“Mau ke mana?” Aku mendongak saat Celoz bangkit berdiri. Hari ini tidak ada hal apa pun yang kami lakukan. Hanya duduk berdua sembari membicarakan hal yang tidak penting dengan televisi menyala. Ia bahkan tidak ada mengajak untuk berhubungan seperti biasa. Tangannya pun tidak ada bergerilya ke mana-mana. Dia tampak normal untuk kali ini. “Aku mau pulang,” ucapnya seraya menarik napas kasar. “Bukankah ini rumahmu?” Aku menatap dengan lekat.Ia terdiam untuk beberapa saat. Membalas tatapanku dengan lebih lekat lagi. “Aku ingin kau yang jadi rumah, bukan apartemen ini.” Ia berucap dengan lemah. Menekankan padaku bahwa ia benar-benar ingin kami menikah secara sah. Sah di mata agama dan negara. Yang terpenting, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Aku terdiam. Mengalihkan pandang karena tidak sanggup membalas tatapannya. Sungguh, sebenernya aku juga ingin, hanya saja itu tidak mungkin. Aku benar-benar tidak bisa melepas lelaki yang sudah mengikatku terlebih dahulu dalam sebuah pe
“Aku sendiri saja.” Aku menolak tawarannya, sebab tidak ingin ia memancing keributan di sana. Apalagi ia suka ikut campur dalam hal yang tidak berkaitan sama sekali dengannya. “Aku antar.” Ia kembali menegaskan. Ekspresi wajahnya tidak ingin mendapatkan penolakan. Aku tidak lagi bisa menolak. Terpaksa menerima tawarannya untuk mengantarkanku ke rumah orangtuanya Mas Irsan. Kuusap wajah untuk menghilangkan jejak tangis di sana. Kemudian mengikuti langkah Celoz menuju lift. Sedikit berlari ketika kami tiba di lantai dasar. Berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di depan sana. “Jangan berlari, bahaya untuk kandunganmu!” Celoz melarang. Namun, aku tetap berlari menuju mobilnya. Ia hanya menarik napas dengan kasar. Menekan remote pada kunci agar pintu mobil bisa kubuka. “Pasang seat belt-nya.” Celoz memang sangat perhatian. Untuk hal sekecil itu pun, ia ingatkan. Mobil mulai melaju dengan kencang. Pikiranku tidak bisa tenang selama di perjalanan. Bertanya-tanya mengapa ponsel Ma
Aku mengikuti ajakan Celoz untuk pergi dari sana. Tidak lagi berpikir untuk bertahan dalam rumah tangga yang kini tidak lagi ditopang berdua. Sekuat apa pun aku ingin bertahan, jika Mas Irsan ingin sudahan tetap saja hubungan kami tidak bisa dipertahankan. Sebab, kunci dari sebuah hubungan ada ketika keinginan sang suami untuk bertahan lebih besar dibanding sang istri. Namun tampaknya tidak tersisa secuil pun keinginan itu di dalam dirinya. Masih belum bisa terlupakan saat ia bersikap tidak peduli, sementara ia tahu aku di-bully habis-habisan oleh keluarganya. Jangankan membela, ia bahkan tidak bertanya apa aku baik-baik saja. Sekarang aku paham mengapa selama ini pesanku hanya diabaikan. Ternyata bukan karena ponselnya dipegang oleh Intan, tapi memang karena ia yang tidak ingin mengirim balasan. Kutarik napas dengan kasar, berusaha tersenyum saat Celoz meremas punggung tanganku dengan lembut. Kurasa ini salah satu pertanda jika ajakan Celoz untuk berumah tangga harus kuterima. M
“Nina, tunggu!” Celoz tetap saja berusaha untuk menghentikan langkahku. Ia mengejar di saat aku berlari, kembali menghentikan dengan memberikan cengkeram erat di lengan. Aku terpaksa berhenti, berbalik dan memberikan ia tatapan tajam. Menegaskan bahwa aku benar-benar marah sekarang. Kepercayaan besar yang telah kuberikan, nyatanya dibalas dengan sebuah pengkhianatan.“Apa tidak ada hal lain yang bisa kau mainkan selain hatiku? Aku sakit, Celoz! Aku berdebar menunggumu untuk pulang, datang ke sini karena ingin membeli bahan masakan untukmu. Tapi kau ... kau malah enak berduaan dengan wanita itu!” Kuhempaskan tangan hingga cengkeramannya terlepas. Tangis semakin pecah, tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang menatap kami dengan sorot entah. Ia terdiam, menatapku dengan begitu lekat. “Aku benci kamu!” Kudorong dadanya dengan kuat hingga ia terjungkal ke belakang. Lalu lekas berlari menuju lantai bawah dan mencari pintu keluar. Sakit sekali rasanya ketika ia yang kukira telah mem
Kutekan berulang kali kode yang selama ini kupakai untuk membuka pintu, tapi kodenya tidak lagi berfungsi. Pintu tetap tertutup dengan rapat. Berulang kali kucoba, tapi tetap saja kodenya salah. Pintu tidak bisa dibuka sama sekali. Aku berdecak kesal, menarik rambut dengan frustrasi. Bingung harus dengan cara apa untuk melarikan diri dari sini. Persetan jika Celoz marah dan meminta tuntutan penalti, aku tidak akan lagi peduli. Uang bukan apa-apa bagiku sekarang, yang terpenting adalah kesehatan mental. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya jika aku terus berada di sini. Kuhela napas dengan kasar, mengeluarkannya secara perlahan, kemudian mencoba menekan angka-angka secara acak. Namun, sudah puluhan kali mencoba, tetap saja tidak ada hasilnya. Ponsel yang berada di dalam tas berdering, segera kurogoh tas untuk meraih ponsel dan melihat nama yang tertera di sana. Bu Indah. Aku sempat berpikir beberapa saat sebelum memutuskan untuk menerima panggilan. “Kau tidak jadi data
Aku mengenakan baju paling seksi yang tersedia di lemari, memoles wajah dengan make up tipis dan memasang senyum manis. Menyambut Celoz yang akan datang ke apartemen hari ini, sebab aku memaksa agar ia kembali mengisi kulkas karena stock makanan yang sudah habis. Aku menyambut dengan sangat ramah dan manja, bergelayut di lengan kekarnya yang tengah menjinjing banyak plastik berisi bahan makanan. Keningnya berkerut saat ia menoleh menatapku. Wajah itu tidak bisa menyembunyikan kebingungannya.“Kau sakit?” Ia bertanya dengan sinis. “Kamu kok jadi sinis sih? Aku kan hanya melakukan apa yang kau inginkan. Menganggap kejadian waktu itu tidak pernah ada. Bukankah kita saling mencintai?” Kuelus dadanya dengan lembut.Ia hanya tertawa sinis. Menyingkirkan tanganku dari dada dan lengannya. Mengabaikan dan terus berjalan menuju ruang belakang. Memenuhi kulkas dengan bahan makanan. Aku hanya bisa mengekor di belakang. “Kau tidak mengidam apa pun?” Celoz bertanya seraya bangkit berdiri setelah
“Anaknya cowok, Pak.” Dokter muda itu berucap setelah melihat monitor yang terhubung dengan alat yang menempel di kulit perutku.Aku ikut menoleh dengan sedikit mendongak, ingin mengamati pergerakan yang ada di layar. Sudah tampak mulai berbentuk seperti sosok bayi, tapi belum begitu sempurna.“Sehat, Dok?” Aku bertanya memastikan.“Sehat, kondisi dan posisinya cukup baik.”“Syukurlah.” Aku menghela napas lega, kupikir stress beberapa hari terakhir ini akan sangat berpengaruh padanya. Mungkin karena rutin minum susu dan vitamin yang dibelikan oleh Celoz, jadi itu cukup membantu.“Apa wajar jika dia tidak mengidam sama sekali?” Celoz ikut menanggapi.“Wajar saja. Kondisi setiap ibu hamil itu berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan semuanya.” Ia menjelaskan dengan baik.Celoz hanya diam menanggapi. Tampak tengah berpikir, entah memikirkan apa.Aku bangkit untuk duduk dan turun dari brankar setelah semuanya selesai. Keluar dari ruangan menyusul Celoz yang telah lebih dulu beranjak pergi.
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta
“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di
Aku menoleh sekitar seraya menarik koper berwarna biru terang. Was-was jika Celoz sampai tahu. Berlari cepat saat taksi online yang kupesan telah tiba di depan gerbang sana. Mas Irsan setuju ketika rencana yang harusnya minggu depan, dimajukan pagi ini. Kuminta sang supir untuk lekas menancap gas menuju tempat tujuan sebelum Celoz datang lagi. Ia memang baru beberapa saat yang lalu pergi meninggalkan tempat ini, tapi siapa yang tahu jika ia tiba-tiba kembali karena ketinggalan sesuatu?[Aku udah berangkat.] Kukirim pesan pada Mas Irsan dan Suya. Jantung berdegup dengan sangat cepat. Berdebar, bukan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan lelaki yang aku cintai. Namun, karena khawatir ia menolak kehadiranku dengan kondisi perut membuncit seperti ini. [Oke. Kabari aku kalau terjadi sesuatu.] Suya mengirim balasan. Sementara dari Mas Irsan tidak ada balasan sama sekali. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, terasa begitu lama. Sebab jantung yang enggan untuk berdetak seperti biasa
“Kau mencari sesuatu?” Aku bertanya saat Celoz tampak tengah sibuk menggeledah pakaian yang tengah ia kenakan, juga bolak-balik mengitari seluruh sudut yang ada di apartemen. “Kau melihat kartuku?” “ATM?” “Bukan.”“Kartu kredit?” Ia berdesis pelan. “Kartu akses untuk keluar masuk apartemen.”Aku berbohong dengan mengatakan tidak melihat sama sekali. Sementara kartu itu telah kusimpan di tempat yang aman tadi malam. Saat ia meminta dimasakkan makanan enak. Aku ikut serta untuk mencari agar ia tidak curiga. Ikut sibuk membolak-balik apa yang bisa dibalik. Mulai dari sofa hingga ke ranjang sana. Ponsel yang ada di saku celananya berdering, membuat dirinya semakin terlihat begitu gelisah. Panggilan itu ia tolak seraya terus berusaha mencari kartu. “Coba ingat semalam kau letakkan di mana?” Aku menunjukkan simpati. “Setelah membuka pintu, sengaja tidak kumasukkan kembali ke dompet. Karena berpikir akan lekas keluar.” Ia menjawab tanpa menoleh sama sekali. Aku tersenyum melihat ia
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta