butuh pekerjaan," balas Lusi langsung memasang wajah yang menghiba, "saya adalah tulang punggung untuk adik-adik saya," tuturnya terus berlagak sedih. "Orang tua saya sudah gak ada dan saya yang harus menghidupi biaya kedua adik saya," lanjut gadis itu sambil memohon. Untuk menarik simpati Miranti, Lusi berpura-pura menangis. "Saat ini saya sedang butuh uang yang cukup banyak untuk biaya wisuda adik perempuan saya. Belum lagi adik laki-laki saya yang bungsu juga sebentar lagi akan masuk SMA. Pastinya saya memerlukan banyak uang untuk biaya pendaftarannya," bebernya sambil terisak. Miranti yang berhati lembut iba mendengarnya. "Saya ini cuma seorang ibu rumah tangga yang lebih bisa ngasih solusi apa-apa buat kamu," ungkapnya jujur. Mendengar penuturan Miranti, Lusi mengeraskan isak tangisnya. Membuat Miranti, Abrina, dan Pak Nono tidak tega melihatnya. "Begini Mbak ....""Nama saya Lusi." Tangan Lusi langsung terulur. "A

Latest chapter

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   127. Jadian

    Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   126. Akhir Hidup Arman

    "Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   125. Tidak Selamat

    "Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   124. Kena Tembak

    DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   123. Perjuangan Haris

    "Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   122. Uang Tebusan

    "Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   121. Tante Mona

    Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   120. Menculik Miranti

    Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   119. Rencana Arman

    "Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar

DMCA.com Protection Status