Ketika Bu dokter akan menjawab seorang perawat masuk. Gadis berseragam serba putih itu menyerahkan hasil foto rontgen pada Bu dokter. Bu Dokter sendiri justru memberikannya pada Haris begitu sang perawat berlalu."Kalo ditanya apakah itu sangat berbahaya, saya jawab cukup berbahaya," tutur Bu dokter kemudian, "karena jantung bocor ini Adik Al jadi susah bernapas, sering batuk, bibir lidah dan kuku jadi kebiruan, mudah lelah menyusu dan kurang berselera makan. Pastinya itu akan membuat Adik Al susah naik berat badannya dan pertumbuhannya akan terganggu."Haris diam untuk menyimak penuturan Bu dokter. "Lalu apa yang mesti dilakukan untuk menolong Alsaki?" tanyanya serius."Kami akan melakukan tindakan operasi Patching yaitu menambal katup jantung yang bocor dengan tambalan dari jaringan tubuh atau jaringan buatan."Haris mengangguk. "Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya, Dok," pintanya kemudian.Bu dokter dengan name tag Nadia itu mengangguk. "Insya Allah kami semua akan melaku
"Mas, jangan begitu! Gak baik ngomong pisah," mohon Lusi langsung memasang wajah sedih. "Oke, aku mohon maaf kalo niat baik aku gak berkenan di hati kamu," ucapnya kemudian. Haris tidak menggubris. Pria berlalu meninggalkan Lusi. Arahnya tertuju pada meja makan. "Livia dan Leon gak pernah merayakan ulang tahun dari kecil, apa aku salah kalo mau buat acara untuk Livia?" tanya Lusi terus mengikuti langkah sang suami. Lagi-lagi Haris tidak menyahut. Pria itu lebih memilih untuk membuka tudung saji. Ada rawon, telur asin, dan sayur kacang panjang sebagai hidangan makan malam. "Mas, jangan diam saja, jawab dong!" seru Lusi sembari memegang lengannya Haris. "Bisa diam gak!" sentak Haris kesal. Matanya menatap Lusi dengan tajam. "Tahu gak kamu? Berjam-jam aku menahan lapar untuk mengurusi Al sendiri. Jadi tolong, jangan ganggu aku dulu," mohonnya serius. Kali ini Lusi menutup mulut. Wanita itu memperhatikan Haris yang mulai menyiduk nasi dan lauk. Sang suami perlahan mulai menyuap nasi
"Ayo kita ke rumah sakit!" ajak Haris pada Lusi dengan dingin. "Iya." Lusi langsung mengangguk semangat. Perempuan itu lekas menyusul langkah lebar-lebar Haris. Lusi agak menggerutu karena sang suami tidak menunggunya. Sementara dirinya susah bergerak cepat sebab mengenakan sepatu dengan hak sepuluh centimeter. Di dalam mobil pun Haris enggan berdekatan dengan Lusi. Laki-laki itu memilih untuk duduk mendampingi Pak Nono. Sedangkan Lusi di jok belakangnya. Beberapa kali pertanyaan dari Lusi pun Haris abaikan. Dirinya hanya mau berbicara dengan sang sopir. Tiba di rumah sakit Haris pun tetap tidak memedulikan sang istri. Dirinya tetap melangkah panjang-panjang. Meninggalkan Lusi yang harus terseok-seok mengikuti derap jalannya. Hingga akhirnya Haris tiba di kamar inap sang putra. Sebelum pulang pria itu sudah memilihkan kamar yang terbaik untuk Alsaki. Suster Eva benar, ketika Haris dan Lusi masuk bayi mereka tengah menangis. Mungkin karena terlalu lama menangis suara Alsaki sampa
Armando menutup panggilannya. Dia lantas melempar begitu saja iPhone pemberian dari Lusi. Benar saat ini hidupnya sudah ditanggung oleh istrinya Haris tersebut. Masih ingat betul dua setengah tahun yang lalu, hidup Armando masih cukup susah. Meski menyandang gelar sarjana fisioterapi, tapi saat itu dirinya belum mendapatkan pekerjaan yang mentereng hingga akhirnya nasib mempertemukan Armando dengan keluarga Haris. Termasuk Lusi, perempuan yang menjadi patner in crime-nya. Masih jelas dalam ingatan ketika tengah bingung karena belum bayar kos-kosan, Arman mendapat kabar baik. Bos di klinik tempatnya bekerja memberi tahu jika tenaganya dibutuhkan oleh istri seorang pengusaha. Setelah membaca kartu nama yang diberikan oleh owner tempatnya bekerja, Arman segera meluncur ke alamat yang tertera. Alamat rumah Haris tentunya. Dia yang kala itu belum punya kendaraan roda empat datang ke rumah Haris dengan menaiki sepeda motor biasa. Orang pertama yang membukakan pintu untuk laki-laki itu ad
Lusi mencondongkan tubuhnya. Sangat dekat dengan wajahnya Arman. Tak heran pemuda itu berpikir jika Lusi akan mencium bibirnya. "Tolong bantu aku mendepak Ibu Miranti dari rumah," bisik Lusi dengan suara manja. Arman sendiri tercekat mendengarnya. "Kenapa kamu ingin mendepak dia? Bu Ranti orang baik kan?" Tanpa sepengetahuan Lusi, Arman buru-buru mengambil ponselnya di saku celana. Menit berikutnya pemuda itu mulai merekam pembicaraannya. Tentu Lusi tidak melihat karena posisinya sama-sama duduk. "Kamu ingin jadi orang kaya gak?" tanya Lusi sembari mengelus pipi Arman. "Terus apa hubungannya dengan Ibu Ranti?" tanya Arman heran. "Jadikan aku nyonya Haris maka aku jamin hidupmu enak, Man."Arman menatap Lusi lekat. "Aku gak nyangka gadis semanis kamu punya hati yang busuk ini, Lus." "Dengar Arman, meski nanti aku akan menjadi miliknya Pak Haris, tapi hati ini mau aku serahkan hanya untuk kamu," janji Lusi palsu. "Termasuk tubuhmu?" tantang Arman serius. Di tempatnya Lusi terpa
Enam bulan sudah Arman menjalani hari-harinya di penjara. Dua kali saja Lusi mengunjunginya. Setelah itu dirinya menghilang. Begitu juga dengan uang bulanan yang ia janjikan pada Arman. Sebagai seorang pria, Arman tentu murka karena merasa tertipu. Namun, saat itu dirinya sedang tidak berdaya. Sehingga dia hanya bisa pasrah pada keadaan. Arman benar-benar menjalani masa hukumannya. Dia juga berusaha berperilaku baik. Sehingga dirinya mendapatkan remisi setengah bulan masa tahanan. Akhirnya setelah lima bulan setengah mendekam di penjara, Arman bisa menghirup udara bebas. Dia sengaja tidak langsung menemui Lusi. Pria itu memilih waktu yang tepat karena saat itu Lusi memblokir semua akses. Butuh waktu satu minggu lamanya bagi Arman untuk memantau perempuan itu. Hingga akhirnya laki-laki itu memberanikan diri untuk menemui Lusi. Tentunya Arman sudah menelisik semua. Dia melihat Haris sudah pergi ke kantor bersama sopirnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika Arman memgetuk pintu, Lu
Lusi sendiri benar-benar berganti pakaian. Namun, otak perempuan itu terus berputar. Tentu dia tidak mau menyerahkan tubuhnya pada Arman secara cuma-cuma. Karena memang di dasar hatinya tidak ada rasa cinta untuk pria itu. Hingga akhirnya manik perempuan itu tertuju pada kotak obat di bufet kamar. Lusi buru-buru membuka kotak obat tersebut. Satu strip tablet obat tidur dia ambil. Haris memang selalu menyediakan obat tidur. Semenjak berpisah dengan Miranti dan Abrina, pria itu terlampau sulit untuk memejamkan mata. Sehingga memerlukan obat tersebut setiap malam. Lusi yang merasa sudah di atas angin lekas memasukan obat tersebut ke tas tangannya. Dirinya lantas merias wajah. Setelah merasa cantik baru dia keluar untuk menemui Arman. Tiga bulan setelah resmi menjadi Nyonya Haris, Lusi meminta diberikan mobil. Dengan berbagai alasan dia mampu meyakinkan suaminya untuk memberi kendaraan tersebut. Sehingga perempuan itu leluasa pergi ke manapun tanpa diikuti oleh Pak Nono. Lusi pun mel
Lusi terkapar di ranjang. Pergumulan panasnya dengan Arman membuatnya lemas. Pria itu menggaulinya dengan cukup brutal. Sebagai wanita muda tentu Lusi merasa puas dengan permainannya Arman. Namun, lama-lama dia merasa jengah karena Arman terlampau kuat di ranjang. Berbeda dengan Haris yang memang usianya di atas mereka. Sementara itu Arman tersenyum puas melihat Lusi terkulai di ranjang. Dia memang sengaja melakukan itu. Karena ada satu ide cemerlang yang melintas di otaknya. "Otak kamu itu licik banget, Lus," ujar Arman sembari memainkan rambut panjang Lusi yang terpejam. Selain karena kelelahan efek obat tidur yang ia minum pun sudah bekerja."Jadi aku harus lebih ekstra menjerat kamu. Biar kamu gak bisa berkutik di hadapan aku," lanjut Arman dengan seringai miring. Tangan pria itu lantas meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping ranjang. Arman pun mulai menyalakan kamera. Tanpa buang waktu dia segera membuat video saat mencumbui Lusi. Bibir Arman tersungging ketika mel