“Mas, jangan pergi. Aku gak mau pisah sama kamu.” Aku berlutut dengan tangis yang sudah tidak bisa ditahan. Kupeluk erat kaki Mas Irsan, memohon agar ia tidak meninggalkan rumah ini. “Kamu udah gak sayang lagi sama aku? Kalau aku salah, aku minta maaf.” Aku terus memohon dengan isak yang mengiringi. Kupeluk erat kedua kakinya, menahan laju roda agar ia tidak keluar dari kamar dengan membawa tas besar di atas pahanya. Untuk apa kami berjuang selama ini, bertahan dalam himpitan ekonomi. Bersabar ketika tidak ada satu pun sanak family yang ingin mengakui. Menantang restu kedua orangtuanya, menikah tanpa ada keluarga yang mendampingi. Jika akhirnya kami berpisah juga. Terlebih, sia-sia pengorbananku yang telah menandatangani kontrak untuk hidup selama enam bulan ini bersama Celoz. Jika tahu akan begini, aku tidak akan pernah menerima tawaran itu. “Mas, aku gak mau kamu pergi.” Tangisku semakin pecah, sebab ia hanya diam. Aku mendongak, menatap wajahnya yang terhalangi oleh tas besar i
Read more