“Hari ini kamu gak masuk kantor lagi?” Mas Irsan datang menghampiri dengan kursi rodanya.
Aku lekas menutup laptop yang masih menyala, sebab tidak ingin ia tahu bahwa aku tengah mengetik surat resign dari tempat bekerja. Tawaran dari Celoz sudah pasti akan kuterima, jadi surat pengunduran diri harus secepatnya aku kirim ke kantor. “Aku lagi nyiapin file buat kerja ke luar kota, Mas. Entar siang ada meeting lagi buat bahas masalah keberangkatan.” Entah kebohongan yang keberapa lagi ini. Aku tidak menghitung telah berapa banyak kebohongan yang sudah aku lontarkan padanya. Terdengar helaan napas berat berasal dari Mas Irsan. “Kamu beneran bakal berangkat?” Nada bicaranya begitu lemah. Aku berbalik, memutar kursi agar berhadapan dengan Mas Irsan. Ekspresi wajah itu sungguh tidak ingin kulihat. Wajah tampan yang diselimuti oleh banyak kegelisahan. Ia selalu menyalahkan diri sendiri atas kondisinya saat ini. Berusaha terus mengirim lamaran pekerjaan yang kiranya bisa menerima fisiknya yang tidak lagi sempurna, tapi hingga kini tidak ada satu panggilan kerja pun yang menghubunginya. “Setelah enam bulan ini, masa sulit kita bakalan berlalu, Mas.” Aku berusaha meyakinkan. Memberikan genggaman untuk menguatkan. Tidak ada respons sama sekali. Mas Irsan hanya diam. Sorot mata itu tidak bisa berbohong bahwa ia masih berat melepaskan. Ada banyak ketakutan yang bisa kulihat di balik mata itu. Entah ketakutan akan apa. “Aku janji bakal setia, Mas.” Suaraku bergetar berucap. “Aku akan sering mengirim kabar, hubungi aku kalau kamu rindu.” Ada rasa bersalah dalam dada saat berucap demikian. Bahkan aku telah ingkar sebelum janji itu terucap. Mungkin hatiku bisa utuh untuknya, tapi tidak dengan fisik. Ada Celoz yang akan menikmati apa yang selama ini hanya ia yang bisa menikmati. Sejenak tidak ada suara sama sekali. Sengang, Mas Irsan tetap memilih diam. Bunyi bel rumah memecah keheningan. Aku tersenyum seraya bangkit berdiri, lalu pamit untuk membukakan pintu pada tamu yang datang. “Permisi, Bu, lagi nyari orang buat jadi pengasuh, ya?” Seorang wanita muda langsung bertanya setelah pintu kubukakan untuknya. Aku mengangguk mengiyakan, lalu mempersilakan ia untuk masuk agar kami bisa bicara banyak di dalam. “Sebelumnya sudah ada pengalaman?” Kuperhatikan ia secara saksama, meneliti dari gerak-geriknya. Sebab, aku butuh orang yang benar-benar bisa dipercaya. “Saya pernah jadi pengasuh lansia selama dua tahun, Bu.” Ia menjawab dengan penuh kesopanan. Sepertinya ia orang baik-baik. “Panggil mbak saja, jangan ibu. Lagian tampaknya kita seumuran.” Wanita itu mengangguk dengan lembut. “Perkenalkan dirimu!” Aku meminta, ingin tahu lebih jauh tentangnya. Ia mulai bercerita, namanya Reviana. Usia kami hanya berjarak tiga tahun saja, berasal dari salah satu desa di Surabaya. Berhenti bekerja setelah lansia yang ia asih meninggal dunia. “Kalau boleh tau, saya diminta buat ngasuh siapa, ya, Mbak?” Ia menatap sekitar. Rumah memang tampak sepi beberapa bulan ini, karena Mas Irsan tidak lagi seceria dulu. Ia lebih sering murung dan tidak ada semangat sama sekali. Itulah sebabnya aku sangat ingin ia segera sembuh, sebab kecelakaan itu telah merenggut semuanya. “Suami saya.” Aku menjawab dengan cepat, lalu bangkit berdiri dan beranjak menuju kamar. Mas Irsan tampak menatap ke luar jendela. Tatapan itu terlihat kosong, menerawang jauh ke depan sana. “Mas ....” Aku memanggil dengan lembut. Lelaki itu menoleh, menatapku dengan sorot entah. Aku tersenyum, lalu mendekat. Mendorong kursi rodanya keluar dari kamar untuk bertemu dengan Reviana. Menjelaskan semua pekerjaan yang akan ia lakukan. Menyiapkan apa pun keperluan dan kebutuhan Mas Irsan.Namun, Mas Irsan menolak. “Aku bisa urus diriku sendiri.” Dari nada bicaranya, ia terdengar sedikit kesal. Aku menghela napas kasar. Tahu bahwa ia tersinggung dan merasa tidak berguna. Ia merasa tidak ada harga diri sejak aku yang bekerja sendiri untuk mencukupi kebutuhan rumah. “Aku tau kamu bisa urus diri sendiri, Mas. Aku minta Revi bekerja di sini buat nemanin kamu. Membantu kamu biar kamu gak kesusahan. Dia yang bakalan masak dan nyuciin baju kamu. Dia bakalan gantiin tugas aku, bukan buat gantiin tugas kamu.” Aku berusaha memberikan pengertian. Namun, ia tetap menolak. Berkata tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Setelah berusaha memberikan pengertian untuk beberapa saat, akhirnya ia setuju juga. Namun dengan satu syarat, Reviana tidak boleh masuk ke dalam kamarnya. Aku setuju, setidaknya ia bisa menerima bantuan wanita itu. ****“Mas, aku ke luar sebentar. Mau bahas masalah keberangkatan.” Aku pamit pada Mas Irsan. Kali ini mengenakan pakaian yang sedikit tertutup agar ia merasa dihargai. Tidak ada jawaban, lelaki itu memilih diam. Aku berjalan mendekat, mengecup pipinya, lalu hendak berangkat pergi. Namun, lenganku langsung dicekal olehnya. “Mana cincinmu?” Mas Irsan menatap jemariku yang tampak polos tanpa ada cincin nikah sama sekali. Aku terdiam, tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Sebab, cincin itu telah kugadaikan kemarin untuk membayar semua tagihan, juga memenuhi bekal Mas Irsan sebelum aku pergi. Apalagi Reviana akan mulai bekerja besok. Mas Irsan melepas cincin miliknya, lalu melingkarkan cincin itu ke jari manisku. “Aku gak mau ada yang menggodamu karena mengira kau belum menikah.” Ia berucap dengan nada yang tidak seperti biasanya. Aku merasakan sesuatu di dada, perasaan yang belum pernah datang menyapa sebelumnya. Sikap Mas Irsan membuatku merasa ... entah. Aku tidak bisa menjabarkan perasaan ini. Kini aku tahu apa maksud dari keresahan yang selama ini kutangkap di balik wajahnya. Ia takut, takut aku tergoda dengan lelaki lain. “Kamu yang terbaik, Mas. Gak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku.” Aku berucap dengan tegas. Hatiku terasa hangat saat ia mengecup jemariku dengan begitu lembut. Aku gegas berangkat setelah terdengar bunyi klakson dari halaman depan, pertanda taksi online yang kupesan telah datang. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju tempat tujuan. Celoz telah mengirim pesan beberapa kali sejak tadi, memberitahu bahwa ia sudah sampai dan tidak ingin menunggu lama. Aku lekas keluar setelah tiba di tempat tujuan. Membayar tagihan dan lekas berjalan dengan cepat menuju Celoz yang melambaikan tangan di sudut cafe. Kali ini pertemuan kami ia yang mengatur, mengajak bertemu di tempat yang lebih mewah dari sebelumnya. Aku hanya memesan minuman saat Celoz menawarkan. Sebab, harganya cukup menguras kantong, dan aku tengah ingin berhemat. “Aku yang menawarkan, jadi aku yang akan membayar.” Ia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan. Aku menolak, berkata bahwa tidak ingin makan. Jadi, ia mengalah dan hanya memesan minuman saja. “Aku ingin membaca kontraknya.” Aku ingin pertemuan ini cepat berakhir, tidak ingin basa-basi dan lekas memberikan data diri padanya, termasuk alamat rumahku. “Jangan buru-buru, kita tidak mengejar waktu.” Ia tampak sengaja ingin menunda membahas kontrak itu. “Usiamu 28 tahun? Aku pikir kau lebih muda dari itu.” Ia berkomentar saat membaca data diriku. “Kau ulang tahun minggu lalu? Waah, aku harus menyiapkan hadiah untukmu.” Ia lagi-lagi berkomentar. “Bisa aku lihat kontraknya sekarang? Aku masih ada urusan setelah ini.” Aku kembali meminta agar ia menyerahkan kontraknya. Celoz menatapku dengan tajam, seolah ingin menerkam. “Kau akan lebih cantik jika dadamu sedikit lebih terbuka dari itu.” Tatapannya turun ke bawah, tepat ke arah dada. Cepat, segera kututup bagian itu dengan kedua telapak tangan. Aku sedikit takut untuk melanjutkan, sebab Celoz begitu menakutkan. Namun, kuyakinkan diri bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Demi Mas Irsan, aku harus bisa! Lelaki itu akhirnya menyerahkan kontrak yang kuminta. Kubaca satu persatu kalimat yang tertera di sana. Tidak ada yang aneh, semuanya tampak normal. Namun, ada satu hal yang membuatku menjadi ragu ketika membaca kalimat rela disetubuhi dengan keadaan dan posisi apa pun. “Aku tidak suka lewat belakang.” Aku berkomentar pada Celoz seraya menunjuk poin yang tidak kusetujui. Bagiku itu sedikit menjijikkan, sebab lubang itu tempat keluarnya kotoran. “Oke.” Hanya itu yang ia ucapkan. Selebihnya tidak ada yang membuatku merasa terganggu. Ada banyak perjanjian yang harus kubaca. Benar, ia memasukkan penalti di sana. Jika aku kabur sebelum kontrak berakhir, maka aku harus membayar padanya dua kali lipat dari perjanjian kami. Aku setuju, kurasa aku akan bertahan selama enam bulan. Kutandatangi kontrak itu setelah membaca semua poin yang ada. Ia ikut menandatangani. Minggu depan kontrak akan dimulai. Aku akan tinggal bersamanya di kota besar ibu kota Jakarta. Yang jaraknya hanya dua jam perjalanan dari tempat tinggalku bersama Mas Irsan. Aku harus berhati-hati agar tidak ketahuan. Setelah semuanya deal, aku bangkit hendak pulang. “Akan aku antar.” Celoz menawarkan. “Aku bisa pulang sendiri.” Aku menolak, sebab tidak ingin ia melihat Mas Irsan nanti. “Kau sudah tanda tangan kontrak, jadi kau tidak bisa membantah apa pun yang aku inginkan.” Ia menekan kalimatnya. Menunjukkan poin di mana menyebutkan bahwa aku harus menuruti semua kemauannya setelah kontrak ini ditandatangani hingga kontrak berakhir. Aku tidak bisa menolak, menuruti kemauannya untuk pulang bersama.Mobil melaju dengan begitu pelan. Seolah Celoz sengaja memperlambat perjalanan agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara denganku. Jantung tidak bisa kukendalikan saat tangan itu berusaha menggenggam dan meremas jemariku. Cepat, kutarik dan sembunyikan kedua tangan di antara paha. Tidak ingin ia menemukannya. Aku tidak pernah merasa setakut ini saat berinteraksi dengan orang lain. Wajahnya memang tidak menyeramkan, tapi auranya begitu menakutkan. Ada banyak tanya yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, aku hanya menjawab sesekali. Seperlunya saja. Kurasakan getaran di kedua lutut dan jemari saat telapak tangannya mencoba untuk mengelus pangkal pahaku dari luar. Ia cukup liar. Kusingkirkan tangan itu dengan kasar, sebab elusan lembutnya membuat libidoku sebagai wanita dewasa langsung naik seketika, karena telah lama tidak mendapatkan sentuhan batin dari Mas Irsan. Terdengar nyengiran kecil berasal dari Celoz saat ia menatap wajah yang kini kurasa tengah memerah menahan
“Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi. “Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seray
Aku terdiam cukup lama. Menatap Celoz dengan tajam, mengutuknya dalam hati karena telah memunculkan diri. Aku lebih takut Mas irsan tahu tentang dirinya dibanding ia marah karena tahu aku masih memiliki suami. Celoz menunjukkan deretan giginya yang rapi saat aku semakin tajam dalam menatap. Seolah ia sengaja menyiksaku dengan perasaan gelisah ini. “Sebentar, ya, Mas.” Aku menoleh pada Mas Irsan. Melepas genggaman pada tangannya, lalu bangkit berdiri seraya menarik Celoz untuk menjauh dari sana. Celoz tidak protes saat langkahnya sedikit terseret. “Bagus, kau sudah menipuku.” Celoz menatap dengan begitu tajam setelah aku berhenti melangkah cukup jauh dari Mas Irsan, namun masih bisa kuperhatikan suamiku itu dari tempatku berdiri sekarang. Aku menarik napas dalam. Mencoba untuk mengontrol perasaan. Kulepas cengkeraman pada pergelangan Celoz. Berapa kali pun napas kuhela dengan dalam, tetap saja rasa gelisah itu enggan untuk menghilang. “Jangan beritahu suamiku tentangmu. Dia sedan
Dua koper telah tergeletak di sudut kamar. Kontrak sama sekali tidak bisa dibatalkan. Suya juga menyarankan agar tetap berjalan sesuai perjanjian, sebab ada penalti yang tertera di sana. Dan sudah pasti aku tidak ada uang untuk membayarnya. Aku menyiapkan semua keperluan. Meskipun Celoz berkata tidak perlu membawa apa-apa, sebab Mas irsan akan curiga jika aku berangkat hanya membawa badan. Aku menoleh pada Mas Irsan, ia berusaha ikut membantu sebisanya. Di wajah itu terlihat dengan jelas penolakan atas keputusan untuk tetap berangkat. Ponsel yang tergeletak di ranjang berdenting, aku bangkit berdiri, meraih benda pipih itu untuk memeriksa pesan masuk. [Kau bahkan berbohong mengenai rumahmu.] Celoz mengirim pesan disertai gambar halaman depan. Aku beranjak menuju jendela, melongok ke luar menatap sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Menerima pesan itu membuatku merasa begitu ketakutan. Sebab, Mas Irsan akan kutinggal. Sementara Celoz pernah mengancam. Ini sungguh menimbulkan perdebatan
Mobil berhenti di sebuah parkiran apartemen mewah pusat ibu kota. Aku turun setelah Celoz turun lebih dulu. Berjalan menuju bagasi, hendak mengambil barang-barang. Namun, langkahku langsung dicekal olehnya. “Tinggalkan saja, barangmu hanya akan menyesakkan apartemenku.” Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya, selalu terdengar seperti sebuah perintah yang harus dilakukan. “Baju-bajuku?” Aku protes, sebab tidak mungkin tidak ada baju ganti sama sekali yang harus kubawa.“Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau hanya tinggal pakai sesuai apa yang aku minta.” “Tidak bisa begitu.” Aku menolak. “Tidak ada penolakan.” Ia berucap dengan tegas. “Barang-barangmu akan aku buang. Aku sudah berkata kau tidak perlu membawa apa-apa.” Ia tampak kesal karena aku tidak menuruti semua permintaannya. “Tunggu, aku hanya ingin mengambil satu barang.” Aku sedikit memaksa, meminta agar ia membukakan bagasi untukku. Ada yang ingin kuambil di dalam koper. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Celoz membukaka
Aku lekas keluar kamar dengan dada berdebar setelah merasa ini semua tidak benar. Rasa takut itu semakin menelusup jauh ke dalam rongga dada. Jauh lebih takut dari perasaan sebelumnya. Ada banyak hal yang begitu mencurigakan dari lelaki itu. Apalagi setelah melihat semua koleksi miliknya.“Sedang apa kau?” Pertanyaan itu membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya sedetik setelah pintu tertutup dengan rapat. Aku menoleh pada sumber suara, Celoz telah kembali entah dari mana. Ia menenteng sesuatu di tangan kanannya. Detak jantung semakin tidak bisa kukendalikan. Tatapan Celoz membuatku selalu merasa begitu terintimidasi. Aku hanya diam dengan lutut gemetar. Menjauh dari pintu kamar. “Lekas mandi dan ganti pakaianmu dengan ini.” Ia menyerahkan paperbag padaku. Aku menerima ulurannya dengan ragu. Lalu, beranjak menuju kamar utama untuk melakukan apa yang telah ia minta. Kuletakkan paperbag itu di atas ranjang, kemudian lekas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kel
Ekspresi Celoz selalu berubah ketika aku membahas mengenai Masalah Irsan. Sekarang aku tahu apa hal yang tidak ia sukai, setidaknya aku bisa meminimalisir kekesalannya.Mobil berhenti ketika kami tiba kembali di parkiran apartemen. Hari sudah mulai memasuki petang. Aku mengikuti setiap langkah lelaki itu menuju apartemen miliknya. “Kau masuklah dan tunggu di dalam. Aku akan segera kembali.” Celoz berucap setelah ia membukakan pintu untukku. “Kau mau ke mana?” Aku menahan pintu saat ia hendak menutup kembali. “Kau tidak perlu tahu.”“Setidaknya beritahu aku kode pintu, biar aku bisa keluar jika butuh sesuatu.” Aku menatap dengan penuh harap. Jika ia memberitahu kodenya, aku bisa kabur sewaktu-waktu jika seandainya ia memang seburuk yang ada dalam pikiranku. “Kau tidak butuh itu. Aku sudah menyiapkan semua keperluanmu di dalam sana.” Ia menutup pintu dengan cepat setelah berucap demikian. Aku dikurung sendirian. Aku berdecak kesal. Ternyata ia tidak mudah untuk dibodohi. Bahkan unt
Aku bersyukur tidak terjadi apa pun di antar kami hingga pagi ini. Celoz hanya tidur di ranjang, tidak ingin menyentuh sama sekali. Ia tampak begitu lelah, hingga masih terlelap saat aku terbangun dari tidur. Aku turun dari ranjang, memilah pakaian di lemari. Yang sekiranya paling tertutup di antara baju yang tergantung di sana. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Celoz masih larut dalam tidurnya saat aku keluar dari kamar mandi. Aku meraih ponsel yang mati sejak semalam, menyalakannya kembali. Ada banyak notif pesan masuk dari Mas Irsan. Dugaanku benar, dia mengira aku marah karena perdebatan semalam. Aku berjalan menuju luar, duduk dengan lembut di sofa sembari mengetik pesan balasan. [Hpku lowbat semalam, Mas. Maaf udah buat kamu khawatir.] Centang abu langsung berubah jadi biru. Tampaknya ia memang menunggu kabar dariku. [Aku gak bisa tidur karena mikirin kamu.] Pesan balasan langsung datang tidak sampai semenit kemudian. Aku menghela napas dalam. “Nina!” Celoz memanggil
“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di
Aku menoleh sekitar seraya menarik koper berwarna biru terang. Was-was jika Celoz sampai tahu. Berlari cepat saat taksi online yang kupesan telah tiba di depan gerbang sana. Mas Irsan setuju ketika rencana yang harusnya minggu depan, dimajukan pagi ini. Kuminta sang supir untuk lekas menancap gas menuju tempat tujuan sebelum Celoz datang lagi. Ia memang baru beberapa saat yang lalu pergi meninggalkan tempat ini, tapi siapa yang tahu jika ia tiba-tiba kembali karena ketinggalan sesuatu?[Aku udah berangkat.] Kukirim pesan pada Mas Irsan dan Suya. Jantung berdegup dengan sangat cepat. Berdebar, bukan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan lelaki yang aku cintai. Namun, karena khawatir ia menolak kehadiranku dengan kondisi perut membuncit seperti ini. [Oke. Kabari aku kalau terjadi sesuatu.] Suya mengirim balasan. Sementara dari Mas Irsan tidak ada balasan sama sekali. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, terasa begitu lama. Sebab jantung yang enggan untuk berdetak seperti biasa
“Kau mencari sesuatu?” Aku bertanya saat Celoz tampak tengah sibuk menggeledah pakaian yang tengah ia kenakan, juga bolak-balik mengitari seluruh sudut yang ada di apartemen. “Kau melihat kartuku?” “ATM?” “Bukan.”“Kartu kredit?” Ia berdesis pelan. “Kartu akses untuk keluar masuk apartemen.”Aku berbohong dengan mengatakan tidak melihat sama sekali. Sementara kartu itu telah kusimpan di tempat yang aman tadi malam. Saat ia meminta dimasakkan makanan enak. Aku ikut serta untuk mencari agar ia tidak curiga. Ikut sibuk membolak-balik apa yang bisa dibalik. Mulai dari sofa hingga ke ranjang sana. Ponsel yang ada di saku celananya berdering, membuat dirinya semakin terlihat begitu gelisah. Panggilan itu ia tolak seraya terus berusaha mencari kartu. “Coba ingat semalam kau letakkan di mana?” Aku menunjukkan simpati. “Setelah membuka pintu, sengaja tidak kumasukkan kembali ke dompet. Karena berpikir akan lekas keluar.” Ia menjawab tanpa menoleh sama sekali. Aku tersenyum melihat ia
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta