Share

51. Cerai

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2023-07-15 10:23:17

Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku.

Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku.

Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi.

Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari.

Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rna
luu jadi wanita plin plan mau sana sini harusnya milih mau sama siapa !!! ada masalah sama yg ini mau sama yg ono bolak balek gitu aja terus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Gairah Panas Suami Kontrak   52. Menyembunyikan Kelahiran Bayi Kembar

    Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke

    Last Updated : 2023-07-15
  • Gairah Panas Suami Kontrak   53. Tamat

    “Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari

    Last Updated : 2023-07-15
  • Gairah Panas Suami Kontrak   1. Usulan Dua Sahabat

    “Loh, kok suami kamu beda? Bukannya pas kita reuni tahun lalu kamu bawa suami yang wajahnya kayak orang Arab itu?” Aku bertanya dengan heran. Sebab, wajah lelaki yang ia sebut sebagai suami itu jauh berbeda dengan lelaki sebelumnya. Tidak ada kemiripan sama sekali. “Oh, yang itu suami kedua aku. Yang ini suami keempat.” Suya menjawab dengan santai. Seolah tidak ada beban sama sekali. Lelaki yang duduk di sebelah kanannya itu juga terlihat tidak masalah saat Suya berucap demikian. “Loh, kok bisa?” Aku benar-benar terkejut mendengar jawabannya. Hanya berjarak satu tahun, ia telah kawin cerai dua kali. “Kalau ada uang, apa sih yang enggak bisa?” Lidia ikut menimpali. “Kamu kalau mau, bisa aku kenalin ke temen-temen. Barangkali ada yang mau. Syukur-syukur kalau kontraknya dibayar mahal.” Suya menawarkan. Aku semakin bingung. Tidak paham sama sekali. Kusipitkan mata seraya mengerutkan kening saat menatap wanita itu. “Kawin kontrak, entar ada perjanjian sebelum akad. Perkawinan kalian

    Last Updated : 2023-06-23
  • Gairah Panas Suami Kontrak   2. Lelaki Pilihan

    “Mas, aku mau ngomong serius sama kamu.” Kuremas lembut jemari Mas Irsan ketika kami tengah berdiskusi menjelang tidur seperti biasa. Lelaki berhidung mancung itu menatapku lamat-lamat. Membalas remasan jemariku dengan begitu lembut. Aku terdiam sejenak, memberi jeda sebelum kembali berucap. Kutatap sepasang mata tajam itu dengan sangat dalam. Ada kerinduan yang kutangkap dari sorot matanya. “Kau ada masalah di kantor?” Ia bertanya dengan lembut. Diselipkannya rambutku ke telinga ketika beberapa helai dari mereka menghalangi wajahku dari pandangannya. Aku menggeleng pelan. Masih mencoba menyusun kalimat yang tepat agar Mas Irsan tidak salah paham. Ia lelaki yang baik, suami penyayang dan penuh perhatian. Aku tidak tahan jika terus melihatnya dalam kondisi seburuk ini. Aku ingin ia bisa seperti sedia kala. Berjalan dengan baik seperti sebelum kecelakaan itu terjadi. “Aku akan bekerja ke luar kota untuk waktu yang lama.” Aku berucap dengan lemah. Mengikuti saran Suya agar memasukka

    Last Updated : 2023-06-23
  • Gairah Panas Suami Kontrak   3. Tawar Menawar

    “Kamu gak kerja?” Mas Irsan bertanya ketika ia melihatku mengenakan pakaian yang tidak biasa. Setelan ini kudapat dari Suya kemarin, katanya agar lebih menarik ketika bertemu dengan Celoz nanti. “Aku ada meeting penting di luar, katanya harus berpenampilan menarik.” Ternyata sekali berbohong saja tidak cukup. Butuh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. “Itu terlalu terbuka, Sayang. Aku gak suka.” Mas Irsan protes. Sebab dress yang diberikan Suya memang hanya sebatas paha. Lengannya juga hanya seluas dua jari. Mas Irsan memutar kursi roda hingga ia mentok dengan lemari. Kemudian membukanya dan berusaha untuk meraih outer lengan panjang. Aku tersenyum saat ia menyodorkan outer itu. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Tidak ingin istrinya menjadi pusat perhatian orang-orang. Cukup ia saja yang menikmati apa yang ada pada tubuhku. “Aku berangkat ya, Mas.” Kukecup pipinya setelah outer yang ia berikan kukenakan. Lelaki itu hanya mengangguk dengan lemb

    Last Updated : 2023-06-23
  • Gairah Panas Suami Kontrak   4. Tanda Tangan Kontrak

    “Hari ini kamu gak masuk kantor lagi?” Mas Irsan datang menghampiri dengan kursi rodanya. Aku lekas menutup laptop yang masih menyala, sebab tidak ingin ia tahu bahwa aku tengah mengetik surat resign dari tempat bekerja. Tawaran dari Celoz sudah pasti akan kuterima, jadi surat pengunduran diri harus secepatnya aku kirim ke kantor. “Aku lagi nyiapin file buat kerja ke luar kota, Mas. Entar siang ada meeting lagi buat bahas masalah keberangkatan.” Entah kebohongan yang keberapa lagi ini. Aku tidak menghitung telah berapa banyak kebohongan yang sudah aku lontarkan padanya. Terdengar helaan napas berat berasal dari Mas Irsan. “Kamu beneran bakal berangkat?” Nada bicaranya begitu lemah. Aku berbalik, memutar kursi agar berhadapan dengan Mas Irsan. Ekspresi wajah itu sungguh tidak ingin kulihat. Wajah tampan yang diselimuti oleh banyak kegelisahan. Ia selalu menyalahkan diri sendiri atas kondisinya saat ini. Berusaha terus mengirim lamaran pekerjaan yang kiranya bisa menerima fisiknya

    Last Updated : 2023-06-23
  • Gairah Panas Suami Kontrak   5. Mas, Sentuh Aku!

    Mobil melaju dengan begitu pelan. Seolah Celoz sengaja memperlambat perjalanan agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara denganku. Jantung tidak bisa kukendalikan saat tangan itu berusaha menggenggam dan meremas jemariku. Cepat, kutarik dan sembunyikan kedua tangan di antara paha. Tidak ingin ia menemukannya. Aku tidak pernah merasa setakut ini saat berinteraksi dengan orang lain. Wajahnya memang tidak menyeramkan, tapi auranya begitu menakutkan. Ada banyak tanya yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, aku hanya menjawab sesekali. Seperlunya saja. Kurasakan getaran di kedua lutut dan jemari saat telapak tangannya mencoba untuk mengelus pangkal pahaku dari luar. Ia cukup liar. Kusingkirkan tangan itu dengan kasar, sebab elusan lembutnya membuat libidoku sebagai wanita dewasa langsung naik seketika, karena telah lama tidak mendapatkan sentuhan batin dari Mas Irsan. Terdengar nyengiran kecil berasal dari Celoz saat ia menatap wajah yang kini kurasa tengah memerah menahan

    Last Updated : 2023-06-23
  • Gairah Panas Suami Kontrak   6. Suamimu Ingin Tahu

    “Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi. “Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seray

    Last Updated : 2023-07-05

Latest chapter

  • Gairah Panas Suami Kontrak   53. Tamat

    “Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari

  • Gairah Panas Suami Kontrak   52. Menyembunyikan Kelahiran Bayi Kembar

    Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke

  • Gairah Panas Suami Kontrak   51. Cerai

    Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga

  • Gairah Panas Suami Kontrak   50. Pendarahan

    Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den

  • Gairah Panas Suami Kontrak   49. Hampir Keguguran

    “Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”

  • Gairah Panas Suami Kontrak   48. Aku Menyerah

    Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di

  • Gairah Panas Suami Kontrak   47. Harga Diri yang Tergadai

    Aku menoleh sekitar seraya menarik koper berwarna biru terang. Was-was jika Celoz sampai tahu. Berlari cepat saat taksi online yang kupesan telah tiba di depan gerbang sana. Mas Irsan setuju ketika rencana yang harusnya minggu depan, dimajukan pagi ini. Kuminta sang supir untuk lekas menancap gas menuju tempat tujuan sebelum Celoz datang lagi. Ia memang baru beberapa saat yang lalu pergi meninggalkan tempat ini, tapi siapa yang tahu jika ia tiba-tiba kembali karena ketinggalan sesuatu?[Aku udah berangkat.] Kukirim pesan pada Mas Irsan dan Suya. Jantung berdegup dengan sangat cepat. Berdebar, bukan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan lelaki yang aku cintai. Namun, karena khawatir ia menolak kehadiranku dengan kondisi perut membuncit seperti ini. [Oke. Kabari aku kalau terjadi sesuatu.] Suya mengirim balasan. Sementara dari Mas Irsan tidak ada balasan sama sekali. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, terasa begitu lama. Sebab jantung yang enggan untuk berdetak seperti biasa

  • Gairah Panas Suami Kontrak   46. Sebuah Fakta

    “Kau mencari sesuatu?” Aku bertanya saat Celoz tampak tengah sibuk menggeledah pakaian yang tengah ia kenakan, juga bolak-balik mengitari seluruh sudut yang ada di apartemen. “Kau melihat kartuku?” “ATM?” “Bukan.”“Kartu kredit?” Ia berdesis pelan. “Kartu akses untuk keluar masuk apartemen.”Aku berbohong dengan mengatakan tidak melihat sama sekali. Sementara kartu itu telah kusimpan di tempat yang aman tadi malam. Saat ia meminta dimasakkan makanan enak. Aku ikut serta untuk mencari agar ia tidak curiga. Ikut sibuk membolak-balik apa yang bisa dibalik. Mulai dari sofa hingga ke ranjang sana. Ponsel yang ada di saku celananya berdering, membuat dirinya semakin terlihat begitu gelisah. Panggilan itu ia tolak seraya terus berusaha mencari kartu. “Coba ingat semalam kau letakkan di mana?” Aku menunjukkan simpati. “Setelah membuka pintu, sengaja tidak kumasukkan kembali ke dompet. Karena berpikir akan lekas keluar.” Ia menjawab tanpa menoleh sama sekali. Aku tersenyum melihat ia

  • Gairah Panas Suami Kontrak   45. Perencanaan Melarikan Diri

    Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta

DMCA.com Protection Status