“Mas, jangan pergi. Aku gak mau pisah sama kamu.” Aku berlutut dengan tangis yang sudah tidak bisa ditahan. Kupeluk erat kaki Mas Irsan, memohon agar ia tidak meninggalkan rumah ini. “Kamu udah gak sayang lagi sama aku? Kalau aku salah, aku minta maaf.” Aku terus memohon dengan isak yang mengiringi. Kupeluk erat kedua kakinya, menahan laju roda agar ia tidak keluar dari kamar dengan membawa tas besar di atas pahanya. Untuk apa kami berjuang selama ini, bertahan dalam himpitan ekonomi. Bersabar ketika tidak ada satu pun sanak family yang ingin mengakui. Menantang restu kedua orangtuanya, menikah tanpa ada keluarga yang mendampingi. Jika akhirnya kami berpisah juga. Terlebih, sia-sia pengorbananku yang telah menandatangani kontrak untuk hidup selama enam bulan ini bersama Celoz. Jika tahu akan begini, aku tidak akan pernah menerima tawaran itu. “Mas, aku gak mau kamu pergi.” Tangisku semakin pecah, sebab ia hanya diam. Aku mendongak, menatap wajahnya yang terhalangi oleh tas besar i
“Aku tidak mau!” Aku menjawab dengan tegas. Lekas turun dari ranjang dan beranjak pelan keluar dari ruangan. “Kau harus mau!” Ia membalas. Ikut mengekor dari belakang. Aku tidak lagi menanggapi. Hanya diam mencari tempat untuk duduk dengan tenang agar kram di perut lekas berkurang. Celoz hendak duduk di sampingku, tapi lekas bangkit kembali sebelum ia benar-benar duduk. Sebab dipanggil oleh dokter untuk memberikan resep obat dan menebusnya di apotek. Celoz mengantongi kertas itu, membayar tagihan konsultasi, lalu mengajakku untuk pergi. Katanya kami harus membeli obat di apotek yang tidak jauh dari klinik. Nyatanya, Celoz tidak menghentikan laju mobil setelah kami beranjak dari sana dan melewati apotek yang dimaksud oleh dokter tadi. “Obatnya.” Aku protes, sebab apotek itu hanya ia lewati. “Itu hanya vitamin penyubur kandungan.” Ia nenjawab dengan datar. “Tetap saja aku butuh itu.” Aku memelas. “Kandunganmu harus digugurkan.” Ia kembali mengulang kalimat itu. Tampak benar-ben
Aku merasa begitu deg-degan sepanjang perjalanan. Jantung sama sekali tidak bisa kukendalikan. Sejak tadi debaran di dada terasa sangat tidak karuan. Perasaan ini sama seperti ketika Mas Irsan pertama kali membawaku ke rumah orangtuanya dulu. Memperkenalkanku sebagai calon istrinya. Kami tiba di sebuah rumah mewah pusat kota Jakarta ketika hari sudah malam. Memakan waktu sekitar dua jam dari rumahku dengan Mas Irsan. Aku sangat gugup. Sungguh. “Jadilah pacarku di hadapan ibuku.” Ia berucap dengan begitu lembut. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Celoz turun dari mobil lebih dulu. Aku menyusul beberapa menit kemudian, setelah menghela napas dengan begitu dalam. Berusaha untuk menetralisir perasaan. Mencoba mengurangi kegugupan. Celoz menggenggam jemariku ketika ia menggandeng menuju pintu masuk. Malam ini kami mengenakan pakaian senada. Aku mengenakan dress hitam panjang, sementara ia mengenakan kemeja panjang berwarna sama. Kurasakan telapak tangan sedikit basah dan dingin,
Aku bangkit berdiri, hendak menyusul Celoz untuk menenangkan. Namun, Bu Indah langsung menahan. Aku diminta untuk kembali duduk, berbicara empat mata dengannya. Aku kembali duduk, menatap wanita paruh baya yang masih tampak cantik di depan sana. Ia menatap dengan begitu dalam, tampak sangat serius sekarang. Kami terhalang cukup jauh, sebab meja ini lumayan panjang. Ia berada si ujung kanan, dan aku berada di ujung kiri. “Jujur, dibayar berapa kamu sama Celoz?” Tatapannya tampak sangat mengintimidasi. Aku diam cukup lama, tidak berani menjawab. “Tidak apa, jujur saja. Aku paham betul bagaimana sifatnya. Ia selalu membayar wanita untuk bisa tidur dengannya. Suka menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Sayang sekali jika kamu masuk ke dalam daftar itu. Padahal aku sudah memasukkan kamu ke daftar calon istri untuk Celoz jika kamu akhirnya menjadi janda. Bukan maksud buruk mendoakan kamu pisah dengan suamimu, tapi tidak salah bukan jika aku sempat berpikir begitu? Mengingat ke
Aku tidak bisa menghentikan tangisan saat kedua kaki melangkah meninggalkan tempat itu. Rasanya sakit sekali dengan perlakuannya kali ini. Ia marah pada ibunya, tapi melampiaskannya padaku juga. Mendengar kalimat penuh kebencian terlontar dari mulutnya serasa ada banyak anak panah yang menyerang rongga dada. Aku memesan taksi online, menunggu di pinggir jalan dengan sesekali mengusap pipi yang basah. Masih terngiang dengan jelas semua kalimat kasar yang ia lontarkan padaku. Berulang kali aku menoleh ke belakang, berharap Celoz akan datang mengejar. Meminta maaf karena telah melontarkan kata-kata kasar. Namun, nyatanya tidak sama sekali. Ia serius dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia tidak lagi ingin peduli. Kupeluk diri sendiri untuk menyalurkan rasa hangat, sebab angin malam mulai terasa semakin dingin menyerang. Taksi yang kupesan telah datang. Aku lekas masuk, meminta agar supir lekas melaju menuju rumah orang tua Mas Irsan. Berharap kedatanganku di sana akan diterima deng
Samar-samar kurasakan sapu tangan basah ditempelkan ke kening. Aku membuka mata, bangun dari tidur karena merasa terganggu. Cahaya matahari begitu silau menyinari. Aku berkedip berkali-kali demi menyesuaikan pandangan dengan cahaya tajam yang mengganggu penglihatan. Aku menyipitkan mata menatap lelaki yang tengah duduk di tepian ranjang. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas, sebab terhalang oleh cahaya matahari. “Mas ....” Aku memanggil dengan lembut. Berusaha untuk meraih tangannya. Berasa ini sebuah mimpi, sebab ia kembali datang ke rumah ini. Telapak tangan itu terasa hangat ketika ia memberikan telapak tangannya untuk kugenggam. Genggamannya terasa berbeda kali ini. “Akhirnya kau bangun juga. Badanmu sangat panas, kau bahkan berbicara dalam tidurmu.” Bukan suara Mas Irsan yang menjawab. Melainkan Celoz. “Kau ....” Suaraku seakan tercekat di tenggorokan. Segera kulepas genggaman pada tangannya, kemudian bangkit untuk duduk. Menatap ia dengan saksama. “Mengapa kau memanggilku
Reviana aku berhentikan kerja, sebab sudah tidak membutuhkan tenaganya lagi. Aku bisa mengurus diri sendiri, apalagi Celoz kembali membawaku ke apartemen setelah aku pulih dari demam. Ia urungkan ucapannya yang hendak membatalkan kontrak pernikahan. Mobil berhenti ketika kami menemukan apotek. Aku diminta untuk menunggu di dalam saja. Sementara ia menebus obat entah untuk siapa. Tidak mungkin itu obat untukku, karena aku benar-benar telah pulih dari demam. Tidak menunggu lama, Celoz kembali lagi dengan plastik obat di tangannya. “Buat siapa?” Aku bertanya saat ia memberikan plastik itu padaku. “Vitamin buat penyubur kandungan.” Ia berucap tanpa menoleh sama sekali. Lekas menyalakan mesin, lalu menancap gas menuju apartemen. Aku menarik napas dengan dalam, kemudian melempar senyum padanya. Ternyata ia benar-benar peduli dengan kandunganku. Ia tidak membalas senyum itu sama sekali. Kupeluk lengannya, lalu bersandar di bahunya. Perlahan, bahu itu mulai memberikan kenyaman. Rasanya
Aku berjalan menuju wanita yang masih tampak cantik di usia senja itu. Ia tersenyum saat mata kami saling beradu. Aku hanya memasang wajah datar, tidak membalas senyum manisnya sama sekali, sebab jadi merasa begitu canggung untuk bertemu setelah kejadian di malam itu. Aku menarik kursi setelah tiba di meja yang sama dengannya. Duduk di kursi yang saling berseberangan agar bisa bertatap muka. “Bagaimana kabarmu?” Bu Indah bertanya dengan begitu ramah. “Baik.” Aku menjawab dengan senyuman seraya mengusap tengkuk demi mengurangi rasa gugup. “Santai saja, mengapa kau jadi tampak berbeda?” Senyum tidak memudar dari bibirnya saat ia berucap demikian. Aku menautkan jemari, menggoyangkan kaki demi mengurangi laju jantung yang kian lama kian berdegup dengan sangat kencang. Membuat dada ikut berdebar dengan sangat tidak karuan. Wanita itu menghela napas dengan dalam. Lalu mendongak, memanggil waiters untuk memesan makanan. “Kita makan dulu biar lebih rileks.” Ia berucap setelah memanggi
“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di
Aku menoleh sekitar seraya menarik koper berwarna biru terang. Was-was jika Celoz sampai tahu. Berlari cepat saat taksi online yang kupesan telah tiba di depan gerbang sana. Mas Irsan setuju ketika rencana yang harusnya minggu depan, dimajukan pagi ini. Kuminta sang supir untuk lekas menancap gas menuju tempat tujuan sebelum Celoz datang lagi. Ia memang baru beberapa saat yang lalu pergi meninggalkan tempat ini, tapi siapa yang tahu jika ia tiba-tiba kembali karena ketinggalan sesuatu?[Aku udah berangkat.] Kukirim pesan pada Mas Irsan dan Suya. Jantung berdegup dengan sangat cepat. Berdebar, bukan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan lelaki yang aku cintai. Namun, karena khawatir ia menolak kehadiranku dengan kondisi perut membuncit seperti ini. [Oke. Kabari aku kalau terjadi sesuatu.] Suya mengirim balasan. Sementara dari Mas Irsan tidak ada balasan sama sekali. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, terasa begitu lama. Sebab jantung yang enggan untuk berdetak seperti biasa
“Kau mencari sesuatu?” Aku bertanya saat Celoz tampak tengah sibuk menggeledah pakaian yang tengah ia kenakan, juga bolak-balik mengitari seluruh sudut yang ada di apartemen. “Kau melihat kartuku?” “ATM?” “Bukan.”“Kartu kredit?” Ia berdesis pelan. “Kartu akses untuk keluar masuk apartemen.”Aku berbohong dengan mengatakan tidak melihat sama sekali. Sementara kartu itu telah kusimpan di tempat yang aman tadi malam. Saat ia meminta dimasakkan makanan enak. Aku ikut serta untuk mencari agar ia tidak curiga. Ikut sibuk membolak-balik apa yang bisa dibalik. Mulai dari sofa hingga ke ranjang sana. Ponsel yang ada di saku celananya berdering, membuat dirinya semakin terlihat begitu gelisah. Panggilan itu ia tolak seraya terus berusaha mencari kartu. “Coba ingat semalam kau letakkan di mana?” Aku menunjukkan simpati. “Setelah membuka pintu, sengaja tidak kumasukkan kembali ke dompet. Karena berpikir akan lekas keluar.” Ia menjawab tanpa menoleh sama sekali. Aku tersenyum melihat ia
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta