Tanpa menunggu waktu lagi pemuda itu lekas meninggalkan Kakak dan temannya. Mata segera mencari keberadaan Leon. Akhirnya setelah mencari ke sana sini Gavin mendapatkan Leon. Pemuda itu sedang ngobrol asyik dengan kedua kakaknya, Lusi dan Livia. "Gue ada perlu sama lu," ujar Gavin langsung menarik tangan Leon. "Eh!" Leon cukup terkaget tiba-tiba langsung ditarik tangannya oleh Gavin. "Mau ke mana sih, Vin?" protesnya seraya melepas cengkraman tangan Gavin pada lengannya. Gavin tidak membalas. Dia terus saja menyeret Leon ke luar dari ballroom. Pemuda itu membawa Leon ke tempat yang sedikit sepi dan mepet tembok. "Apa sih, Vin?" kata Leon saat Gavin menyentakan tangannya. "Lu mau coba main-main sama gue?" kejar Gavin dengan tatapan sengit. "Maksud lu apa sih?" Leon sebenarnya paham alasan Gavin marah, tapi berlagak polos. "Kenapa elu kirim Abrina baju pantai? Sedangkan baju dari gue lu kirim ke rumahnya Anggini? Kenapa hah?" cecar Gavin sembari menarik ujung bajunya Leon. "Kata
"Abrina, tolong jangan buat papah malu, Nak," mohon Haris dengan air mata yang berkaca-kaca."Iya, Abrina. Masa sama papahnya sendiri gak mau ngaku. Durhaka nanti lho," timpal MC berdasi kupu-kupu ikut membela Haris."Tapi, saya gak mengenal Bapak ini, Kak," balas Abrina dengan menaikan dagunya, "kalo benar dia papah saya, kenapa tadi pas saya kejatuhan kue dan diketawain semua orang dia diam saja? Kenapa justru orang lain yang menolong?"Haris menelan ludahnya mendengar nada menggebu dari pertanyaan Abrina.Sementara Abrina justru menatap Haris dengan tenang."Papah saya sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu--""Abrina!" Kali ini Haris sampai menghardik mendengar pernyataan sang anak, "ingat nama kamu itu Abrina Harisanti Putri yang artinya kamu anak dari Haris dan Miranti. Asal kamu tahu saya yang memberikan nama itu karena saya adalah papahnya kamu," tuturnya sambil menunjuk dada sendiri.Para hadirin menyimak perdebatan antara ayah dan anak tersebut dengan serius. Kebanyakan d
"Makan, gue laper," balas Gavin tanpa menatap Abrina."Aduh, Vin, aku pengen balik nih," keluh Abrina tidak senang."Udah dibilang gue laper. Di pesta tadi belum makan, lu juga belum makan kan?" tebak Gavin sambil melirik, "dan inget gue itu bos lu. Jadi gak bisa lu nolak gue."Omongan andalan Gavin ampuh membungkam mulut Abrina. Gadis itu hanya bisa mendesah. Karena memang dirinya sudah sangat ingin pulang.Mobil Gavin berhenti di sebuah restoran. Ini kedua kalinya pemuda itu mengajak Abrina makan steik. Seperti biasa Gavin memilih daging kualitas satu."Kenapa cuma dilihatin doang? Ini mahal lho, Bi," tegur Gavin begitu melihat Abrina mendiami makanannya."Aku gak lapar," sahut Abrina datar.Gavin melanjutkan makannya. Dia hafal wataknya Abrina yang keras kepala. Makanya dirinya enggan jika harus memaksa gadis itu untuk makan."Lu marah sama gue?" tanya Gavin saat santapannya mulai tandas.Abrina tidak punya Gadis itu lebih suka memalingkan wajahnya ke arah lain."Jawab gue, Bina!"
"Sus, kenapa Al diam saja?" tanya Haris mulai heran.Matanya sesekali melirik sang putra yang berada di buaian suster. Namun, dirinya harus tetap fokus pada jalanan. Panik membuat Haris membawa mobil sendiri.Suster sendiri hanya menggeleng bingung. Perempuan muda itu mencoba menggoyang tubuh mungil Alsaki. Namun, bayi mungil empat bulan itu tetap diam.Haris yang panik langsung meletakkan telunjuknya di tepi hidungnya Alsaki. Bayi itu masih bernapas hanya saja lemah. Hal tersebut tentu membuat hati Haris tidak karuan.Pria itu menambah kecepatan mobilnya. Haris tidak mau hal buruk menimpa sang putra. Apapun akan dia lakukan untuk kesembuhan Alsaki. Termasuk mengebut di jalanan.Jalanan yang padat kendaraan membuat Haris harus pintar-pintar menyalip mobil-mobil di depannya. Ketika tengah membalap tiba-tiba dari arah berlawanan melintas sebuah truk yang cukup besar.Haris tentu kaget melihatnya. Namun, pria itu harus bertindak cepat jika ingin selamat. Akhirnya dia memilih untuk bantin
Ketika Bu dokter akan menjawab seorang perawat masuk. Gadis berseragam serba putih itu menyerahkan hasil foto rontgen pada Bu dokter. Bu Dokter sendiri justru memberikannya pada Haris begitu sang perawat berlalu."Kalo ditanya apakah itu sangat berbahaya, saya jawab cukup berbahaya," tutur Bu dokter kemudian, "karena jantung bocor ini Adik Al jadi susah bernapas, sering batuk, bibir lidah dan kuku jadi kebiruan, mudah lelah menyusu dan kurang berselera makan. Pastinya itu akan membuat Adik Al susah naik berat badannya dan pertumbuhannya akan terganggu."Haris diam untuk menyimak penuturan Bu dokter. "Lalu apa yang mesti dilakukan untuk menolong Alsaki?" tanyanya serius."Kami akan melakukan tindakan operasi Patching yaitu menambal katup jantung yang bocor dengan tambalan dari jaringan tubuh atau jaringan buatan."Haris mengangguk. "Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya, Dok," pintanya kemudian.Bu dokter dengan name tag Nadia itu mengangguk. "Insya Allah kami semua akan melaku
"Mas, jangan begitu! Gak baik ngomong pisah," mohon Lusi langsung memasang wajah sedih. "Oke, aku mohon maaf kalo niat baik aku gak berkenan di hati kamu," ucapnya kemudian. Haris tidak menggubris. Pria berlalu meninggalkan Lusi. Arahnya tertuju pada meja makan. "Livia dan Leon gak pernah merayakan ulang tahun dari kecil, apa aku salah kalo mau buat acara untuk Livia?" tanya Lusi terus mengikuti langkah sang suami. Lagi-lagi Haris tidak menyahut. Pria itu lebih memilih untuk membuka tudung saji. Ada rawon, telur asin, dan sayur kacang panjang sebagai hidangan makan malam. "Mas, jangan diam saja, jawab dong!" seru Lusi sembari memegang lengannya Haris. "Bisa diam gak!" sentak Haris kesal. Matanya menatap Lusi dengan tajam. "Tahu gak kamu? Berjam-jam aku menahan lapar untuk mengurusi Al sendiri. Jadi tolong, jangan ganggu aku dulu," mohonnya serius. Kali ini Lusi menutup mulut. Wanita itu memperhatikan Haris yang mulai menyiduk nasi dan lauk. Sang suami perlahan mulai menyuap nasi
"Ayo kita ke rumah sakit!" ajak Haris pada Lusi dengan dingin. "Iya." Lusi langsung mengangguk semangat. Perempuan itu lekas menyusul langkah lebar-lebar Haris. Lusi agak menggerutu karena sang suami tidak menunggunya. Sementara dirinya susah bergerak cepat sebab mengenakan sepatu dengan hak sepuluh centimeter. Di dalam mobil pun Haris enggan berdekatan dengan Lusi. Laki-laki itu memilih untuk duduk mendampingi Pak Nono. Sedangkan Lusi di jok belakangnya. Beberapa kali pertanyaan dari Lusi pun Haris abaikan. Dirinya hanya mau berbicara dengan sang sopir. Tiba di rumah sakit Haris pun tetap tidak memedulikan sang istri. Dirinya tetap melangkah panjang-panjang. Meninggalkan Lusi yang harus terseok-seok mengikuti derap jalannya. Hingga akhirnya Haris tiba di kamar inap sang putra. Sebelum pulang pria itu sudah memilihkan kamar yang terbaik untuk Alsaki. Suster Eva benar, ketika Haris dan Lusi masuk bayi mereka tengah menangis. Mungkin karena terlalu lama menangis suara Alsaki sampa
Armando menutup panggilannya. Dia lantas melempar begitu saja iPhone pemberian dari Lusi. Benar saat ini hidupnya sudah ditanggung oleh istrinya Haris tersebut. Masih ingat betul dua setengah tahun yang lalu, hidup Armando masih cukup susah. Meski menyandang gelar sarjana fisioterapi, tapi saat itu dirinya belum mendapatkan pekerjaan yang mentereng hingga akhirnya nasib mempertemukan Armando dengan keluarga Haris. Termasuk Lusi, perempuan yang menjadi patner in crime-nya. Masih jelas dalam ingatan ketika tengah bingung karena belum bayar kos-kosan, Arman mendapat kabar baik. Bos di klinik tempatnya bekerja memberi tahu jika tenaganya dibutuhkan oleh istri seorang pengusaha. Setelah membaca kartu nama yang diberikan oleh owner tempatnya bekerja, Arman segera meluncur ke alamat yang tertera. Alamat rumah Haris tentunya. Dia yang kala itu belum punya kendaraan roda empat datang ke rumah Haris dengan menaiki sepeda motor biasa. Orang pertama yang membukakan pintu untuk laki-laki itu ad
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar