Semua Bab Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati: Bab 201 - Bab 210
228 Bab
201. Ulfah
Rayyan sedikit mengerutkan dahinya. Ada secercah raut kebingungan yang tergambar saat Ali menuturkan sebuah kalimat dengan nada kembut kepadanya itu. “Menjaga seperti apa, Abi? Rayyan tidak mengerti, Rayyan bahkan tidak melakukan apapun,” ujar Rayyan melirih sembari menatap wajah sayu Ali. Tangan kanan Ali menepuk pundak Rayyan dan seketika memindah pandangan pemuda itu dari wajah Ali ke tangan yang kini mendarat pada bahunya. “Abi ingin berbicara denganmu saat kau telah pulih nanti. Jadi segeralah pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Semoga Allah selalu melindungimu, Aamiin.” Ali lagi-lagi tersenyum. Tak menjawab pertanyaan dari sang pemuda di hadapannya itu, Ali kini malah berjalan hendak keluar kamar asrama yang mulai hari itu akan sementara ditinggali Rayyan. Masih dengan lamunan dan seribu rasa tanyanya, Rayyan akhirnya memaksa diri berbaring pada ranjang, matanya memaksa untuk terpejam meski pikirannya benar-benar masih rumit. Sementara itu, Nadina tampak tengah mengge
Baca selengkapnya
202. Dihajar Rindu
Nadina melebarkan senyumnya lalu menghapus air matanya cepat. “Umi bikin Nadina khawatir saja. Nadina kira umi benar-benar marah,” ujar wanita itu sambil terkekeh ringan. “Mana mungkin umi marah dengan putri sebaik ini? Tapi umi ada satu pertanyaan, dan kali ini Nadina harus menjawabnya dengan tegas! Bisa?” ujar Ulfah. Nadina mengangguk setuju dan paham. Kini ia menatap Ulfah seolah siap dengan pertanyaan apa saja yang akan wanita itu tanyakan padanya. Sama dengan Nadina yang tengah menatapnya, Ulfah kini pun sedang menatap wanita muda yang ada di hadapannya itu. Samar-samar raut antusias dan cemas menyatu dalam wajah Nadina. Degup jantungnya mulai bertambah kencang, meskipun begitu ia mencoba bersikap sewajarnya saja. “Sampai kapan Nadina hendak memenjarakan Nadhif di dalam hati, Nadina? Sampai kapan kamu ingin hidup di bawah bayang-bayang mendiang suamimu, Nadina?” Raut muka Nadina seketika berubah, dari senyuman tipis yang awalnya ada pada wajahnya, kini ia malah memandang k
Baca selengkapnya
203. Rasa yang Terselip
Keesokan paginya, Adnan telah berada di sekolah. Ia berjalan sedikit gontai di koridor yang mengarah ke dalam kelasnya. Namun tiba-tiba sebuah suara memekik memanggil namanya. “Adnan!!” Bocah itu segera berhenti dan berbalik. Raut murungnya tiba-tiba berubah menjadi raut bahagia. Tangannya dengan cepat melambai, kakinya melompat senang melihat siapa yang memanggilnya barusan. “Azif!!” pekik Adnan. Dua bocah cilik itu kini saling melakukan tos hantam yang mereka lalukan setiap bertemu kawan kelas lain. “Baru datang juga, ya? Hari ini main gasing, yuk!” pekik Azif sembari berjalan di sebelah Adnan menuju kelas mereka berdua. “Yahh, harusnya kamu bilang kemarin. Jadi aku bawa gasingnya. Kalau sekarang aku nggak bawa, Zif! Besok gimana?” tanya Adnan dengan raut penasaran akan jawaban Azif. “Ahh, begitu! Oke deh! Nggak apa-apa! Nanti kita main bola aja sama temen-temen lain! Oiya, kemarin tempat duduk yang aku pake punya kamu, ya? Maaf ya! Aku enggak tahu, kemarin waktu aku datang,
Baca selengkapnya
204. Nyaris
Hari berganti hari, kondisi Rayyan perlahan kembali pulih, meskipun begitu pemuda itu tampak belum ingin pergi dari sana. Mungkin tiga hari berada di sana telah membuatnya merasakan kehangatan keluarga yang selama ini tak ia dapatkan semenjak kematian orang tuanya. Rayyan mulai kembali mengajar di sekolah dan kembali berinteraksi dengan Adnan. Guru itu juga tahu jika sekarang Adnan tampak semakin bersemangat karena kehadiran murid baru yang menurut bocah itu sangat unik. Hingga hari ini, Adnan berencana mengundang Azif untuk bermain di rumahnya. Nadina telah menyiapkan segalanya berharap kawan putranya itu akan merasa nyaman nantinya. Saking tak sabarnya akan pertemuan itu, Adnan bahkan sampai menunggu di depan gerbang pondok untuk menjemput Azif. Sementara Nadina yang merasa rawan karena putranya berada di tepi jalan pun akhirnya turut mengikuti. “Kamu sangat senang sepertinya, Sayang! Ibu yakin temanmu tidak akan tersesat saat menuju kemari. Kita bisa menunggu di dalam, kok!” uj
Baca selengkapnya
205. Mengulik
Nadina menyiapkan makanan ringan untuk Adnan dan Azif sembari keduanya tengah bersama-sama bermain di ruang tamu dalem saat itu. “Adnan, ajak Azif untuk makan jajanannya, ya! Jangan dibiarin saja!” tutur Nadina sembari menata makanan dan minuman yang ia bawa ke meja. “Siap, Ibu!” pekik Adnan. “Terima kasih, Tante!” sahut Azif dan tersenyum lebar. Nadina balas tersenyum. Namun sekelebat senyuman Azif seolah mengingatkan Nadina dengan seseorang, namun ia bingung siapa orang yang senyumnya memiliki getaran yang sama dengan senyum bocah itu. Tak ingin mengambil pusing tentang hal itu, Nadina akhirnya segera bangkit dan pergi dari sana. Seperti yang ia janjikan, ia bertemu dengan Rayyan di aula terbuka. Pemuda itu tampak telah berada di sana dan duduk menantinya. Saat Nadina mendekat, Rayyan segera bangkit dan menyambut Nadina dengan sedikit menunduk. “Maaf telah membuatmu lama menunggu,” ujar Nadina. “Tidak, aku juga baru saja tiba. Mau langsung duduk saja?” Keduanya pun lanjut du
Baca selengkapnya
206. Ancaman Baru
Nadina segera keluar dari kawasan pondok, menoleh ke kana dan ke kiri berusaha mencari ke mana kurir yang membawa surat antah berantah itu. Namun sayangnya, lagi-lagi tak ada informasi. Kurir itu menghilang. “Nadina, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba berlari??” sergah Rayyan yang turut menyusul Nadina saat itu. Wajah Nadina jelas menunjukkan kepanikan, ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri seolah tengah kehilangan sesuatu dan berusaha mencarinya. Tak sabar dengan jawaban yang akan Nadina berikan, Rayyan akhirnya meraih kertas itu dan turut membacanya. “Surat apa ini? Maksudnya motor tadi?” ujar Rayyan. Nadina memandang Rayyan cemas dan menarik kembali surat itu dari tangan pemuda itu. Nadina tak membalas dan malah pergi meninggalkan Rayyan ke arah ruang kesekretariatan. “Ya Tuhan, apalagi ini? Apa itu surat ancaman? Tapi dari siapa? Atau mungkin...,” gumam Rayyan sebelum akhirnya kembali menyusul Nadina. “Assalamualaikum! Afwan, siapa yang tadi menerima surat ini dari kurir lepas?”
Baca selengkapnya
207. Dalang Teror
Hari itu juga, Rayyan pergi dari kawasan pondok usai mendapatkan pernyataan dan sedikit cerita dari Melati mengenai ancaman yang beberapa hari ini Nadina terima. Pemuda itu tampak tergesa dengan mobilnya. Pikirannya terus melanglang buana seolah sedang memikirkan hal terpenting di dunia ini. Tak hanya itu, ia bahkan menjadi sering menoleh ke spion dan kaca tengah agar ia bisa dengan segera menginjak pedal gasnya. Tak ada tujuan lain hang akan ia datangi kecuali satu. Kediaman Regina. Ya! Siapa yang tak akan mengira bahwa Reginalah dalang dari segala kerusuhan bangkai tikus dan surat ancaman itu? Jika menilik dari latar belakang Regina mengenal Nadina, bukankah itu sangat masuk akal? “Lihat saja Regina, jika benar kau yang melakukan semua ini terhadap Nadina, aku tak akan tinggal diam! Akan kupastikan kau mendekam di penjara! Kriminal sepertimu tak akan pantas untuk hidup bebas bersama manusia normal lainnya!” sergah Nadina. Mobil hitam milik Rayyan kini telah memasuki kawasan peru
Baca selengkapnya
208. Komplotan
Raut muka Regina berubah menjadi tajam saat menuturkan semua pertanyaannya kepada sang lawan bicara. Samar-samar suara seseorang muncul membalas tuduhannya. [“Kau bicara apa, Regina! Kita baru saja hendak bertemu! Dengar, kau sudah terlambat, jangan membuatku marah dengan membuatku menunggu lagi! Segeralah tiba atau semua kesepakatan kita berakhir dan kau yang akan menjadi targetku selanjutnya!”] Suara dari seberang itu membuat Regina segera memadamkan panggilan. Kepalan tangannya dengan cepat menghantam stir mobilnya. Wajah wanita itu seketika berubah kesal. Umpatan demi umpatan terus melejit seolah ia tak mengerti apa dosa di balik seluruh umpatan yang ia tuturkan itu. “Apa-apaan ini! Belum saja kami bekerja sama dan ia telah mengancamku?! Dasar bajingan! Dia pikir dia siapa?! Dia tak tahu saja aku bisa melakukan semua hal untuk membunuhnya!” sergah Regina. Bsru saja emosi wanita itu sedikit meredam dan kembali fokus dengan apa yang ada di hadapannya, ia kembali teringat denga
Baca selengkapnya
209. Rumah
Jauh sebelum itu, Nadina yang pergi dari hadapan Rayyan memutuskan untuk masuk ke dalem. Ia duduk di kamarnya dan memandang surat yang ia terima. “Apa maksud surat ini? Siapa dia? Siapa yang sengaja membuatku ketakutan seperti ini? Haruskah aku melaporkannya? Tetapi melaporkan siapa? Ya Tuhan, kenapa sekarang ujiannya semakin sulit? Jangan buat aku berprasangka buruk!” gumam Nadina. Nadina menyandarkan punggungnya di sofa yang ada di kamar itu. Setiap ia merasa jenuh, bingung, sedih, kesal, atau apapun itu, ketika ia duduk di sofa itu, akan ada satu memori yang terlintas. Dulu, saat Nadhif masih bersamanya, setiap ia merasa lelah dan suntuk, entah sebelum atau setelah memiliki Adnan kecil, Nadina selalu memilih meringkuk di sofa itu dan menangis. Dan secara ajaib tiba-tiba Nadhif berada di sebelahnya. Pemuda itu menepuk pundaknya perlahan sebelum akhirnya mengelus pucuk kepala Nadian sembari bertutur lembut, “Ada apa, Nadina? Ingin membaginya dengan saya? Katakan, saya siap menden
Baca selengkapnya
210. Kekhawatiran
“Astagfirullah! Mbak, mending lapir polisi aja, deh! Kalau kaya gini sudah masuk tindakan kriminal ‘kan? Percobaan pembunuhan! Ada lho pasalnya!” pekik Melati. Nadina mengeluh lirih sembari menggendong Nadhin ke pangkuannya. Wanita itu sebentar merapikan pakaian putri kecilnya itu. “Mau melaporkan siapa, Mel. Semuanya tanpa petunjuk, dan ini belum bentuk teror yang benar-benar membahayakan. Siapa yang bisa menjamin pengirim surat dengan penabrak orang yang sama? Bisa aja ‘kan, pemilik surat lihat aku nyaris tertabrak lalu menggunakan insiden itu dalam ancamannya?” papar Nadina. Melati tampak berpikir lalu mengangguk pelan. “Lalu sekarang rencana Mbak Nadina apa? Jujur aja nih ya, Mbak! Yang dikirim Mbak Nadina tapi yang ketar-ketir Melati tahu!” aku Melati dengan wajah cemasnya. “Sudah, nggak usah parno! Insyaallah, semuanya aman kok. Allah pasti jaga!” ujar Nadina. Keduanya kini bangkit dari meja makan, tampaknya hendak mengamati Adnan dan kawannya yang tengah bermain di ruang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
181920212223
DMCA.com Protection Status