Home / Pernikahan / Gairah Panas Suami Kontrak / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Gairah Panas Suami Kontrak: Chapter 21 - Chapter 30

53 Chapters

21. Saran Dari Suya

Reviana mengirim foto dan video sebagai bentuk konfirmasi bahwa terapi Mas Irsan telah dilakukan. Aku merasa jauh lebih tenang sekarang, sebab satu per satu beban di pundak terasa sudah diangkat. Satu panggilan video masuk dari Mas Irsan. Aku hanya mendiamkan hingga panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Sebab, lagi-lagi tadi malam aku kembali mendapatkan siksaan dari Celoz. Entah sudah kesekian kali ia melakukan hal yang sama. Aku tidak ingat, sebab sepanjang saat tubuh tidak pernah sembuh dari luka. [Kamu sibuk?] Mas Irsan mengirim pesan. Pesannya juga sengaja aku abaikan. Alasan terpeleset di kamar mandi tidak mungkin bisa kembali menjadi alasan untuk wajah yang penuh luka lebam. Tidak mungkin Mas Irsan akan percaya jika aku memberikan jawaban yang sama saat ia melihat mukaku di layar ponsel nanti. Sudah lebih dari seminggu memang tidak ada komunikasi sejak terakhir kali kami berbicara lewat video call waktu itu. Ia pasti sudah sangat rindu ... aku juga. [Jangan lupa istira
Read more

22. Pertengkaran Suami Istri

“Aku bisa sendiri.” Aku menolak saat Celoz hendak membantu menuju kamar mandi. Aku sudah jauh lebih baik sekarang. Kaki telah bisa diajak untuk berjalan dan menopang berat badan. Celoz tetap memapah. Tidak membiarkan aku berjalan sendirian. “Lepas ...!” Aku meminta dengan lemah, menyingkirkan tangannya dari tubuhku. “Aku hanya ingin membantu.” Ia protes karena tangannya kuenyahkan. “Sudah kukatakan, aku bisa sendiri!” Aku berucap dengan nada tidak bersahabat. “Kau masih marah padaku?” Ia bertanya memastikan. “Bagaimana aku bisa marah padamu, bukankah kau telah membayarku untuk menjadi boneka seksmu?” Aku menatap dengan tajam, menegaskan bahwa aku benar-benar marah sesuai dengan apa yang ia pikirkan. “Aku sudah minta maaf berulang kali setelah aku melakukan itu. Aku merawatmu hingga kau sembuh, aku membayarmu untuk semua yang telah aku lakukan padamu. Kurang apa aku?!” Ia balik bertanya dengan nada yang mulai terdengar kesal. Aku menarik napas kasar. “Harusnya tanpa aku beritah
Read more

23. Rasa yang Beda

“Seminggu ini kamu ke mana saja? Tidak ada kabar sama sekali. Aku butuh makan, stock makanan di kulkas sudah mulai habis.” Aku langsung protes saat Celoz kembali lagi ke apartemen setelah ia pergi waktu itu. Ia benar-benar tidak ada kabar sama sekali. Menghilang bak ditelan bumi. Aku hubungi tidak pernah dijawab, kukirim pesan juga tidak ada balasan. “Bukannya kamu senang aku tidak ada di sini?” Ia berjalan dengan santai, lalu mengempaskan tubuhnya dengan kasar ke sofa. Aku terdiam. Dia memang benar, harusnya aku senang jika ia tidak ada. Namun entahlah. Aku ikut mengempaskan tubuh di sampingnya. Duduk dengan begitu dekat, sedikit merapatkan tubuh. “Jangan dekat-dekat.” Ia berkomentar seraya mengambil jarak, menjauh. Aku mengerutkan kening, biasanya ia yang tidak ingin jauh-jauh, tapi mengapa berbeda kali ini? “Kau marah padaku karena aku menolak ajakanmu waktu itu?” Aku bertanya memastikan. Memasang wajah bingung, sebab benar-benar tidak tahu apa alasan di balik sikapnya itu.
Read more

24. Kau Ingin Menjualku?

“Aku tidak bisa, sudah kukatakan aku mencintai suamiku. Cintaku untuknya melebihi apa pun.” Aku berucap dengan perasaan entah. Ada rasa aneh saat menatap sorot mata yang tampak kian meredup itu.Celoz tersenyum tipis. Genggamannya pada tanganku ia lepas. Ia hela napas dengan kasar. “Bersiaplah. Kita akan berbelanja. Aku ingin mengajakmu ke acara penting besok malam.” Ia berucap dengan lembut. Ditatapnya jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menjemputmu setengah jam lagi.” Ia berlalu setelah berucap demikian. “Ke mana?” Aku bertanya memastikan. Sebab, tidak ingin kejadian di club itu terulang lagi. Ia mencekokiku dengan alkohol secara paksa hanya sebagai alasan agar ia bisa pulang lebih awal.“Kau akan tahu besok.” Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuan kami. Aku menurut. Beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian. Setelah mencari yang paling tertutup, hanya ada dress merah tanpa lengan dengan panjang sejengkal di bawah pangkal paha. Itu sudah yang paling no
Read more

25. Kepergok Ibu Mertua

“Ma ... ini tidak seperti yang Mama bayangkan.” Aku berusaha untuk menjelaskan dengan suara bergetar. Tidak peduli terhadap rasa panas di pipi akibat tamparan yang ia berikan. Jantung semakin berdetak dengan sangat kencang. “Berhenti memanggilku mama dengan mulut busukmu itu!” Ia mengacungkan jari telunjuk. Menatap begitu tajam, tampak di manik mata itu bahwa kebenciannya terhadapku semakin besar. Lebih besar dari sebelumnya. “Mama salah paham.” Aku berusaha mendekat, tapi langsung didorong olehnya. “Salah paham gimana? Jelas-jelas kau jalan dengan lelaki lain, bersenang-senang di sini. Sementara putraku jadi cacat karenamu.” Ia berucap dengan begitu kasar. Seolah kondisi yang menimpa Mas Irsan adalah murni kesalahanku. “Ma ....” Aku terus berusaha mendekat setelah ia dorong berulang kali hingga hampir terjengkang jika Celoz tidak menahanku dari belakang. “Sudah kukatakan, berhenti memanggilku dengan sebutan itu!” Lagi, ia kembali mendaratkan satu tamparan di pipi kiri. Kali in
Read more

26. Kesalahan Terbesar

“Aku mau ini.” Aku memilih sebuah dress panjang dengan lengan yang menutup hingga pergelangan. Bagian lengan membentuk balon. Sementara di bagian pinggang dipasang karet agar sedikit membentuk badan. “Ambil.” Celoz berucap seraya mengitari pajangan baju yang lain. Ia tampak begitu fokus dalam memilah gaun di sana. “Kau suka ini?” Celoz mengangkat gaun hitam polos dengan tali yang tidak sampai sebesar jari kelingking. Gaun pilihannya tampak sederhana, tapi begitu elegan. “Ini cocok dengan kulitmu.” Ia menambahkan. “Ambil jika kau suka.” Aku membalas ucapannya. Kami beranjak menuju meja kasir. Membayar dua potong gaun itu. Yang satu untuk kukenakan nanti, sementara pilihannya untuk dikenakan ketika bertemu dengan orang penting yang pernah ia katakan sebelumnya. “Aku bingung harus membeli apa untuk Mas Irsan.” Aku berucap seolah meminta saran darinya. “Beli sepatu saja.” Ia menyarankan. Aku berhenti melangkah. Menoleh dan menatap ia dengan sorot entah. Menit berikutnya aku tersen
Read more

27. Tinggalkan Saja Dia

Mas Irsan terdiam cukup lama. Matanya fokus menatap sepatu dalam kotak yang tengah ia pegang. Aku mulai was-was, takut jika ini kembali memancing pertengkaran di antara kami. Bahkan mungkin lebih parah dari yang aku bayangkan. “Mas.” Kupanggil ia seraya meremas punggung tangannya dengan lembut. Sebab, ia sudah cukup lama terdiam tanpa ada kata sedikit pun. Mas Irsan mendongak. Ia tatap aku dengan sorot entah. Aku tidak tahu apa arti dari sorot yang ia berikan itu. Sebab, belum pernah menangkap tatapan itu dari manik matanya sebelumnya. Mas Irsan menarik napas kasar. “Kau lupa suamimu cacat, Nina?” Nada bicaranya terdengar kian asing. Mataku mulai terasa memanas setelah mendengar kalimat itu. Dada terasa sesak saat menatap sorot matanya yang kian asing dalam menatapku. Ia tutup kembali kotak itu, lalu meletakkannya dengan sedikit kasar di atas ranjang. “Mas ....” Kutahan tangannya saat ia mencoba untuk menjauh dariku. Namun, tanganku langsung ia empaskan dari sana. Tidak ingin k
Read more

28. Tawaran Mama Mertua

“Kau menikmatinya?” Aku terkejut saat tiba-tiba Celoz sudah berdiri tepat di sampingku saat aku tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi ini. Aku menoleh, menatap seraya mengerutkan kening. Bingung karena ia melempar pertanyaan itu secara tiba-tiba. “Aku mendengarnya dengan jelas tadi malam. Kau tidak pernah mendesah nikmat seperti itu saat kau bermain denganku.” Ia melanjutkan. Aku menarik napas dalam. Tidak percaya jika desahanku tadi malam akan terdengar begitu jelas hingga keluar kamar. Mungkin karena telah terbiasa berteriak penuh kesakitan ketika bercinta dengan Celoz, alam bawah sadarku langsung terhipnotis jika tidak akan ada yang bisa mendengar kami. “Jangan bicara yang aneh-aneh.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Sementara tangan terus memainkan sudip dalam membolak balik nasi goreng. “Dia masih bisa memuaskanmu?” Lagi, Celoz tetap membasah masalah yang sama. Aku menarik napas kasar, menatap ia dengan tajam. Sebab, ia tidak ingin mendengar apa yang aku katakan. Ia hany
Read more

29. Hamil

“Mas, jangan pergi. Aku gak mau pisah sama kamu.” Aku berlutut dengan tangis yang sudah tidak bisa ditahan. Kupeluk erat kaki Mas Irsan, memohon agar ia tidak meninggalkan rumah ini. “Kamu udah gak sayang lagi sama aku? Kalau aku salah, aku minta maaf.” Aku terus memohon dengan isak yang mengiringi. Kupeluk erat kedua kakinya, menahan laju roda agar ia tidak keluar dari kamar dengan membawa tas besar di atas pahanya. Untuk apa kami berjuang selama ini, bertahan dalam himpitan ekonomi. Bersabar ketika tidak ada satu pun sanak family yang ingin mengakui. Menantang restu kedua orangtuanya, menikah tanpa ada keluarga yang mendampingi. Jika akhirnya kami berpisah juga. Terlebih, sia-sia pengorbananku yang telah menandatangani kontrak untuk hidup selama enam bulan ini bersama Celoz. Jika tahu akan begini, aku tidak akan pernah menerima tawaran itu. “Mas, aku gak mau kamu pergi.” Tangisku semakin pecah, sebab ia hanya diam. Aku mendongak, menatap wajahnya yang terhalangi oleh tas besar i
Read more

30. Gugurkan Saja

“Aku tidak mau!” Aku menjawab dengan tegas. Lekas turun dari ranjang dan beranjak pelan keluar dari ruangan. “Kau harus mau!” Ia membalas. Ikut mengekor dari belakang. Aku tidak lagi menanggapi. Hanya diam mencari tempat untuk duduk dengan tenang agar kram di perut lekas berkurang. Celoz hendak duduk di sampingku, tapi lekas bangkit kembali sebelum ia benar-benar duduk. Sebab dipanggil oleh dokter untuk memberikan resep obat dan menebusnya di apotek. Celoz mengantongi kertas itu, membayar tagihan konsultasi, lalu mengajakku untuk pergi. Katanya kami harus membeli obat di apotek yang tidak jauh dari klinik. Nyatanya, Celoz tidak menghentikan laju mobil setelah kami beranjak dari sana dan melewati apotek yang dimaksud oleh dokter tadi. “Obatnya.” Aku protes, sebab apotek itu hanya ia lewati. “Itu hanya vitamin penyubur kandungan.” Ia nenjawab dengan datar. “Tetap saja aku butuh itu.” Aku memelas. “Kandunganmu harus digugurkan.” Ia kembali mengulang kalimat itu. Tampak benar-ben
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status