“Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi.
“Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seraya memilih pakaian di lemari. “Celoz. Tadi aku angkat langsung mati. Gak ngomong apa-apa. Celoz itu siapa? Teman baru? Kapan kenalnya? Kok kamu gak ada cerita ke aku?” Mas Irsan langsung menyerbu dengan banyak pertanyaan. Ada nada curiga yang kutangkap dari caranya bertanya. Aku terdiam sejenak. Mencoba untuk bersikap biasa saja. Sementara jantung tengah bekerja tidak sebagaimana semestinya. Degupan itu bahkan bisa kudengar dengan jelas. “Dia rekan kerja yang bakalan jadi partner-ku di luar kota nanti, Mas.” Aku sedikit gugup dalam menjawab. Takut Mas Irsan akan tahu siapa lelaki itu. Sulit bagiku jika harus terus mengucap kebohongan demi kebohongan padanya. “Berdua aja? Dia udah nikah? Orangnya gimana?” Ia terdengar sangat ingin tahu. Aku menarik napas berat. Mengabaikan pertanyaan itu sebentar, selama aku mengenakan pakaian. Aku duduk di tepian ranjang. Tepat di hadapan Mas Irsan setelah pakaian melekat di badan. Ia tengah cemburu, aku bisa merasakan itu. Jadi, harus memberikan ia pengertian terlebih dahulu. Kembali mencekoki ia dengan banyak kebohongan. Untunglah Mas Irsan percaya begitu saja. Ponselku berdenting beberapa kali, pertanda bahwa ada pesan yang masuk. Aku bangkit berdiri, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ada banyak pesan masuk yang datang dari Celoz. [Kau bersama lelaki?][Siapa dia?][Aku tidak suka kau berinteraksi dengan lelaki mana pun.] [Kenapa ponselmu ada padanya?][Putuskan hubungan dengannya!]Belum apa-apa saja, Celoz sudah memberikan peringatan. Ia terlihat begitu posesif. Aku semakin ragu untuk melanjutkan. Namun, kontrak telah ditandatangani dua hari lalu. Cukup berat jika harus membayar penalti sebanyak itu, apalagi ekonomi sedang benar-benar sulit sekarang. “Ada apa, kenapa kau jadi pucat begitu?” Mas Irsan bertanya seraya berusaha mendekat. Segera kumatikan layar ponsel, kemudian tersenyum menatap Mas irsan. “Gak papa, Mas.” Aku berusaha untuk bersikap baik-baik saja. Meskipun pada nyatanya ada batu besar yang tengah kupikul di pundak. ***Aku meminta saran pada Suya tentang hubungan yang akan terjalin antara aku dan Celoz. Kuberitahu wanita itu tentang semua sikap dan perlakuan Celoz selama beberapa hari ini. Ia selalu mengirim pesan setiap hari, ingin tahu aku tengah di mana. Juga tentang perlakuannya yang menurutku sedikit kurang ajar ketika di mobil waktu itu. Aku sungguh menjadi semakin ragu. Memiliki firasat tidak baik akan itu. Namun, Suya meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia bertanya setiap poin yang tertera di dalam kontrak. Aku menyebut intinya saja. Dan ia berkata tidak ada yang salah dalam perjanjian itu. Lusa aku akan pergi, Mas Irsan kutitipkan pada Reviana. Selama beberapa hari ini, aku suka dengan caranya bekerja. Jadi, aku benar-benar telah percaya padanya. Hari ini aku menemani Mas Irsan ke rumah sakit. Ia merasa sakit di pinggang setelah aku naiki secara paksa di hari itu. Tampaknya salah urat. Ia selalu merasa nyeri setiap hari, dan baru hari ini ia mengatakan itu padaku. Setelah ia merasa nyerinya sudah tidak tertahan lagi. “Kamu kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat ngasih tau aku, Mas. Jangan mikir masalah biaya. Kesehatan kamu paling penting buat aku.” Aku protes padanya, sebab pinggang belakang bagian atasnya tampak bengkak dan sedikit lebam saat diperiksa oleh dokter. Pantas saja beberapa hari ini ia tidak ingin kumandikan. Katanya ingin belajar mandi sendiri. Ternyata ia hanya ingin menutupi lukanya dariku. “Ini keseleo.” Dokter berucap setelah ia memeriksa luka itu. “Kalau diurut dengan cepat, tidak akan bengkak seperti ini. Ini karena dibiarkan untuk waktu yang lama. Pasti sakit ketika bergerak, karena keseleonya ada di pinggang.” Dokter itu menjelaskan. Setelah diurut dan diolesi dengan minyak oleh dokter, Mas Irsan merasa sedikit baikan. Sejalan dengan bengkak yang perlahan mengempes. Kami tidak langsung pulang sehabis dari rumah sakit. Aku ingin menghabiskan waktu beberapa hari ini dengan berjalan bersama Mas Irsan. Sebab, tidak akan bisa bertemu lagi dalam waktu yang lama. Aku membawa Mas Irsan menuju taman. Membeli gulali, lalu mendorong kursi rodanya menuju pinggir danau. Membantunya untuk turun dari kursi roda, lalu duduk berdampingan seraya menikmati gulali di tangan. Seperti dejavu, aku merasa ini seakan mengulang kencan pertama kami dulu. Duduk di atas rumput yang sedikit basah, menikmati angin sepoi-sepoi yang menampar lembut kulit wajah. “Kamu ingat kencan pertama kita dulu, Mas? Aku masih malu untuk memegang tanganmu waktu itu.” Aku berucap seraya menggenggam dan meremas lembut jemarinya. Mas Irsan hanya diam. Meskipun aku tengah menatap jauh ke depan sana, aku bisa merasakan bahwa ia tengah menatapku. Sejenak, keheningan mengukung kami. Aku melingkarkan lengan ke pinggang Mas Irsan, lalu menyenderkan kepala ke bahunya. Kurasakan elusan dan usapan lembut di puncak kepala. “Aku mencintaimu.” Lelaki itu berbisik dengan lembut, bisikannya menantang deru angin yang menerbangkan anak-anak rambut. Ponsel kembali berdenting. Aku merasa begitu terganggu setelah mengenal Celoz. Lelaki itu menghubungi tidak pernah mengenal waktu. Kusenyapkan notifikasi ponsel agar tidak ada lagi yang menjadi pengganggu saat-saat kebersamaanku dengan Mas Irsan. “Kenapa kau mau berjuang mati-matian untukku? Sementara kau bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku? Harusnya kau tinggalkan saja aku.” Mas Irsan berucap dengan nada begitu lemah. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan bodoh itu. “Kau cantik, Na, bisa dapat penggantiku dengan cepat. Jangan mau dibebani olehku. Kau sudah bertahan lima bulan ini, itu sudah lebih dari cukup. Dokter juga berkata sulit buat kakiku bisa sembuh.” Mas Irsan kembali melanjutkan. Aku mendongak, menoleh dan menatapnya dengan begitu lekat. Garis wajah itu tampak begitu sempurna. “Kau memilihku ketika kedua orangtuamu menolakku karena aku anak panti. Gak jelas siapa ibu bapaknya. Anak gak punya. Meninggalkan kemewahan hidupmu untuk hidup denganku. Kurasa itu gak sebanding dengan usahaku untukmu, Mas. Pengorbananmu jauh lebih besar.” Aku berucap dengan suara parau. Menahan tangisan. “Kita cuma bisa ngandelin satu sama lain. Gak ada yang bisa kita harapin.” Aku meremas ujung kemejanya dengan kuat. Sebuah batu yang mendarat di hadapan kami membuyarkan obrolan. Percikan air itu membasahi beberapa bagian dari tubuh kami. Kuusap pipi Mas Irsan yang basah karena percikan itu. “Hei, gak sopan!” Aku menegur. Lalu menatap sekitar, mencari si pelaku.“Kurasa aku mengenalmu.” Celoz berucap dengan santai seraya memainkan batu di genggamannya. Ia menatapku dengan sorot seperti biasa. Seakan ingin menerkam. Aku terbelalak saat menatap lelaki itu. Membatu dalam sekejap ketika ia memilih duduk di sisi kananku. Lalu kembali melempar batu, kali ini lemparannya jauh ke depan sana. “Kau mengenalnya?” Mas Irsan bertanya dengan nada ingin tahu. Aku tidak sanggup membuka mulut. Sungguh, melihat Celoz berada di sini seolah membuatku jadi tidak ada keberanian sama sekali. Dengan senyum yang selalu melekat di bibirnya, Celoz tiba-tiba berucap dengan santai, “Suamimu ingin tahu. Sebaiknya, kau perkenalkan diriku.”Aku terdiam cukup lama. Menatap Celoz dengan tajam, mengutuknya dalam hati karena telah memunculkan diri. Aku lebih takut Mas irsan tahu tentang dirinya dibanding ia marah karena tahu aku masih memiliki suami. Celoz menunjukkan deretan giginya yang rapi saat aku semakin tajam dalam menatap. Seolah ia sengaja menyiksaku dengan perasaan gelisah ini. “Sebentar, ya, Mas.” Aku menoleh pada Mas Irsan. Melepas genggaman pada tangannya, lalu bangkit berdiri seraya menarik Celoz untuk menjauh dari sana. Celoz tidak protes saat langkahnya sedikit terseret. “Bagus, kau sudah menipuku.” Celoz menatap dengan begitu tajam setelah aku berhenti melangkah cukup jauh dari Mas Irsan, namun masih bisa kuperhatikan suamiku itu dari tempatku berdiri sekarang. Aku menarik napas dalam. Mencoba untuk mengontrol perasaan. Kulepas cengkeraman pada pergelangan Celoz. Berapa kali pun napas kuhela dengan dalam, tetap saja rasa gelisah itu enggan untuk menghilang. “Jangan beritahu suamiku tentangmu. Dia sedan
Dua koper telah tergeletak di sudut kamar. Kontrak sama sekali tidak bisa dibatalkan. Suya juga menyarankan agar tetap berjalan sesuai perjanjian, sebab ada penalti yang tertera di sana. Dan sudah pasti aku tidak ada uang untuk membayarnya. Aku menyiapkan semua keperluan. Meskipun Celoz berkata tidak perlu membawa apa-apa, sebab Mas irsan akan curiga jika aku berangkat hanya membawa badan. Aku menoleh pada Mas Irsan, ia berusaha ikut membantu sebisanya. Di wajah itu terlihat dengan jelas penolakan atas keputusan untuk tetap berangkat. Ponsel yang tergeletak di ranjang berdenting, aku bangkit berdiri, meraih benda pipih itu untuk memeriksa pesan masuk. [Kau bahkan berbohong mengenai rumahmu.] Celoz mengirim pesan disertai gambar halaman depan. Aku beranjak menuju jendela, melongok ke luar menatap sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Menerima pesan itu membuatku merasa begitu ketakutan. Sebab, Mas Irsan akan kutinggal. Sementara Celoz pernah mengancam. Ini sungguh menimbulkan perdebatan
Mobil berhenti di sebuah parkiran apartemen mewah pusat ibu kota. Aku turun setelah Celoz turun lebih dulu. Berjalan menuju bagasi, hendak mengambil barang-barang. Namun, langkahku langsung dicekal olehnya. “Tinggalkan saja, barangmu hanya akan menyesakkan apartemenku.” Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya, selalu terdengar seperti sebuah perintah yang harus dilakukan. “Baju-bajuku?” Aku protes, sebab tidak mungkin tidak ada baju ganti sama sekali yang harus kubawa.“Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau hanya tinggal pakai sesuai apa yang aku minta.” “Tidak bisa begitu.” Aku menolak. “Tidak ada penolakan.” Ia berucap dengan tegas. “Barang-barangmu akan aku buang. Aku sudah berkata kau tidak perlu membawa apa-apa.” Ia tampak kesal karena aku tidak menuruti semua permintaannya. “Tunggu, aku hanya ingin mengambil satu barang.” Aku sedikit memaksa, meminta agar ia membukakan bagasi untukku. Ada yang ingin kuambil di dalam koper. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Celoz membukaka
Aku lekas keluar kamar dengan dada berdebar setelah merasa ini semua tidak benar. Rasa takut itu semakin menelusup jauh ke dalam rongga dada. Jauh lebih takut dari perasaan sebelumnya. Ada banyak hal yang begitu mencurigakan dari lelaki itu. Apalagi setelah melihat semua koleksi miliknya.“Sedang apa kau?” Pertanyaan itu membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya sedetik setelah pintu tertutup dengan rapat. Aku menoleh pada sumber suara, Celoz telah kembali entah dari mana. Ia menenteng sesuatu di tangan kanannya. Detak jantung semakin tidak bisa kukendalikan. Tatapan Celoz membuatku selalu merasa begitu terintimidasi. Aku hanya diam dengan lutut gemetar. Menjauh dari pintu kamar. “Lekas mandi dan ganti pakaianmu dengan ini.” Ia menyerahkan paperbag padaku. Aku menerima ulurannya dengan ragu. Lalu, beranjak menuju kamar utama untuk melakukan apa yang telah ia minta. Kuletakkan paperbag itu di atas ranjang, kemudian lekas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kel
Ekspresi Celoz selalu berubah ketika aku membahas mengenai Masalah Irsan. Sekarang aku tahu apa hal yang tidak ia sukai, setidaknya aku bisa meminimalisir kekesalannya.Mobil berhenti ketika kami tiba kembali di parkiran apartemen. Hari sudah mulai memasuki petang. Aku mengikuti setiap langkah lelaki itu menuju apartemen miliknya. “Kau masuklah dan tunggu di dalam. Aku akan segera kembali.” Celoz berucap setelah ia membukakan pintu untukku. “Kau mau ke mana?” Aku menahan pintu saat ia hendak menutup kembali. “Kau tidak perlu tahu.”“Setidaknya beritahu aku kode pintu, biar aku bisa keluar jika butuh sesuatu.” Aku menatap dengan penuh harap. Jika ia memberitahu kodenya, aku bisa kabur sewaktu-waktu jika seandainya ia memang seburuk yang ada dalam pikiranku. “Kau tidak butuh itu. Aku sudah menyiapkan semua keperluanmu di dalam sana.” Ia menutup pintu dengan cepat setelah berucap demikian. Aku dikurung sendirian. Aku berdecak kesal. Ternyata ia tidak mudah untuk dibodohi. Bahkan unt
Aku bersyukur tidak terjadi apa pun di antar kami hingga pagi ini. Celoz hanya tidur di ranjang, tidak ingin menyentuh sama sekali. Ia tampak begitu lelah, hingga masih terlelap saat aku terbangun dari tidur. Aku turun dari ranjang, memilah pakaian di lemari. Yang sekiranya paling tertutup di antara baju yang tergantung di sana. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Celoz masih larut dalam tidurnya saat aku keluar dari kamar mandi. Aku meraih ponsel yang mati sejak semalam, menyalakannya kembali. Ada banyak notif pesan masuk dari Mas Irsan. Dugaanku benar, dia mengira aku marah karena perdebatan semalam. Aku berjalan menuju luar, duduk dengan lembut di sofa sembari mengetik pesan balasan. [Hpku lowbat semalam, Mas. Maaf udah buat kamu khawatir.] Centang abu langsung berubah jadi biru. Tampaknya ia memang menunggu kabar dariku. [Aku gak bisa tidur karena mikirin kamu.] Pesan balasan langsung datang tidak sampai semenit kemudian. Aku menghela napas dalam. “Nina!” Celoz memanggil
Kurasakan kedua lutut gemetar saat ia mendekat dengan sabuk itu. Sabuk hitam panjang yang terbuat dari kulit. Rasa takut telah berada di puncak paling tinggi sekarang. Sedetik pun tidak kualihkan pandang darinya, berjaga-jaga jika ia ingin melecut dengan sabuk itu. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Aku menarik napas lega saat Celoz berbalik dan berjalan menuju televisi. Berpikir bahwa ia akan mengurungkan niatnya untuk bercinta. Ternyata dugaanku salah. Ia ke sana untuk memutar dvd. Menayangkan pertempuran hebat antara seorang wanita dengan tiga lelaki.Celoz kembali mendekat padaku, ia memaksa agar aku menonton video itu. Menahan wajahku agar tidak mengalihkan pandang sedikitpun dari layar televisi di depan sana. Perutku rasanya diaduk saat menonton tayangan wanita yang disiksa saat bercinta. Aku menutup mata, tidak sanggup menyaksikan semuanya. “Buka matamu!” Celoz membentak. Pipiku dicengkeramnya dengan kuat. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan jidat. Kini bukan hanya ka
“Buka pintunya, Nina!” Celoz mengetuk pintu agak keras. Aku tetap diam, tidak ingin membukakan. Semua hal yang telah ia lakukan, menciptakan rasa takut yang dalam. Mendengar suaranya saja bahkan membuat jantungku berdetak dengan sangat kencang. “Sayang, buka pintunya!” Kali ini ia menggunakan kata sayang di ujung namaku. Panggilannya begitu sopan memasuki lubang telinga. Begitu lembut membentur indra pendengaran. Namun, aku tetap memilih diam. Sama sekali tidak ingin membukakan. “Jangan buat aku marah, Nina!” Nada bicaranya mulai terdengar berubah. Kuusap wajah yang basah karena air mata. Menarik napas dalam, kemudian membuka pintu dengan pelan. Tatapan itu langsung menyambut dengan lembut. Senyum di bibirnya semakin membuatku merasa takut. “Kau baik-baik saja?” Ia bertanya seolah menaruh peduli, sementara luka lebam dan bengkak di tubuhku adalah hasil dari kekejamannya. Aku hanya diam, bahu masih naik turun karena isak yang tidak bisa dihentikan. Aku mundur saat Celoz mengang
“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di
Aku menoleh sekitar seraya menarik koper berwarna biru terang. Was-was jika Celoz sampai tahu. Berlari cepat saat taksi online yang kupesan telah tiba di depan gerbang sana. Mas Irsan setuju ketika rencana yang harusnya minggu depan, dimajukan pagi ini. Kuminta sang supir untuk lekas menancap gas menuju tempat tujuan sebelum Celoz datang lagi. Ia memang baru beberapa saat yang lalu pergi meninggalkan tempat ini, tapi siapa yang tahu jika ia tiba-tiba kembali karena ketinggalan sesuatu?[Aku udah berangkat.] Kukirim pesan pada Mas Irsan dan Suya. Jantung berdegup dengan sangat cepat. Berdebar, bukan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan lelaki yang aku cintai. Namun, karena khawatir ia menolak kehadiranku dengan kondisi perut membuncit seperti ini. [Oke. Kabari aku kalau terjadi sesuatu.] Suya mengirim balasan. Sementara dari Mas Irsan tidak ada balasan sama sekali. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, terasa begitu lama. Sebab jantung yang enggan untuk berdetak seperti biasa
“Kau mencari sesuatu?” Aku bertanya saat Celoz tampak tengah sibuk menggeledah pakaian yang tengah ia kenakan, juga bolak-balik mengitari seluruh sudut yang ada di apartemen. “Kau melihat kartuku?” “ATM?” “Bukan.”“Kartu kredit?” Ia berdesis pelan. “Kartu akses untuk keluar masuk apartemen.”Aku berbohong dengan mengatakan tidak melihat sama sekali. Sementara kartu itu telah kusimpan di tempat yang aman tadi malam. Saat ia meminta dimasakkan makanan enak. Aku ikut serta untuk mencari agar ia tidak curiga. Ikut sibuk membolak-balik apa yang bisa dibalik. Mulai dari sofa hingga ke ranjang sana. Ponsel yang ada di saku celananya berdering, membuat dirinya semakin terlihat begitu gelisah. Panggilan itu ia tolak seraya terus berusaha mencari kartu. “Coba ingat semalam kau letakkan di mana?” Aku menunjukkan simpati. “Setelah membuka pintu, sengaja tidak kumasukkan kembali ke dompet. Karena berpikir akan lekas keluar.” Ia menjawab tanpa menoleh sama sekali. Aku tersenyum melihat ia
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta