Home / Pernikahan / Gairah Panas Suami Kontrak / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Gairah Panas Suami Kontrak: Chapter 1 - Chapter 10

53 Chapters

1. Usulan Dua Sahabat

“Loh, kok suami kamu beda? Bukannya pas kita reuni tahun lalu kamu bawa suami yang wajahnya kayak orang Arab itu?” Aku bertanya dengan heran. Sebab, wajah lelaki yang ia sebut sebagai suami itu jauh berbeda dengan lelaki sebelumnya. Tidak ada kemiripan sama sekali. “Oh, yang itu suami kedua aku. Yang ini suami keempat.” Suya menjawab dengan santai. Seolah tidak ada beban sama sekali. Lelaki yang duduk di sebelah kanannya itu juga terlihat tidak masalah saat Suya berucap demikian. “Loh, kok bisa?” Aku benar-benar terkejut mendengar jawabannya. Hanya berjarak satu tahun, ia telah kawin cerai dua kali. “Kalau ada uang, apa sih yang enggak bisa?” Lidia ikut menimpali. “Kamu kalau mau, bisa aku kenalin ke temen-temen. Barangkali ada yang mau. Syukur-syukur kalau kontraknya dibayar mahal.” Suya menawarkan. Aku semakin bingung. Tidak paham sama sekali. Kusipitkan mata seraya mengerutkan kening saat menatap wanita itu. “Kawin kontrak, entar ada perjanjian sebelum akad. Perkawinan kalian
Read more

2. Lelaki Pilihan

“Mas, aku mau ngomong serius sama kamu.” Kuremas lembut jemari Mas Irsan ketika kami tengah berdiskusi menjelang tidur seperti biasa. Lelaki berhidung mancung itu menatapku lamat-lamat. Membalas remasan jemariku dengan begitu lembut. Aku terdiam sejenak, memberi jeda sebelum kembali berucap. Kutatap sepasang mata tajam itu dengan sangat dalam. Ada kerinduan yang kutangkap dari sorot matanya. “Kau ada masalah di kantor?” Ia bertanya dengan lembut. Diselipkannya rambutku ke telinga ketika beberapa helai dari mereka menghalangi wajahku dari pandangannya. Aku menggeleng pelan. Masih mencoba menyusun kalimat yang tepat agar Mas Irsan tidak salah paham. Ia lelaki yang baik, suami penyayang dan penuh perhatian. Aku tidak tahan jika terus melihatnya dalam kondisi seburuk ini. Aku ingin ia bisa seperti sedia kala. Berjalan dengan baik seperti sebelum kecelakaan itu terjadi. “Aku akan bekerja ke luar kota untuk waktu yang lama.” Aku berucap dengan lemah. Mengikuti saran Suya agar memasukka
Read more

3. Tawar Menawar

“Kamu gak kerja?” Mas Irsan bertanya ketika ia melihatku mengenakan pakaian yang tidak biasa. Setelan ini kudapat dari Suya kemarin, katanya agar lebih menarik ketika bertemu dengan Celoz nanti. “Aku ada meeting penting di luar, katanya harus berpenampilan menarik.” Ternyata sekali berbohong saja tidak cukup. Butuh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. “Itu terlalu terbuka, Sayang. Aku gak suka.” Mas Irsan protes. Sebab dress yang diberikan Suya memang hanya sebatas paha. Lengannya juga hanya seluas dua jari. Mas Irsan memutar kursi roda hingga ia mentok dengan lemari. Kemudian membukanya dan berusaha untuk meraih outer lengan panjang. Aku tersenyum saat ia menyodorkan outer itu. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Tidak ingin istrinya menjadi pusat perhatian orang-orang. Cukup ia saja yang menikmati apa yang ada pada tubuhku. “Aku berangkat ya, Mas.” Kukecup pipinya setelah outer yang ia berikan kukenakan. Lelaki itu hanya mengangguk dengan lemb
Read more

4. Tanda Tangan Kontrak

“Hari ini kamu gak masuk kantor lagi?” Mas Irsan datang menghampiri dengan kursi rodanya. Aku lekas menutup laptop yang masih menyala, sebab tidak ingin ia tahu bahwa aku tengah mengetik surat resign dari tempat bekerja. Tawaran dari Celoz sudah pasti akan kuterima, jadi surat pengunduran diri harus secepatnya aku kirim ke kantor. “Aku lagi nyiapin file buat kerja ke luar kota, Mas. Entar siang ada meeting lagi buat bahas masalah keberangkatan.” Entah kebohongan yang keberapa lagi ini. Aku tidak menghitung telah berapa banyak kebohongan yang sudah aku lontarkan padanya. Terdengar helaan napas berat berasal dari Mas Irsan. “Kamu beneran bakal berangkat?” Nada bicaranya begitu lemah. Aku berbalik, memutar kursi agar berhadapan dengan Mas Irsan. Ekspresi wajah itu sungguh tidak ingin kulihat. Wajah tampan yang diselimuti oleh banyak kegelisahan. Ia selalu menyalahkan diri sendiri atas kondisinya saat ini. Berusaha terus mengirim lamaran pekerjaan yang kiranya bisa menerima fisiknya
Read more

5. Mas, Sentuh Aku!

Mobil melaju dengan begitu pelan. Seolah Celoz sengaja memperlambat perjalanan agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara denganku. Jantung tidak bisa kukendalikan saat tangan itu berusaha menggenggam dan meremas jemariku. Cepat, kutarik dan sembunyikan kedua tangan di antara paha. Tidak ingin ia menemukannya. Aku tidak pernah merasa setakut ini saat berinteraksi dengan orang lain. Wajahnya memang tidak menyeramkan, tapi auranya begitu menakutkan. Ada banyak tanya yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, aku hanya menjawab sesekali. Seperlunya saja. Kurasakan getaran di kedua lutut dan jemari saat telapak tangannya mencoba untuk mengelus pangkal pahaku dari luar. Ia cukup liar. Kusingkirkan tangan itu dengan kasar, sebab elusan lembutnya membuat libidoku sebagai wanita dewasa langsung naik seketika, karena telah lama tidak mendapatkan sentuhan batin dari Mas Irsan. Terdengar nyengiran kecil berasal dari Celoz saat ia menatap wajah yang kini kurasa tengah memerah menahan
Read more

6. Suamimu Ingin Tahu

“Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi. “Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seray
Read more

7. Ancaman Celoz

Aku terdiam cukup lama. Menatap Celoz dengan tajam, mengutuknya dalam hati karena telah memunculkan diri. Aku lebih takut Mas irsan tahu tentang dirinya dibanding ia marah karena tahu aku masih memiliki suami. Celoz menunjukkan deretan giginya yang rapi saat aku semakin tajam dalam menatap. Seolah ia sengaja menyiksaku dengan perasaan gelisah ini. “Sebentar, ya, Mas.” Aku menoleh pada Mas Irsan. Melepas genggaman pada tangannya, lalu bangkit berdiri seraya menarik Celoz untuk menjauh dari sana. Celoz tidak protes saat langkahnya sedikit terseret. “Bagus, kau sudah menipuku.” Celoz menatap dengan begitu tajam setelah aku berhenti melangkah cukup jauh dari Mas Irsan, namun masih bisa kuperhatikan suamiku itu dari tempatku berdiri sekarang. Aku menarik napas dalam. Mencoba untuk mengontrol perasaan. Kulepas cengkeraman pada pergelangan Celoz. Berapa kali pun napas kuhela dengan dalam, tetap saja rasa gelisah itu enggan untuk menghilang. “Jangan beritahu suamiku tentangmu. Dia sedan
Read more

8. Dia Sudah Gila

Dua koper telah tergeletak di sudut kamar. Kontrak sama sekali tidak bisa dibatalkan. Suya juga menyarankan agar tetap berjalan sesuai perjanjian, sebab ada penalti yang tertera di sana. Dan sudah pasti aku tidak ada uang untuk membayarnya. Aku menyiapkan semua keperluan. Meskipun Celoz berkata tidak perlu membawa apa-apa, sebab Mas irsan akan curiga jika aku berangkat hanya membawa badan. Aku menoleh pada Mas Irsan, ia berusaha ikut membantu sebisanya. Di wajah itu terlihat dengan jelas penolakan atas keputusan untuk tetap berangkat. Ponsel yang tergeletak di ranjang berdenting, aku bangkit berdiri, meraih benda pipih itu untuk memeriksa pesan masuk. [Kau bahkan berbohong mengenai rumahmu.] Celoz mengirim pesan disertai gambar halaman depan. Aku beranjak menuju jendela, melongok ke luar menatap sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Menerima pesan itu membuatku merasa begitu ketakutan. Sebab, Mas Irsan akan kutinggal. Sementara Celoz pernah mengancam. Ini sungguh menimbulkan perdebatan
Read more

9. Koleksi Aneh Milik Celoz

Mobil berhenti di sebuah parkiran apartemen mewah pusat ibu kota. Aku turun setelah Celoz turun lebih dulu. Berjalan menuju bagasi, hendak mengambil barang-barang. Namun, langkahku langsung dicekal olehnya. “Tinggalkan saja, barangmu hanya akan menyesakkan apartemenku.” Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya, selalu terdengar seperti sebuah perintah yang harus dilakukan. “Baju-bajuku?” Aku protes, sebab tidak mungkin tidak ada baju ganti sama sekali yang harus kubawa.“Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau hanya tinggal pakai sesuai apa yang aku minta.” “Tidak bisa begitu.” Aku menolak. “Tidak ada penolakan.” Ia berucap dengan tegas. “Barang-barangmu akan aku buang. Aku sudah berkata kau tidak perlu membawa apa-apa.” Ia tampak kesal karena aku tidak menuruti semua permintaannya. “Tunggu, aku hanya ingin mengambil satu barang.” Aku sedikit memaksa, meminta agar ia membukakan bagasi untukku. Ada yang ingin kuambil di dalam koper. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Celoz membukaka
Read more

10. Dia Tidak Cacat

Aku lekas keluar kamar dengan dada berdebar setelah merasa ini semua tidak benar. Rasa takut itu semakin menelusup jauh ke dalam rongga dada. Jauh lebih takut dari perasaan sebelumnya. Ada banyak hal yang begitu mencurigakan dari lelaki itu. Apalagi setelah melihat semua koleksi miliknya.“Sedang apa kau?” Pertanyaan itu membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya sedetik setelah pintu tertutup dengan rapat. Aku menoleh pada sumber suara, Celoz telah kembali entah dari mana. Ia menenteng sesuatu di tangan kanannya. Detak jantung semakin tidak bisa kukendalikan. Tatapan Celoz membuatku selalu merasa begitu terintimidasi. Aku hanya diam dengan lutut gemetar. Menjauh dari pintu kamar. “Lekas mandi dan ganti pakaianmu dengan ini.” Ia menyerahkan paperbag padaku. Aku menerima ulurannya dengan ragu. Lalu, beranjak menuju kamar utama untuk melakukan apa yang telah ia minta. Kuletakkan paperbag itu di atas ranjang, kemudian lekas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kel
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status