Mobil melaju dengan begitu pelan. Seolah Celoz sengaja memperlambat perjalanan agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara denganku.
Jantung tidak bisa kukendalikan saat tangan itu berusaha menggenggam dan meremas jemariku. Cepat, kutarik dan sembunyikan kedua tangan di antara paha. Tidak ingin ia menemukannya. Aku tidak pernah merasa setakut ini saat berinteraksi dengan orang lain. Wajahnya memang tidak menyeramkan, tapi auranya begitu menakutkan. Ada banyak tanya yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, aku hanya menjawab sesekali. Seperlunya saja. Kurasakan getaran di kedua lutut dan jemari saat telapak tangannya mencoba untuk mengelus pangkal pahaku dari luar. Ia cukup liar. Kusingkirkan tangan itu dengan kasar, sebab elusan lembutnya membuat libidoku sebagai wanita dewasa langsung naik seketika, karena telah lama tidak mendapatkan sentuhan batin dari Mas Irsan. Terdengar nyengiran kecil berasal dari Celoz saat ia menatap wajah yang kini kurasa tengah memerah menahan gairah. Ia kembali melakukan hal serupa. Namun, kali ini ia berusaha menelusup dari ujung dress. Hendak mengelus pahaku tanpa ada kain sebagai penghalang. “Hentikan!” Aku membentak. Segera kutarik tangannya dari sana. Aku merasa panas sekarang, setelah telapak tangan kasar itu bersentuhan dengan kulit pahaku. Elusannya hanya sebentar, tapi meninggalkan kesan yang begitu dalam. Aku merasa sangat terangsang. Celoz tertawa setelah kembali mendapatkan penolakan. Seolah ia menyukai ekspresi takut dan tidak suka yang aku tunjukkan. “Kau tampak semakin cantik dengan pipi memerah seperti itu.” Ia malah memberikan pujian. Aku membuang muka, menatap ke luar jendela dengan jemari saling tertaut. Mencoba mengenyahkan rasa takut. Tangannya kembali menyerang, kini ke bagian dada. Aku harus menepis tangannya berulang kali, tapi tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menginginkan dan menikmati. Namun, tidak bisa membiarkan tangannya bermain di sana lebih lama setelah kilatan senyum Mas Irsan lewat di pikiran. Semakin lama aku berada di di mobil bersama Celoz, semakin aku merasa tersiksa. “Aku turun di sini.” Aku berucap dengan suara gemetar saat kami hampir tiba di rumah. Sungguh, aku benar-benar sudah tidak tahan duduk di dekatnya. Tangannya selalu bergerilya ke mana-mana. Aku takut pertahananku akan runtuh dibuatnya. “Rumahmu yang mana?” Ia menghentikan laju mobil setelah aku meminta. “Rumahku yang itu, tapi aku tidak bisa pulang sekarang karena masih ada urusan. Kau pulanglah, pasti ada banyak pekerjaan yang harus kau selesaikan.” Aku menunjuk salah satu rumah dengan asal. Berharap ia akan percaya dan lekas pergi secepatnya. Aku lekas turun dan berjalan dengan cepat menuju arah yang berlawanan dengan rumah. Beberapa saat mobil putih itu masih bertengger di sana ketika aku menoleh sekilas. Ponsel dalam tas bergetar, aku merogoh untuk meraih benda pipih itu. Membaca pesan masuk yang datang dari Celoz. Ada sebuah foto yang ia kirim, foto rumah yang tadi kutunjuk dan akui sebagai rumahku. Entah rumah siapa itu.[Aku jemput minggu depan di sini. Kau tidak perlu bawa apa-apa.] Begitu keterangan yang menyertai foto itu. Pesan hanya kubaca dan tidak berniat untuk membalasnya. Menit berikutnya mobil itu melewatiku dengan kecepatan tinggi. Suara bising dari mobilnya masih tertinggal saat bokong mobil itu bahkan telah menghilang dari pandangan. Aku kembali berbalik setelah memastikan Celoz benar-benar pergi. Berjalan cepat menuju rumah, sebab tiba-tiba ada rasa rindu yang menyelinap masuk ke dalam rongga dada. Rindu pada sentuhan Mas Irsan. “Mas!” Aku memanggil dengan nada sedikit tinggi saat tiba di rumah. Membuka pintu yang tidak pernah terkunci ketika aku pergi, lalu menutupnya kembali. Kulempar handbag ke atas sofa, melepas hight heels dan membuangnya secara asal, lalu sedikit berlari mencari Mas Irsan. Dia tidak ada di kamar. “Sayang!” Aku memanggil seraya mencari ke tempat lain. Setelah menelusuri semua sudut rumah, akhirnya kudapati ia tengah duduk termenung di teras belakang. Ia pasti mendengar panggilan yang aku gemakan, tapi memilih diam. “Mas ....” Aku kembali memanggil, kali ini napas sudah tidak terkontrol dengan baik. Lekas kupeluk lelaki itu dari belakang. Aku harus membungkuk saat tengkuknya kukecup dengan lembut. Aroma wangi yang menguar dari tubuhnya semakin meningkatkan libido yang telah bangkit sejak tadi. Mas Irsan membalas mengecup jemariku. Diusapnya lenganku dengan begitu lembut. Aku bisa merasakan ada cinta di setiap elusan yang ia berikan. “Mas, sentuh aku.” Aku meminta dengan penuh harap. Sedikit memelas. Tanpa menunggu jawaban, langsung kudorong kursi rodanya menuju kamar. Membantu ia untuk pindah dari kursi roda ke ranjang. “Terjadi sesuatu padamu? Kenapa kau tiba-tiba minta disentuh?” Mas Irsan bertanya dengan heran. Kening itu tampak begitu berkerut, menatap dengan heran. Aku tidak menjawab, segera kulepas dress dan semua perintilan hingga tidak ada yang tersisa di badan. Sebab, kurasakan bagian bawah telah basah karena begitu terangsang. “Nina, ada apa denganmu?” Mas Irsan semakin bingung saat ia kudorong dengan sedikit kasar. Lalu kunaiki tubuhnya dengan cepat. “Mas, sentuh aku.” Lagi, aku mengulang kalimat yang sama. Suaraku terdengar semakin gemetar dengan jelas. Kuarahkan kedua telapak tangannya menuju dada. “Sayang.” Ia memanggil dengan lembut. “Aku akan menyentuhmu jika aku bisa, bahkan tanpa kau minta.” Suaranya terdengar lemah, tapi penuh penekanan. Aku menatap manik matanya dengan dalam. Nafsu telah berada di puncak paling tinggi sekarang. Sungguh, aku tidak bisa menahannya untuk kali ini. Kukecup bibir Mas Irsan dengan lembut. Perlahan kecupan itu berubah menjadi lumatan yang begitu brutal. Kugigit bibirnya sedikit kasar karena tidak ada balasan. Mas Irsan membuka mulut setelah bibirnya mendapat gigitan. Lidahku mulai menerobos masuk, mengukur luas mulutnya yang sudah lama tidak kumasuki dengan lidahku. Tangan kanan Mas Irsan kubawa ke bawah. Meminta ia untuk memainkan yang telah basah di bawah sana. Namun, ia tarik kembali tangan itu. “Nina.” Mas Irsan memanggil dengan lembut saat lumatan kulepas setelah stock oksigen menipis. Sepasang mata indah itu seolah protes akan apa yang telah kulakukan terhadapnya. Kurasakan mata memanas seketika. Aku menjatuhkan diri tepat di sisi kanannya. Lalu, menangis di sana. Sebab, tidak mampu menahan nafsu hingga memaksanya seperti itu. Mas Irsan menyamping. Ia membawaku ke dalam dekapan. Berusaha menenangkan. Diusapnya wajahku yang telah basah oleh air mata dan keringat. “Maafkan aku.” Ia merasa bersalah untuk permintaan yang tidak bisa ia kabulkan. Aku menghentikan tangisan. Menatap sepasang matanya dengan sangat dalam. Mata yang hanya berjarak beberapa senti dariku itu, masih saja menatap dengan penuh cinta. Aku membalas dekapannya. Semakin merapatkan tubuh dan menempelkan wajah di lehernya. Kemudian kembali menangis di sana. Merasa bersalah karena telah membuat ia kembali merasa gagal menjadi seorang suami.“Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi. “Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seray
Aku terdiam cukup lama. Menatap Celoz dengan tajam, mengutuknya dalam hati karena telah memunculkan diri. Aku lebih takut Mas irsan tahu tentang dirinya dibanding ia marah karena tahu aku masih memiliki suami. Celoz menunjukkan deretan giginya yang rapi saat aku semakin tajam dalam menatap. Seolah ia sengaja menyiksaku dengan perasaan gelisah ini. “Sebentar, ya, Mas.” Aku menoleh pada Mas Irsan. Melepas genggaman pada tangannya, lalu bangkit berdiri seraya menarik Celoz untuk menjauh dari sana. Celoz tidak protes saat langkahnya sedikit terseret. “Bagus, kau sudah menipuku.” Celoz menatap dengan begitu tajam setelah aku berhenti melangkah cukup jauh dari Mas Irsan, namun masih bisa kuperhatikan suamiku itu dari tempatku berdiri sekarang. Aku menarik napas dalam. Mencoba untuk mengontrol perasaan. Kulepas cengkeraman pada pergelangan Celoz. Berapa kali pun napas kuhela dengan dalam, tetap saja rasa gelisah itu enggan untuk menghilang. “Jangan beritahu suamiku tentangmu. Dia sedan
Dua koper telah tergeletak di sudut kamar. Kontrak sama sekali tidak bisa dibatalkan. Suya juga menyarankan agar tetap berjalan sesuai perjanjian, sebab ada penalti yang tertera di sana. Dan sudah pasti aku tidak ada uang untuk membayarnya. Aku menyiapkan semua keperluan. Meskipun Celoz berkata tidak perlu membawa apa-apa, sebab Mas irsan akan curiga jika aku berangkat hanya membawa badan. Aku menoleh pada Mas Irsan, ia berusaha ikut membantu sebisanya. Di wajah itu terlihat dengan jelas penolakan atas keputusan untuk tetap berangkat. Ponsel yang tergeletak di ranjang berdenting, aku bangkit berdiri, meraih benda pipih itu untuk memeriksa pesan masuk. [Kau bahkan berbohong mengenai rumahmu.] Celoz mengirim pesan disertai gambar halaman depan. Aku beranjak menuju jendela, melongok ke luar menatap sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Menerima pesan itu membuatku merasa begitu ketakutan. Sebab, Mas Irsan akan kutinggal. Sementara Celoz pernah mengancam. Ini sungguh menimbulkan perdebatan
Mobil berhenti di sebuah parkiran apartemen mewah pusat ibu kota. Aku turun setelah Celoz turun lebih dulu. Berjalan menuju bagasi, hendak mengambil barang-barang. Namun, langkahku langsung dicekal olehnya. “Tinggalkan saja, barangmu hanya akan menyesakkan apartemenku.” Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya, selalu terdengar seperti sebuah perintah yang harus dilakukan. “Baju-bajuku?” Aku protes, sebab tidak mungkin tidak ada baju ganti sama sekali yang harus kubawa.“Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau hanya tinggal pakai sesuai apa yang aku minta.” “Tidak bisa begitu.” Aku menolak. “Tidak ada penolakan.” Ia berucap dengan tegas. “Barang-barangmu akan aku buang. Aku sudah berkata kau tidak perlu membawa apa-apa.” Ia tampak kesal karena aku tidak menuruti semua permintaannya. “Tunggu, aku hanya ingin mengambil satu barang.” Aku sedikit memaksa, meminta agar ia membukakan bagasi untukku. Ada yang ingin kuambil di dalam koper. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Celoz membukaka
Aku lekas keluar kamar dengan dada berdebar setelah merasa ini semua tidak benar. Rasa takut itu semakin menelusup jauh ke dalam rongga dada. Jauh lebih takut dari perasaan sebelumnya. Ada banyak hal yang begitu mencurigakan dari lelaki itu. Apalagi setelah melihat semua koleksi miliknya.“Sedang apa kau?” Pertanyaan itu membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya sedetik setelah pintu tertutup dengan rapat. Aku menoleh pada sumber suara, Celoz telah kembali entah dari mana. Ia menenteng sesuatu di tangan kanannya. Detak jantung semakin tidak bisa kukendalikan. Tatapan Celoz membuatku selalu merasa begitu terintimidasi. Aku hanya diam dengan lutut gemetar. Menjauh dari pintu kamar. “Lekas mandi dan ganti pakaianmu dengan ini.” Ia menyerahkan paperbag padaku. Aku menerima ulurannya dengan ragu. Lalu, beranjak menuju kamar utama untuk melakukan apa yang telah ia minta. Kuletakkan paperbag itu di atas ranjang, kemudian lekas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kel
Ekspresi Celoz selalu berubah ketika aku membahas mengenai Masalah Irsan. Sekarang aku tahu apa hal yang tidak ia sukai, setidaknya aku bisa meminimalisir kekesalannya.Mobil berhenti ketika kami tiba kembali di parkiran apartemen. Hari sudah mulai memasuki petang. Aku mengikuti setiap langkah lelaki itu menuju apartemen miliknya. “Kau masuklah dan tunggu di dalam. Aku akan segera kembali.” Celoz berucap setelah ia membukakan pintu untukku. “Kau mau ke mana?” Aku menahan pintu saat ia hendak menutup kembali. “Kau tidak perlu tahu.”“Setidaknya beritahu aku kode pintu, biar aku bisa keluar jika butuh sesuatu.” Aku menatap dengan penuh harap. Jika ia memberitahu kodenya, aku bisa kabur sewaktu-waktu jika seandainya ia memang seburuk yang ada dalam pikiranku. “Kau tidak butuh itu. Aku sudah menyiapkan semua keperluanmu di dalam sana.” Ia menutup pintu dengan cepat setelah berucap demikian. Aku dikurung sendirian. Aku berdecak kesal. Ternyata ia tidak mudah untuk dibodohi. Bahkan unt
Aku bersyukur tidak terjadi apa pun di antar kami hingga pagi ini. Celoz hanya tidur di ranjang, tidak ingin menyentuh sama sekali. Ia tampak begitu lelah, hingga masih terlelap saat aku terbangun dari tidur. Aku turun dari ranjang, memilah pakaian di lemari. Yang sekiranya paling tertutup di antara baju yang tergantung di sana. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Celoz masih larut dalam tidurnya saat aku keluar dari kamar mandi. Aku meraih ponsel yang mati sejak semalam, menyalakannya kembali. Ada banyak notif pesan masuk dari Mas Irsan. Dugaanku benar, dia mengira aku marah karena perdebatan semalam. Aku berjalan menuju luar, duduk dengan lembut di sofa sembari mengetik pesan balasan. [Hpku lowbat semalam, Mas. Maaf udah buat kamu khawatir.] Centang abu langsung berubah jadi biru. Tampaknya ia memang menunggu kabar dariku. [Aku gak bisa tidur karena mikirin kamu.] Pesan balasan langsung datang tidak sampai semenit kemudian. Aku menghela napas dalam. “Nina!” Celoz memanggil
Kurasakan kedua lutut gemetar saat ia mendekat dengan sabuk itu. Sabuk hitam panjang yang terbuat dari kulit. Rasa takut telah berada di puncak paling tinggi sekarang. Sedetik pun tidak kualihkan pandang darinya, berjaga-jaga jika ia ingin melecut dengan sabuk itu. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Aku menarik napas lega saat Celoz berbalik dan berjalan menuju televisi. Berpikir bahwa ia akan mengurungkan niatnya untuk bercinta. Ternyata dugaanku salah. Ia ke sana untuk memutar dvd. Menayangkan pertempuran hebat antara seorang wanita dengan tiga lelaki.Celoz kembali mendekat padaku, ia memaksa agar aku menonton video itu. Menahan wajahku agar tidak mengalihkan pandang sedikitpun dari layar televisi di depan sana. Perutku rasanya diaduk saat menonton tayangan wanita yang disiksa saat bercinta. Aku menutup mata, tidak sanggup menyaksikan semuanya. “Buka matamu!” Celoz membentak. Pipiku dicengkeramnya dengan kuat. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan jidat. Kini bukan hanya ka
“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di
Aku menoleh sekitar seraya menarik koper berwarna biru terang. Was-was jika Celoz sampai tahu. Berlari cepat saat taksi online yang kupesan telah tiba di depan gerbang sana. Mas Irsan setuju ketika rencana yang harusnya minggu depan, dimajukan pagi ini. Kuminta sang supir untuk lekas menancap gas menuju tempat tujuan sebelum Celoz datang lagi. Ia memang baru beberapa saat yang lalu pergi meninggalkan tempat ini, tapi siapa yang tahu jika ia tiba-tiba kembali karena ketinggalan sesuatu?[Aku udah berangkat.] Kukirim pesan pada Mas Irsan dan Suya. Jantung berdegup dengan sangat cepat. Berdebar, bukan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan lelaki yang aku cintai. Namun, karena khawatir ia menolak kehadiranku dengan kondisi perut membuncit seperti ini. [Oke. Kabari aku kalau terjadi sesuatu.] Suya mengirim balasan. Sementara dari Mas Irsan tidak ada balasan sama sekali. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, terasa begitu lama. Sebab jantung yang enggan untuk berdetak seperti biasa
“Kau mencari sesuatu?” Aku bertanya saat Celoz tampak tengah sibuk menggeledah pakaian yang tengah ia kenakan, juga bolak-balik mengitari seluruh sudut yang ada di apartemen. “Kau melihat kartuku?” “ATM?” “Bukan.”“Kartu kredit?” Ia berdesis pelan. “Kartu akses untuk keluar masuk apartemen.”Aku berbohong dengan mengatakan tidak melihat sama sekali. Sementara kartu itu telah kusimpan di tempat yang aman tadi malam. Saat ia meminta dimasakkan makanan enak. Aku ikut serta untuk mencari agar ia tidak curiga. Ikut sibuk membolak-balik apa yang bisa dibalik. Mulai dari sofa hingga ke ranjang sana. Ponsel yang ada di saku celananya berdering, membuat dirinya semakin terlihat begitu gelisah. Panggilan itu ia tolak seraya terus berusaha mencari kartu. “Coba ingat semalam kau letakkan di mana?” Aku menunjukkan simpati. “Setelah membuka pintu, sengaja tidak kumasukkan kembali ke dompet. Karena berpikir akan lekas keluar.” Ia menjawab tanpa menoleh sama sekali. Aku tersenyum melihat ia
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta