Home / Pernikahan / Gairah Panas Suami Kontrak / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Gairah Panas Suami Kontrak: Chapter 31 - Chapter 40

53 Chapters

31. Amarah Celoz

Aku merasa begitu deg-degan sepanjang perjalanan. Jantung sama sekali tidak bisa kukendalikan. Sejak tadi debaran di dada terasa sangat tidak karuan. Perasaan ini sama seperti ketika Mas Irsan pertama kali membawaku ke rumah orangtuanya dulu. Memperkenalkanku sebagai calon istrinya. Kami tiba di sebuah rumah mewah pusat kota Jakarta ketika hari sudah malam. Memakan waktu sekitar dua jam dari rumahku dengan Mas Irsan. Aku sangat gugup. Sungguh. “Jadilah pacarku di hadapan ibuku.” Ia berucap dengan begitu lembut. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Celoz turun dari mobil lebih dulu. Aku menyusul beberapa menit kemudian, setelah menghela napas dengan begitu dalam. Berusaha untuk menetralisir perasaan. Mencoba mengurangi kegugupan. Celoz menggenggam jemariku ketika ia menggandeng menuju pintu masuk. Malam ini kami mengenakan pakaian senada. Aku mengenakan dress hitam panjang, sementara ia mengenakan kemeja panjang berwarna sama. Kurasakan telapak tangan sedikit basah dan dingin,
Read more

32. Kau Mati Pun Aku Tak Peduli

Aku bangkit berdiri, hendak menyusul Celoz untuk menenangkan. Namun, Bu Indah langsung menahan. Aku diminta untuk kembali duduk, berbicara empat mata dengannya. Aku kembali duduk, menatap wanita paruh baya yang masih tampak cantik di depan sana. Ia menatap dengan begitu dalam, tampak sangat serius sekarang. Kami terhalang cukup jauh, sebab meja ini lumayan panjang. Ia berada si ujung kanan, dan aku berada di ujung kiri. “Jujur, dibayar berapa kamu sama Celoz?” Tatapannya tampak sangat mengintimidasi. Aku diam cukup lama, tidak berani menjawab. “Tidak apa, jujur saja. Aku paham betul bagaimana sifatnya. Ia selalu membayar wanita untuk bisa tidur dengannya. Suka menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Sayang sekali jika kamu masuk ke dalam daftar itu. Padahal aku sudah memasukkan kamu ke daftar calon istri untuk Celoz jika kamu akhirnya menjadi janda. Bukan maksud buruk mendoakan kamu pisah dengan suamimu, tapi tidak salah bukan jika aku sempat berpikir begitu? Mengingat ke
Read more

33. Kehilangan Keduanya

Aku tidak bisa menghentikan tangisan saat kedua kaki melangkah meninggalkan tempat itu. Rasanya sakit sekali dengan perlakuannya kali ini. Ia marah pada ibunya, tapi melampiaskannya padaku juga. Mendengar kalimat penuh kebencian terlontar dari mulutnya serasa ada banyak anak panah yang menyerang rongga dada. Aku memesan taksi online, menunggu di pinggir jalan dengan sesekali mengusap pipi yang basah. Masih terngiang dengan jelas semua kalimat kasar yang ia lontarkan padaku. Berulang kali aku menoleh ke belakang, berharap Celoz akan datang mengejar. Meminta maaf karena telah melontarkan kata-kata kasar. Namun, nyatanya tidak sama sekali. Ia serius dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia tidak lagi ingin peduli. Kupeluk diri sendiri untuk menyalurkan rasa hangat, sebab angin malam mulai terasa semakin dingin menyerang. Taksi yang kupesan telah datang. Aku lekas masuk, meminta agar supir lekas melaju menuju rumah orang tua Mas Irsan. Berharap kedatanganku di sana akan diterima deng
Read more

34. Penyalur Hasrat

Samar-samar kurasakan sapu tangan basah ditempelkan ke kening. Aku membuka mata, bangun dari tidur karena merasa terganggu. Cahaya matahari begitu silau menyinari. Aku berkedip berkali-kali demi menyesuaikan pandangan dengan cahaya tajam yang mengganggu penglihatan. Aku menyipitkan mata menatap lelaki yang tengah duduk di tepian ranjang. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas, sebab terhalang oleh cahaya matahari. “Mas ....” Aku memanggil dengan lembut. Berusaha untuk meraih tangannya. Berasa ini sebuah mimpi, sebab ia kembali datang ke rumah ini. Telapak tangan itu terasa hangat ketika ia memberikan telapak tangannya untuk kugenggam. Genggamannya terasa berbeda kali ini. “Akhirnya kau bangun juga. Badanmu sangat panas, kau bahkan berbicara dalam tidurmu.” Bukan suara Mas Irsan yang menjawab. Melainkan Celoz. “Kau ....” Suaraku seakan tercekat di tenggorokan. Segera kulepas genggaman pada tangannya, kemudian bangkit untuk duduk. Menatap ia dengan saksama. “Mengapa kau memanggilku
Read more

35. Semakin Bimbang

Reviana aku berhentikan kerja, sebab sudah tidak membutuhkan tenaganya lagi. Aku bisa mengurus diri sendiri, apalagi Celoz kembali membawaku ke apartemen setelah aku pulih dari demam. Ia urungkan ucapannya yang hendak membatalkan kontrak pernikahan. Mobil berhenti ketika kami menemukan apotek. Aku diminta untuk menunggu di dalam saja. Sementara ia menebus obat entah untuk siapa. Tidak mungkin itu obat untukku, karena aku benar-benar telah pulih dari demam. Tidak menunggu lama, Celoz kembali lagi dengan plastik obat di tangannya. “Buat siapa?” Aku bertanya saat ia memberikan plastik itu padaku. “Vitamin buat penyubur kandungan.” Ia berucap tanpa menoleh sama sekali. Lekas menyalakan mesin, lalu menancap gas menuju apartemen. Aku menarik napas dengan dalam, kemudian melempar senyum padanya. Ternyata ia benar-benar peduli dengan kandunganku. Ia tidak membalas senyum itu sama sekali. Kupeluk lengannya, lalu bersandar di bahunya. Perlahan, bahu itu mulai memberikan kenyaman. Rasanya
Read more

36. Bukan Cewek Matre

Aku berjalan menuju wanita yang masih tampak cantik di usia senja itu. Ia tersenyum saat mata kami saling beradu. Aku hanya memasang wajah datar, tidak membalas senyum manisnya sama sekali, sebab jadi merasa begitu canggung untuk bertemu setelah kejadian di malam itu. Aku menarik kursi setelah tiba di meja yang sama dengannya. Duduk di kursi yang saling berseberangan agar bisa bertatap muka. “Bagaimana kabarmu?” Bu Indah bertanya dengan begitu ramah. “Baik.” Aku menjawab dengan senyuman seraya mengusap tengkuk demi mengurangi rasa gugup. “Santai saja, mengapa kau jadi tampak berbeda?” Senyum tidak memudar dari bibirnya saat ia berucap demikian. Aku menautkan jemari, menggoyangkan kaki demi mengurangi laju jantung yang kian lama kian berdegup dengan sangat kencang. Membuat dada ikut berdebar dengan sangat tidak karuan. Wanita itu menghela napas dengan dalam. Lalu mendongak, memanggil waiters untuk memesan makanan. “Kita makan dulu biar lebih rileks.” Ia berucap setelah memanggi
Read more

37. Niat Awalmu Saja Sudah Salah

“Setuju nikah dengan Celoz?” Bu Indah bertanya memastikan. “Bukan, setuju untuk menyerahkan anak ini dengan barter sepuluh persen saham perusahaan.” Aku menegaskan. Merasa ini rezeki nomplok yang tidak akan datang dua kali. Persetan jika disebut ibu yang tidak sayang dengan anak. Sebab, ia hidup denganku juga belum tentu kebutuhannya akan terpenuhi. Terlebih aku belum tahu kepastian dari masa depanku nanti. Mungkin saja Mas Irsan tidak bisa kembali untuk hidup bersamaku lagi. Mungkin saja ia akan menolak anak ini. Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi. Lebih baik aku cari aman saja dengan menyetujui hal yang sudah pasti. Bu Indah tersenyum tipis. “Kau tidak ada bedanya dengan wanita di luar sana. Hanya mengincar harta Celoz saja.” Ia berucap dengan senyuman. Namun, senyum kekecewaan yang disertai dengan helaan napas dalam. Aku terdiam. Apa ia tengah menguji ketulusanku? “Kupikir kau akan menolak untuk itu.” Ia terlihat sangat kecewa. Aku menatap sorot matanya yang sayu. Menye
Read more

38. Biarkan Aku Pulang

“Mau ke mana?” Aku mendongak saat Celoz bangkit berdiri. Hari ini tidak ada hal apa pun yang kami lakukan. Hanya duduk berdua sembari membicarakan hal yang tidak penting dengan televisi menyala. Ia bahkan tidak ada mengajak untuk berhubungan seperti biasa. Tangannya pun tidak ada bergerilya ke mana-mana. Dia tampak normal untuk kali ini. “Aku mau pulang,” ucapnya seraya menarik napas kasar. “Bukankah ini rumahmu?” Aku menatap dengan lekat.Ia terdiam untuk beberapa saat. Membalas tatapanku dengan lebih lekat lagi. “Aku ingin kau yang jadi rumah, bukan apartemen ini.” Ia berucap dengan lemah. Menekankan padaku bahwa ia benar-benar ingin kami menikah secara sah. Sah di mata agama dan negara. Yang terpenting, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Aku terdiam. Mengalihkan pandang karena tidak sanggup membalas tatapannya. Sungguh, sebenernya aku juga ingin, hanya saja itu tidak mungkin. Aku benar-benar tidak bisa melepas lelaki yang sudah mengikatku terlebih dahulu dalam sebuah pe
Read more

39. Berhenti Berjuang

“Aku sendiri saja.” Aku menolak tawarannya, sebab tidak ingin ia memancing keributan di sana. Apalagi ia suka ikut campur dalam hal yang tidak berkaitan sama sekali dengannya. “Aku antar.” Ia kembali menegaskan. Ekspresi wajahnya tidak ingin mendapatkan penolakan. Aku tidak lagi bisa menolak. Terpaksa menerima tawarannya untuk mengantarkanku ke rumah orangtuanya Mas Irsan. Kuusap wajah untuk menghilangkan jejak tangis di sana. Kemudian mengikuti langkah Celoz menuju lift. Sedikit berlari ketika kami tiba di lantai dasar. Berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di depan sana. “Jangan berlari, bahaya untuk kandunganmu!” Celoz melarang. Namun, aku tetap berlari menuju mobilnya. Ia hanya menarik napas dengan kasar. Menekan remote pada kunci agar pintu mobil bisa kubuka. “Pasang seat belt-nya.” Celoz memang sangat perhatian. Untuk hal sekecil itu pun, ia ingatkan. Mobil mulai melaju dengan kencang. Pikiranku tidak bisa tenang selama di perjalanan. Bertanya-tanya mengapa ponsel Ma
Read more

40. Ungkapan Isi Hati

Aku mengikuti ajakan Celoz untuk pergi dari sana. Tidak lagi berpikir untuk bertahan dalam rumah tangga yang kini tidak lagi ditopang berdua. Sekuat apa pun aku ingin bertahan, jika Mas Irsan ingin sudahan tetap saja hubungan kami tidak bisa dipertahankan. Sebab, kunci dari sebuah hubungan ada ketika keinginan sang suami untuk bertahan lebih besar dibanding sang istri. Namun tampaknya tidak tersisa secuil pun keinginan itu di dalam dirinya. Masih belum bisa terlupakan saat ia bersikap tidak peduli, sementara ia tahu aku di-bully habis-habisan oleh keluarganya. Jangankan membela, ia bahkan tidak bertanya apa aku baik-baik saja. Sekarang aku paham mengapa selama ini pesanku hanya diabaikan. Ternyata bukan karena ponselnya dipegang oleh Intan, tapi memang karena ia yang tidak ingin mengirim balasan. Kutarik napas dengan kasar, berusaha tersenyum saat Celoz meremas punggung tanganku dengan lembut. Kurasa ini salah satu pertanda jika ajakan Celoz untuk berumah tangga harus kuterima. M
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status