Home / Rumah Tangga / Wanita Penjaja Cinta / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Wanita Penjaja Cinta: Chapter 61 - Chapter 70

99 Chapters

Bab 61

"Mas, gimana Abah?" Bukannya menjawab, Mas Rahman malah memberiku kode dengan tatapan mata disertai gelengan samar. Yang artinya aku tak boleh banyak bertanya. Pagi ini bersama Umi menyusul Mas Rahman ke rumah sakit, selain membawakan baju ganti dan makanan, kami juga menjenguk Abah. "Iya, Man. Abahmu sudah bangun belum?" Timpal Umi. Mas Rahman menatapku sekilas, lalu menatap Umi. Tatapan itu .... Aku tahu betul apa arti tatapan suamiku. Ada beban berat yang tengah dia pikul sendiri, ada beban yang hanya ingin dia bagi denganku, bukan dengan Umi. Niat ingat membicarakan tentang Dinda yang mulai dekat dengan Rey jadi batal, keadaan tidak memungkinkan. Mas Rahman menghela nafas panjang, sebelum akhirnya buka suara. "Abah di ruang ICU, Mi. Sejak kemarin Abah belum sadar." Suara itu terdengar begitu berat. "Ta---tapi Abahmu akan sembuh, kan, Man? Dia akan kembali seperti sedia kala, kan?" Mata Umi berkaca-kaca saat berkata. Mas Rahman menunduk beberapa saat, lalu kembali menatap Umi.
last updateLast Updated : 2023-07-03
Read more

Bab 62

Kalau sudah begitu aku jadi tidak tega, tapi keadaan Umi benar-benar tidak memungkinkan untuk diajak bicara. Bahkan sejak tadi kehadiran kami sama sekali tak dia pedulikan. "Yang ngeyel ngajak saya ke Semarang itu, Mas Fauzi. Beliau bilang akan menutup mata dengan tenang, kalau melihat saya berdamai dengan Mbak Farida." Bu Naya menjeda ucapannya. Dihapusnya air mata yang dari tadi membanjiri pipi mulusnya. Dari pipi tangan Bu Naya turun ke perut, lalu mengelus nya lembut. "Mas Fauzi ingin anaknya kelak di akui dan diterima Mbak Farida dan Mas Rahman." "Mak--maksudnya, Bu Naya hamil?" Wanita yang lebih pantas jadi kakaknya Mas Rahman itu mengangguk pelan.Kalau saja Bu Naya tidak mengelus perutnya, aku tidak akan tahu kalau wanita cantik ini hamil. Gamis lebarnya menyamarkan perut yang membuncit itu."Mas Fauzi seneng sekali, akhirnya saya mengandung anaknya.""Bu--Bu Naya hamil?" Mas Rahman yang dari tadi sibuk memijit kaki Umi itu pun, bertanya. "Iya, adik kamu," jawab Bu Naya ma
last updateLast Updated : 2023-07-04
Read more

Bab 63

Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkan ruangan Sarah. Langkahku mantap terayun menuju ICU, namun disaat bersamaan beberapa orang nakes berlari ke ruang yang sama dengan wajah tegang. Tak lama kemudian Mas Rahman keluar dengan wajah sembab, dan langsung menubrukku. "Abah, Mey .... " Mas Rahman menangis sesenggukan sambil memelukku erat. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Abah berpulang, meninggalkan kami semua. "Sabar ya, Mas. Ini suratan takdir, kita harus bisa menerima dengan ikhlas. Mas Rahman pasti kuat." Ku elus lembut punggung suamiku. Pria yang biasanya terlihat berwibawa ini, sekarang seperti anak kecil. Dia menangis meratapi kepergian Abah. Beberapa tahun menjadi istrinya, baru kali ini aku melihat Mas Rahman sesedih ini. Aku bahkan bisa merasakan air matanya membasahi pundakku. Aku tahu, Mas Rahman merasa kehilangan luar biasa. Abah adalah sosok orang tua, guru, teman juga sahabat buat Mas Rahman. Sebelum pernikahan kedua Abah terbo
last updateLast Updated : 2023-07-05
Read more

Bab 64

Acara pemakaman Abah berjalan hikmat dan lancar, banyak kolega dan rekan beliau yang datang melayat. Tak ketinggalan tetangga sekitar juga datang. Selama hidupnya, Abah dikenal sebagai orang yang ramah, dan baik hati tak pernah memandang orang dari status sosialnya, semua diperlakukan sama. Tak heran kalau banyak yang ingin memberi penghormatan terakhir pada Abah begitu membludak. Apalagi Abah sudah puluhan tahun mengajar, mantan muridnya sudah ribuan. Tak heran prosesi pemakaman Abah jadi berjubel penuh manusia. Demi bisa mengantar Abah ke peristirahatan terakhir, Umi akhirnya pulang paksa meski keadaannya masih begitu lemah. Umi juga sempat pingsan, begitu diberitahu Abah sudah meninggal. Aku bisa melihat bagaimana sedihnya Umi kehilangan lelaki yang begitu dia cintai, lelaki pertama dan terakhir yang pernah menghuni hati Umi. Sejak jenazah datang hingga diberangkatkan ke pemakanan, air mata tak henti mengalir di pipi Umi. Bukan hanya Umi, aku pun sangat bersedih dan merasa kehilan
last updateLast Updated : 2023-07-06
Read more

Bab 65

"Bu Naya yang memasukkan berkat itu ke kamar, Mbak. Waktu saya tanya, dia bilang, " bukan urusanmu! Kamu itu hanya pembantu!" Adu Mbak Susi. Aku jadi geram sendiri pada perempuan itu. Maksudnya apa menyembunyikan berkat sebanyak itu? Nggak mungkin mau dia makan sendiri, kan? Aku menghela nafas panjang, bingung juga menghadapi kelakuan istri muda almarhum ini. Kok, bisa-bisanya menyembunyikan berkat."Ambil semua berkat, Mbak, kita bawa ke depan! Banyak tamu pria yang belum kebagian," ucapku tegas. "Kalau Bu Naya nanya, gimana?" Wanita itu menatapku ragu. Mungkin dalam pikirannya, Bu Naya juga harus dihormati, seperti halnya Umi, karena dia juga istri Abah. "Biar itu jadi urusan saya, Mbak." Wanita itu mengangguk, kemudian masuk ke kamar dan mulai mengambil tumpukan nasi kotak itu. "Lho ... lho ... lho ..., kok berkatnya diambil semua? Gimana, sih? Itu kan buat keluarga saya," protes Bu Naya, saat berkat hanya tinggal beberapa kotak saja. Aku yang tengah membantu Mbak Susi mengan
last updateLast Updated : 2023-07-07
Read more

Bab 66

"Kamu jangan memonopoli semua harta Mas Fauzi sendiri. Aku ini istrinya juga, kami sudah menikah secara resmi. Itu artinya aku juga punya hak, apalagi aku sedang hamil darah daging Abah. Adik kamu juga. Pokoknya, aku mau warisan dibagi adil! Titik" Aku kenal sekali dengan suara itu. Itu Bu Naya, kenapa tiba-tiba dia ngomong seperti itu? "Baru kemarin Abah dimakamkan, anda sudah ribut soal warisan? Dimana hati nurani anda?" Balas Mas Rahman. Ruang makan terletak di depan kamar Umi. Jadi aku bisa dengan jelas mendengar suara debat antara Bu Naya dan Mas Rahman. "Sing padu iku sopo, Mey?" (Yang debat itu siapa, Mey) Umi bertanya sambil mengunyah."Nggak tahu, Mi." Meski aku tahu betul siapa pemilik suara yang tengah adu debat itu, di depan Umi aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak mau wanita ringkih ini jadi kepikiran, kalau tahu siapa yang sedang ribut di depan, dan apa yang diributkan. Nanti memperburuk kondisi Umi yang sedang terpuruk. "Coba kamu lihat! Suaranya kok kayak suamimu
last updateLast Updated : 2023-07-08
Read more

Bab 67

"Bu Naya pergi, dijemput mobil kayak punyanya Bapak tadi, Mbak," jelas Mbak Susi ketika kutanya keberadaan Bu Naya. Menjelang Maghrib keluar rumah tanpa ijin, dijemput mobil sekelas pajero. Aku yakin itu bukan taksi online, karena moda transportasi tersebut biasanya menggunakan mobil sejuta umat. Aku jadi penasaran, siapa yang menjemput Bu Naya? Ada urusan apa mereka? Memang aku tidak punya hak tahu apa yang dilakukan Bu Naya, tapi sebagai tamu alangkah baiknya keluar masuk harus sepengetahuan si pemilik rumah. Menurutku sangat tidak sopan, tidak menghargai tuan rumah. Sejak Bu Naya menginap di rumah ini, aku memang kurang sreg dengan sikapnya yang mbosi. Suka main perintah seenaknya pada pembantu di rumah ini, memang mereka dibayar untuk mengerjakan tugas mengurus dan melayani pemilik rumah. Tapi Bu Naya kan, tamu. Bukan Nyonya rumah ini, harusnya dia tahu diri dan bisa jaga sikap. Ditambah lagi keberaniannya menuntut warisan Abah yang baru beberapa hari meninggal, dan sekarang p
last updateLast Updated : 2023-07-10
Read more

Bab 68

Saat itu juga, Bu Naya dan teman laki-lakinya disidang oleh Mas Rahman. Awalnya mereka berdua mengaku ada urusan bisnis, hingga terpaksa pulang lewat tengah malam. Tapi Mas Rahman bukan tipe orang yang mudah percaya begitu saja, apalagi sejak awal dia sudah mencurigai Bu Naya punya andil dalam kecelakaan yang dialami Abah. Dia terus mencerca Bu Naya dan teman laki-lakinya itu. "Bisnis apa yang melibatkan laki-laki dan perempuan, hingga harus pulang malam? Bisnis lendir?" Sindir Mas Rahman. Dua terdakwa itu saling pandang, seperti memberi kode yang aku tak mengerti apa maksudnya. "Kami memang benar-benar ada urusan bisnis, kenapa kamu ngomongnya sinis begitu? Kamu pikir urusan laki-laki dan perempuan hanya soal selang****an?" Balas Bu Naya tak kalah pedas. "Anda bisa berkilah, tapi saya bukan anak kecil yang bisa dengan mudah anda bohongi. Dari gestur tubuh kalian, aku tahu ada hubungan yang ingin kalian tutupi. Ada rahasia yang sengaja kalian simpan. Kalau kalian memilih bungkam,
last updateLast Updated : 2023-07-11
Read more

Bab 69

"Kamu pergi aja, Mas. Biar Umi aku yang jaga. Kamu sudah ijin lama, masa iya mau ijin lagi?" Ucapku berusaha meyakinkan ketika Mas Rahman terlihat ragu, antara ingin menjaga Umi atau pergi mengajar. Kalau urusan show room Mas Rahman bisa santai, ada Rudi orang kepercayaannya yang biasa mengurusi semuanya, kalau Mas Rahman sedang berhalangan datang."Beneran nggak pa-pa?" Aku mengangguk yakin. "Ya udah, kalau begitu aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa segera telfon, ya," pintanya dengan wajah khawatir. Mas Rahman lantas mendekap tubuhku, kemudian mencium puncak kepala setelah kucium takzim punggung tangannya. "Aku beruntung memilikimu, Mey," desis Mas Rahman sebelum melepas pelukan, dan akhirnya meningggalkan ruang rawat uminya. "Hati-hati, Mas!" Ucapnya saat mengantar Mas Rahman sampai pintu. Kupandang punggung laki-laki yang telah membersamaiku selama hampir tiga tahun itu, hingga menghilang di belokan. Kalau dia merasa beruntung memilikiku, aku pun sama. Bahkan aku sangat bersyuk
last updateLast Updated : 2023-07-12
Read more

Bab 70

"Maaf, Mama Dinda. Saya mau mengkonfirmasi, Dinda sudah tiga hari nggak masuk sekolah tanpa ijin. Apa Dinda sakit, atau bagaimana?"Deg! Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Jadi tiga hari ini Dinda bolos sekolah, kemana dia? Kalau anak SMA atau SMP, mungkin mereka bolosnya pergi nongkrong sama teman-temannya. Lalu anak anak kelas 5 SD macam Dinda ngapain aja? Setahuku Dinda tak punya banyak teman, dia juga tak suka keluar main. Pulang sekolah biasanya dia langsung mandi dan makan, habis magrib mengerjakan tugas atau belajar. Sekolah Dinda full day school, waktunya habis untuk belajar. Apa karena bosan terus dia bolos sekolah? "Dinda tiga hari tidak masuk sekolah, Bu?" Aku masih belum percaya apa yang wali kelas Dinda katakan. "Iya, Bu. Apa sih, untungnya saya berbohong?" Iya, juga ya. Tak mungkin wali kelas Dinda bercanda dengan informasi sepenting ini. "Tapi tiga hari ini Dinda selalu berangkat sekolah, Bu. Saya sendiri yang mengantar dia sampai depan rumah, hingga naik mobil jempu
last updateLast Updated : 2023-07-13
Read more
PREV
1
...
5678910
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status